Rabu, 18 Juni 2008

Pembersihan Kejaksaan Agung

KASUS suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani makin menguak bukti bahwa mafia peradilan bukan rumor belaka tapi benar-benar ada. Dari bukti di persidangan terungkap jual beli hukum itu dilakukan mulai jaksa hingga jaksa agung muda.
Padahal kabarnya para jaksa yang bekerja di Kejaksaan Agung adalah saringan dari para jaksa yang punya integritas dan komitmen pada penegakan hukum ternyata juga tidak steril dari suap apalagi jaksa di daerah.
Persidangan kasus Artalyta Suryani itu bukan sekadar membuktikan kesalahan terdakwa tapi sekaligus membuktikan moralitas dan kredibilitas para pejabat di Kejakgung telah runtuh.
Karena itu wajar kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung memerintahkan agar pejabat Kejaksaan Agung dirombak dengan mengganti pejabat lama yang tersangkut suap itu dengan pejabat baru yang bersih.
Jaksa Agung Hendarman Supandji sebenarnya sudah bertindak cepat mencopot Jampidsus Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan M. Salim menjadi non job begitu terjadi penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan. Tapi bukti di persidangan ternyata memunculkan nama Jamdatun Untung Udji Santoso dan Jamintel Wisnu Subroto sebagai pejabat yang patut dicurigai juga terlibat masalah suap ini.
Selain itu bukti rekaman penyadapan telepon menunjukkan intensitas keterlibatan pejabat kejaksaan agung sehingga masyarakat merasa mencopot dari jabatan tidaklah cukup tapi harus mengadili mereka karena telah merancang lolosnya penggerogot uang negara Syamsul Nursalim dalam kasus BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia.
Terungkapnya kasus suap ini sudah sepantasnya seluruh pejabat Kejaksaan Agung diganti dan pejabat baru membuka kembali kasus-kasus deponering (penghentian) perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dihentikan karena suap.
Pembukaan kembali itu perlu dilakukan untuk mengembalikan kredibilitas Kejakgung dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Tentu saja setelah Kejaksaan Agung dibersihkan, presiden harus membersihkan pula aparat penegak hukum lain seperti polisi dan kehakiman yang juga belum steril dari kasus suap. Apalah artinya kalau kalau jaksa disikat tapi polisi dan hakim masih leluasa bermain-main jual beli pasal-pasal hukum.
Penegakan hukum secara adil dan bersih sudah saatnya dilakukan untuk mengimbangi pembangunan demokrasi. Sebab demokrasi tanpa penegakan hukum adalah negara yang pincang dan membuat rakyat tetap frustrasi. (*)
.

Minggu, 08 Juni 2008

Kampanye Debat Publik

Sejumlah anggota Panitia Khusus RUU Pemilihan Presiden di DPR menyetujui penghapusan model kampanye pengerahan massa dan mengganti dengan model kampanye debat antar kandidat presiden. Bila usulan itu disetujui dan disahkan menjadi undang-undang maka ini perkembangan baik pembentukan demokrasi di negara ini.
Selama ini model kampanye Pemilu di Indonesia yang selalu dibanggakan partai politik adalah mampu mengerahkan massa dalam jumlah besar. Isi kampanye tak lebih dari pesta hura-hura, berdangdut ria, obral janji, bahkan memaki-maki lawan politik. Kampanye model ini sebenarnya tidak bermutu karena tidak mencerdaskan pemilih, tidak efisien, tidak mendidik pemilih untuk memahami cara berpolitik dengan benar.
Bila kampanye model debat antar kandidat presiden dan wakil rakyat yang diberlakukan maka secara bertahap model itu dapat melatih rakyat untuk menerima politik dengan benar. Rakyat dilatih untuk berpikir rasional menentukan pilihan politik berdasarkan pemahaman terhadap apa yang dipilihnya. Debat kandidat presiden dan wakil rakyat juga melatih rakyat untuk menjadi pintar memahami persoalan bangsa dan negara dan menilai calon pemimpin dengan ukuran yang logis.
Harus diakui sebagian besar rakyat Indonesia selama ini memilih partai politik lebih karena alasan emosional dan adanya budaya patron sehingga melahirkan pemilih fanatik. Benar salah itu adalah partai saya. Karena itu debat kandidat yang mengungkapkan program, visi, dan misi para calon presiden dan wakil rakyat dalam kondisi politik seperti itu menjadi tidak penting.
Model politik seperti ini menjadikan presiden dan wakil rakyat yang terpilih tidak memiliki beban untuk memperjuangkan nasib rakyat. Sebab mereka tidak memiliki program yang jelas selain jargon-jargon politik yang merupakan janji kosong. Elite politik yang terpilih menjadi gampang ingkar janji, khianat, dan rakyat mudah dibohongi.
Rakyat baru sadar pilihannya keliru ketika sudah di tengah jalan ternyata pemimpin yang dipilih tidak sesuai harapannya mampu mengubah keadaan. Rakyat yang kecewa ini akan menjadi santapan empuk provokator yang selalu ingin menciptakan destabilisasi negara.
Inilah salah satu alasan kenapa situasi politik negara ini masih belum mapan.
Karena itulah usulan menghapus kampanye model pengerahan massa diganti dengan debat publik patut didukung. Karena debat kandidat presiden dan wakil rakyat dapat diukur kematangan program-program pemerintahannya sekaligus kecerdikan calon pemimpin.
Visi, misi, dan program itu menjadi dokumen negara saat kandidat terpilih dan dipakai acuan memimpin negara. Dengan model ini maka partai politik, wakil rakyat, dan kandidat presiden harus mempunyai pemikiran dan konsep yang matang dalam memimpin negara bukan sekadar asal maju saja.
Bagi partai politik, model kampanye ini dapat menuntun perilaku politik yang lurus sebagai sikap partai secara menyeluruh. Bukan seperti sekarang ini partai politik masih berperilaku zig-zag alias plin-plan tergantung pada kepentingan politik sesaat.
Pemilihan umum di Indonesia selama ini memang ada kelemahan karena yang dibahas tentang figur tanpa pernah membicarakan apa yang akan dikerjakan oleh sang tokoh.
Cara paling rasional dalam memilih pemimpin di negara ini adalah dengan meminta calon tersebut memaparkan program kerja atau usulan mengenai perbaikan Indonesia di masa mendatang. Program itu harus konkret dan realistis didukung dengan keadaan negeri ini secara apa adanya. Dengan cara itu bakal ketahuan siapa yang sedang bermimpi, siapa yang sedang membual, menyesatkan rakyat, dan yang sungguh-sungguh menjadi pemimpin dan wakil rakyat. (*)
.

Senin, 02 Juni 2008

Kegilaan Tung Desem

Tung Desem Waringin, motivator miliader itu membuat sensasi dengan menyebarkan uang senilai Rp 100 juta dari pesawat di Stadion Baladika Kesatrian, Serang, Banten, Minggu. Bagi-bagi duit itu sebagai tanda terbitnya buku terbarunya ‘Marketing Revolution’ sekaligus berniat menyindir orang-orang yang suka menyebar uang tapi tidak tepat sasaran.
Niat Tung memang baik, membagi uang kepada rakyat. Apalagi Tung orang kaya raya sehingga Rp 100 juta yang disebar itu hanyalah sejumput jari saja dari tumpukan uang dan hartanya. Bayangkan saja dia pernah membelikan istrinya mobil seharga Rp 1 miliar lebih yang uangnya diambil dari bunga depositonya.
Tapi cara Tung Desem Waringin menyebar uang dari udara itu menjadi keprihatinan. Mengapa dia tidak membagikan uang itu dengan cara yang santun dan menghormati harga diri orang miskin? Misalnya dia mendatangi rumah-rumah di kampung miskin mengulurkan uang itu lewat tangannya sendiri.
Namun yang sudah terjadi Tung memilih menyebarkan uang dari udara. Bagi Tung uang seratus juta itu sama nilainya dengan kertas pamflet yang disebarkan dari udara yang tak pernah disesali kalau ada selembar uang yang hilang, robek, atau jatuh di sungai.
Dan bisa jadi dia bergembira melihat orang-orang mulai laki, perempuan, anak-anak berebut uang di lapangan. Menyaksikan orang-orang miskin yang saling dorong, menginjak, atau cakar-cakaran untuk berebut uang yang berjatuhan ke tanah. Dikabarkan ada orang yang sampai pingsan dalam rebutan uang itu karena didesak kerumunan orang.
Kemarin Stadion Baladika Kesatrian telah berubah menjadi seperti lapangan gladiator yang menjadi ajang memuaskan kegilaan penguasa Romawi.
Kalau benar Tung Desem bergembira dengan caranya itu boleh jadi dia sudah mengidap sakit jiwa dalam puncak kesuksesannya kini. Yaitu bangga melihat orang lain menderita, bersusah payah dalam berebut uang miliknya. Niat sesungguhnya dari Tung dengan menyebarkan uang itu bukan membantu orang miskin tapi memang ingin mencari sensasi, kepuasan dan kesenangan diri, untuk memenuhi hasrat kegilaannya yang mulai muncul.
Orang berebut uang di lapangan pasti mengabaikan harga diri, perasaan malu, lantas menunjukkan kemampuan bersaing, kecerdikan, bahkan keserakahan. Berebut uang dengan cara seperti itu yang tidak ada aturan main pasti memunculkan watak buruk manusia.
Dengan caranya itu Tung ingin menunjukkan kalau orang ingin mendapatkan sesuatu maka dia harus bekerja keras, mampu bersaing dengan orang lain, tidak tahu malu, bahkan berkelahi. Inilah naluri dasar manusia untuk bertahan hidup menghadapi persaingan yang makin keras yang ingin dilihat Tung Desem dengan eksperimen terhadap warga Serang Banten.
Boleh jadi dia beranggapan menyebarkan uang itu adalah perbuatan mulia tapi sesungguhnya dia telah menghina harkat kemanusiaan. Bisa jadi dia menganggap perbuatannya itu terpuji namun sebenarnya adalah tindakan keji.
Karena itu pemerintah semestinya tidak mengizinkan cara seperti yang dilakukan Tung Desem itu. Pemerintah DKI Jakarta yang tidak mengizinkan penyebaran uang di wilayahnya merupakan tindakan benar tapi sayang pemerintah Banten malah mengizinkan sehingga penghinaan di depan mata itu sudah terjadi.
Semestinya pemerintah mengharuskan setiap bantuan kepada rakyat harus dilakukan dengan cara benar dan menghargai kemanusiaan bukan malah mengizinkan rakyatnya menjadi kelinci percobaan dan objek senang-senang bagi orang kaya. (*)
.

Minggu, 25 Mei 2008

Demonstrasi Anarkis

Demonstrasi mahasiswa Universitas Nasional Jakarta yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mencoreng kembali proses demokrasi negeri ini karena terjadi bentrok dengan polisi dan mengakibatkan kerusakan di kampus. Peristiwa itu juga membuat pertanyaan besar kenapa ada bom molotov, pelemparan batu, ganja, dan granat.
Polisi pun menjadi pihak tertuduh yang dihujat berbagai kalangan dengan sebutan telah menyerbu kampus. Bahkan Komnas HAM langsung menuduh polisi telah melanggar hak asasi manusia dengan melakukan kekerasan pada mahasiswa. Polisi juga disudutkan dengan tuduhan telah merekayasa adanya bom molotov, pelemparan batu, ganja dan granat untuk mencederai citra mahasiswa.
Tentu saja segala tuduhan itu dibantah polisi. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Abubakar Nataprawira mengatakan, polisi semula berjaga di depan kampus. Ketika polisi dilempari batu, botol, dan bom molotov barulah polisi bergerak memburu penyerang yang masuk kampus sebab demonstrasi berubah menjadi anarkis.
Saat menangkapi mahasiswa itu polisi menemukan ganja. Beberapa mahasiswa yang ditangkap ternyata sebagai pengedar dan setelah tes urin, menurut polisi, terbukti memakai ganja. Namun diakui ada polisi yang tak terkendali sehingga terjadi sejumlah pengrusakan di kampus.
Dua argumentasi dari dua pihak yang bertentangan ini tak bakal selesai kalau sebatas perdebatan saja. Karena sudah ada tersangka maka lewat pengadilan, peristiwa sebenarnya dari kerusuhan demonstrasi itu bakal terungkap berdasarkan segala bukti dan saksi yang diajukan kedua pihak. Kita berharap sidang pengadilan dapat menunjukkan kebenaran, siapa yang memicu kerusuhan.
Sejak reformasi bergulir, aksi demonstrasi menjadi sangat lazim terjadi di penjuru kota dilakukan oleh siapa saja dengan tuntutan yang sangat beragam. Tapi yang juga patut diperhatikan setiap demonstrasi terutama yang dilakukan mahasiswa dan buruh hampir selalu diwarnai bentrok dengan polisi.
Padahal kalau demonstrasi dilakukan sesuai koridor hukum bentrok itu tidak bakal terjadi. Aturan demonstrasi itu misalnya memberitahukan ke polisi, berlangsung dengan tertib, dan tidak mengganggu kepentingan umum. Polisi yang bertugas menjaga pun pasti tenang dan juga senang kalau tidak ada bentrok.
Tapi kenapa bentrok kemudian menjadi semacam kelaziman dalam demonstrasi? Sangat disayangkan kalau alasannya sekadar untuk gagah-gagahan berani melawan polisi yang direpresentasikan sebagai penguasa. Sebab memang sangat mudah untuk mencari gara-gara agar terjadi bentrok.
Juga sangat naïf alasan para demonstran yang menganggap hambar bila demonstrasi tanpa bentrokan. Lebih buruk lagi kalau alasan bentrok itu agar dipotret wartawan untuk memenuhi nilai layak muat berita di media massa.
Bila alasan-alasan ini memang benar yang menjadi landasan maka proses demokrasi di negara ini telah kehilangan substansi karena hanya menjadi permainan sekelompok orang yang ingin gagah-gagahan. Demokrasi yang dibentuk pun cuma bungkus tanpa isi dan tentu saja tidak bakal menyelesaikan masalah negara ini untuk menuju kemakmuran rakyat.
Tentu saja kalau ini yang terjadi sangat disayangkan sebab mahasiswa dikenal dengan idealisme yang menjadi motor gerakan moral untuk melawan kesalahan penguasa. Kalau demonstrasi hanya untuk gagah-gagahan itu artinya telah terjadi penurunan nilai. (*)
.

Selasa, 20 Mei 2008

Satu Abad Kebangkitan Nasional

KEBANGKITAN Nasional yang diperingati setiap 20 Mei, tahun ini genap berusia seratus tahun atau satu abad. Tapi panjangnya usia itu tidak selalu selaras dengan pencapaian pembangunan di lapangan sehingga Kebangkitan Nasional sekarang ini tidak lebih dari sekadar slogan.
Meningkatnya kedaulatan dan semangat kebangsaan yang menjadi cita-cita Kebangkitan Nasional masih rapuh dideru ketimpangan jurang kaya-miskin, naiknya konflik antar golongan dan kepentingan politik, korupsi merajalela, hukum diperjualbelikan, serta menjual negara untuk kepentingan asing.
Kondisi itu masih jauh dengan keinginan mewujudkan kemandirian ekonomi, sosial dan budaya. Reformasi yang telah menginjak sepuluh tahun berjalan belum sepenuhnya menguatkan kembali kondisi negara yang tercabik-cabik akibat badai krisis ekonomi, politik, dan kemanusiaan.
Sebelum krisis ekonomi pada 1997, menurut data jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan 22,5 juta jiwa. Kini jumlah itu malah bertambah menjadi 37,17 juta jiwa. Padahal anggaran pembangunan selalu naik.
Bandingkan dengan Vietnam, negeri yang juga tercabik-cabik akibat perang, kini dapat memperbaiki struktur ekonomi maka krisis cepat berlalu. Dalam sepuluh tahun terakhir pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 persen, sementara Indonesia di kisaran enam persen. Perbaikan struktur ekonomi itu membuat kemiskinan di Vietnam menurun hingga 75 persen. Bukan hanya itu negara itu lantas bangkit menjadi produsen pertanian besar dan eksportir beras.
Peringatan Kebangkitan Indonesia hanya hangat di awalnya sedikit mendorong kemajuan. Tapi di dalamnya pengangguran belum teratasi, rakyat terpuruk akibat stabilitas ekonomi yang rapuh, apalagi secara eksternal juga ada krisis minyak yang berpengaruh besar pada ketahanan pangan. Rakyat pun menerima akibatnya dengan melonjaknya harga pangan.
Rakyat yang belum sempat bangkit dari krisis, sekarang siap-siap menghadapi guncangan lagi dengan rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM yang berakibat harga-harga barang naik. Memang ada bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada rakyat miskin sebagai kompensasi tapi program itu bukan membangkitkan rakyat secara substansial tapi hanya pelipur lara.
BLT sudah dikritik banyak kalangan tidak mendorong rakyat menjadi mandiri bahkan membentuk mental pengiba, pengemis. Yang dibutuhkan adalah kebijakan perbaikan struktur ekonomi yang terarah dalam jangka panjang yang menguntungkan
semuanya.
Kedaulatan negara pun makin terancam dengan paham negara tidak perlu memegang perusahaan. Akibatnya sejumlah perusahaan vital dijual ke asing. Lebih-lebih terbitnya Perpres No. 7/2007 yang memberi peluang kepada kepemilikan asing terhadap beberapa sektor dapat mencapai 99 persen. Misalnya lahan pertanian di atas 25 hektare dapat dimiliki asing hingga 99 persen, nuklir hingga 95 persen, pendidikan hingga 49 persen mulai dari SD sampai PT.
Biaya pendidikan pun kini menjadi sangat mahal seolah lupa bahwa amanat konstitusi menyebutkan negara punya kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi peluang rakyat miskin yang masih mayoritas di negara ini untuk menempuh sekolah kian sempit.
Sekali lagi kita berharap peringatan satu abad Kebangkitan Nasional jangan sekadar slogan tapi harus diikuti kemauan yang sungguh-sungguh untuk mengarahkan seluruh uang dan tenaga untuk kepentingan rakyat. (*)
.

Selasa, 13 Mei 2008

Unas Mendorong Tindak Kriminal

Ujian nasional (Unas) yang hari ini giliran dijalani oleh siswa SMP terus menjadi polemik pro kontra. Dari pelaksanaan ujian nasional SLTA pekan lalu, kondisinya masih tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ujian nasional telah menjadi hantu yang menakutkan bagi kalangan siswa, guru dan sekolah karena khawatir tidak lulus. Akibatnya ujian nasional telah mendorong perilaku kriminal di dunia pendidikan dengan berbagai macam cara.
Sekolah yang memiliki uang berperilaku elegan dengan mengundang pembuat soal untuk memberikan pencerahan. Sekolah yang tak cukup uang dengan berani mengambil soal lantas mengerjakan dengan cepat dan hasilnya diberikan kepada siswanya. Di kelas pun antar siswa saling contek menjadi lumrah bahkan dianjurkan.
Sebelum ujian nasional pun siswa dibuat sibuk dengan mengikuti rangkaian tryout yang diadakan sekolah atau lembaga bimbingan belajar yang sungkan-sungkan mengakui sebagai peluang bisnis tiap tahun.
Siswa pun dipaksa untuk mengikuti istigosah, salat tahajud massal, dan belajar bersama dengan bermalam di sekolah sebagai cerminan begitu panik dan ketakutan para guru dan siswa menghadapi ujian nasional. Perilaku ini juga menggambarkan ternyata mereka tidak percaya diri dengan proses belajar mengajar yang selama tiga tahun ini dilaksanakan.
Lantas pertanyaannya apa gunanya ujian nasional kalau mendorong perilaku buruk demikian? Dilihat dari sisi ini ujian nasional telah gagal mencapai tujuan.
Pemerintah menerapkan ujian nasional karena ingin memiliki standar kualitas pendidikan secara merata. Ukuran yang dipakai adalah kemampuan mengerjakan soal pilihan ganda untuk mata pelajaran tertentu yang diujikan.
Pemerintah agaknya lebih percaya dengan hasil tes ini daripada menyerahkan kelulusan siswa kepada sejumlah Dewan Guru Sekolah seperti yang diusulkan kalangan yang kontra ujian nasional. Kelulusan diserahkan Dewan Guru mungkin dinilai tidak memiliki standar nasional dan sangat subjektif karena membuka peluang suap.
Dari serangkaian tes ujian nasional yang telah berjalan beberapa tahun ini, semestinya pemerintah memiliki peta mutu pendidikan di seluruh pelosok negeri sekaligus dapat mengambil kesimpulan apakah pendidikan di Indonesia sudah sesuai standar yang diinginkan.
Tapi persoalannya adalah standar seperti apa yang diinginkan pemerintah. Apakah standar itu hanya berupa siswa mampu mengerjakan soal standar nasional ataukah standar yang merujuk kepada kualitas produk pendidikan.
Problem pendidikan kita sebenarnya terletak pada kualitas guru dan kelengkapan sarana dan prasarana yang belum standar secara merata di seluruh negeri. Fakta yang kita temui hari ini, siswa justru menjadi lebih pintar karena peran lembaga bimbingan belajar daripada peran guru.
Kondisi gedung sekolah dan kelengkapan prasarana untuk menunjang belajar pun masih kurang terutama di kota-kota pelosok. Akibatnya siswa yang tak memiliki cukup uang untuk ikut lembaga kursus, mereka belajar secara alamiah saja.
Memperhatikan ekses negatif yang muncul akibat ujian nasional model begini kiranya perlu pemerintah memperhatikan usulan kalangan yang menyarankan diterapkan ujian regional dengan memberikan peran guru lebih besar.
Ujian nasional boleh diteruskan kalau sudah ada peningkatan profesionalitas guru dan sarana prasarana sekolah. Tanpa itu semua yang terjadi adalah ujian nasional lebih berubah sebagai pendidikan kriminal bagi guru dan siswa. (*)
.

Kenaikan BBM

NAIKNYA harga minyak dunia sebenarnya dapat menjadi berkah bagi Indonesia yang memiliki beberapa sumber minyak mentah. Tapi peluang itu malah menjadi bencana akibat kita juga pengimpor bahan bakar minyak (BBM) yang penjualannya di dalam negeri disubsidi negara.
Melonjaknya harga minyak dunia menjadikan subsidi BBM juga meningkat yang berakibat membebani APBN. Untuk mengatasi itu pilihan pemerintah mengambil keputusan menaikkan harga BBM Juni mendatang agar beban subsidi tidak terlalu besar.
Pilihan itulah yang menjadi bencana bagi rakyat sebab pasti kenaikan harga BBM diikuti naiknya harga semua barang kebutuhan.

Kenaikan harga barang bakal membuat rakyat makin sengsara karena penghasilannya makin tidak cukup untuk memenuhi hidup.
Memang kenaikan BBM itu diimbangi dengan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) plus sembako bagi orang miskin. Namun bantuan itu ibarat setetes air di tengah kehausan rakyat miskin sepanjang tahun.
Dengan alasan inilah kini demonstrasi dan suara menentang kenaikan BBM makin gencar disampaikan ke pemerintah agar membatalkan rencana itu. Namun kita lihat apakah kecaman itu bakal menggoyahkan keputusan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal peragu itu ataukah dia tetap melaksanakannya.
Kenaikan harga BBM saat ini memang dalam situasi dunia yang pelik. Bukan hanya harga minyak bumi yang naik tapi juga harga pangan melonjak tajam akibat adanya konversi tanaman menjadi bahan bakar ramah lingkungan alias biofuel. Beras, minyak goreng, dan harga sembako lain sebelumnya sudah berlomba naik.
BBM yang diperoleh dari penyulingan minyak bumi merupakan barang langka seiring dengan ekspolitasi terus menerus sehingga di masa depan harus dapat dicarikan penggantinya.
Subsidi BBM yang diberikan pemerintah sekarang ini juga lebih banyak dinikmati orang kaya. Perbandingannya 10% orang kaya menikmati 45% BBM subsidi, sementara 10% orang miskin yang menikmati BBM subsidi kurang dari 1%.
Dengan alasan inilah Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan keputusan menaikkan harga BBM dapat diterima sebab subsidi itu justru dinikmati orang kaya. Pemerintah lantas memakai uang subsidi itu langsung diberikan kepada orang miskin berupa BLT. Dengan BLT itu penghasilan rakyat miskin bertambah untuk mengimbangi kenaikan harga barang.
Menurut pertimbangan itu memang seharusnya BBM tidak perlu subsidi. Harus dijual sesuai dengan harga produksi. Kondisi itu dapat terjadi kalau pemerintah berhasil mengatasi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki sektor pertanian yang sekarang ini makin rusak padahal negara kita adalah agraris.
Pemerintah harus mampu membenahi kerusakan sektor kehidupan yang sudah salah urus ini sejak zaman Orde Baru dan makin parah ketika reformasi bergulir. Bila pilihan menaikkan harga BBM memang harus dilakukan maka pemerintah harus komitmen berusaha meningkatkan penghasilan rakyat dengan membuka peluang kerja makin besar.
Kalau pemerintah tidak mampu meningkatkan penghasilan rakyat maka saran untuk membatalkan kenaikan harga BBM dengan mengambil langkah kebijakan efisiensi dapat dilakukan. Misalnya menunda pembayaran pinjaman luar negeri, efisiensi ekspor-impor minyak mentah Indonesia dan pengenaaan pajak atas kenaikan harga minyak mentah (winffall profit tax) kepada perusahaan pemegang konsensi pengeboran.
Jangan cuma berpikir rakyat kita sudah tahan banting menghadapi situasi sulit. Buktinya kenaikan BBM sudah beberapa kali dilakukan ternyata rakyat dapat menyesuaikan hidupnya dengan baik dan ramalan para pengamat tidak terjadi. (*)
.

Senin, 14 April 2008

Jembatan Suramadu

Wakil Presiden M. Jusuf Kalla memberikan harapan pembangunan fisik jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) selesai pada Desember 2008 dan pada April 2009 sudah dapat dilalui.
Harapan ini hendaknya benar-benar terwujud karena sudah banyak harapan ditebar oleh penguasa sebelumnya namun nyatanya proyek jembatan itu tak kunjung selesai meskipun sudah 18 tahun berjalan sejak direncanakan. Bayangkan, proyek ini sudah melewati masa jabatan lima presiden mulai Soeharto lantas B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Ungkapan Jusuf Kalla bahwa macetnya pembangunan jembatan itu bukan karena masalah dana tapi masalah teknik dan pembebasan tanah. Pemerintah dikatakan sudah menyediakan anggaran Rp 900 miliar untuk menyelesaikan bagian bentang tengah yang dikerjakan oleh kontraktor dari China.
Semoga saja ungkapan itu jujur dan benar sebab fakta yang terjadi selama ini tidak selesainya jembatan itu memang karena dana. Bahkan kontraktor China tidak segera mengerjakan bagian bentang tengah karena dana pendamping senilai 10% dari total proyek sebesar 160 juta dollar AS terlambat diserahkan.
Memang akibat tak kunjung selesai menjadikan biaya pembangunan jembatan itu tiap waktu selalu naik seiring dengan inflasi. Perhitungan terakhir proyek jembatan itu sebesar Rp 4,5 triliun.
Dari fakta ini kita berharap, harapan yang ditebarkan Wapres Jusuf Kalla bukan slogan politik yang hanya angin surga menjelang Pemilu 2009 tapi benar-benar keputusan pemerintah yang berniat merampungkan jembatan itu. Sebab untuk menyelesaikan jembatan sepanjang 5,7 km secara teknik bukan hal sulit kalau kita melihat pengalaman China yang sudah banyak membangun jembatan yang lebih panjang dari Suramadu. Apalagi negara maju semacam Prancis dan AS yang sudah mempunyai teknologi lebih maju membangun jembatan, teknologinya dapat dipinjam.
Tinggal dananya saja disediakan atau tidak oleh pemerintah. Indonesia sebenarnya cukup mampu menyediakan dana untuk proyek itu kalau ada niat. Masalahnya pendapatan negara yang cukup besar itu habis untuk hal-hal yang tidak jelas. Sejak reformasi hingga sekarang kalau kita lihat tidak ada fokus pada satu proyek besar yang selesai tuntas. Semuanya serba tanggung padahal uang yang beredar dalam APBN makin membesar. Indonesia saja mempunyai proyek jembatan panjang yang perlu waktu bertahun-tahun hingga presiden berganti-ganti.
Karena itu wajar saja kalau banyak orang bertanya kemana saja larinya uang negara itu. Kalau dikatakan untuk pembangunan ternyata rakyat seperti belum merasakan. Apalagi rakyat masih dibuat pusing untuk membeli sembako yang harganya terus naik mulai dari beras, minyak goreng, telur, terigu, bahkan minyak tanah dan elpiji.
Kita perlu mencatat pernyataan Jusuf Kalla itu sebagai niat pemerintah untuk menuntaskan proyek itu agar mobilitas warga dari Surabaya-Madura dapat lebih cepat sekaligus mempercepat perbaikan ekonomi di kedua daerah. Jarak pantai Surabaya – Madura sebetulnya hanya 3 km tapi dengan kapal feri harus ditempuh selama 30 menit padahal kalau ada jembatan tak sampai 10 menit.
Selesainya jembatan Suramadu juga mengakhiri rencana proyek yang selalu berubah-ubah sekaligus memberikan rakyat sebuah kepastian tentang sebuah pembangunan oleh negara. (*)
.

Pilkada Jawa Barat

PEMILIHAN kepala daerah secara langsung memang sulit ditebak. Karena itu kemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf yang diusung koalisi PKS-PAN dalam pemilihan gubernur Jawa Barat sangat mengejutkan.
Betapa tidak, dalam polling yang dilakukan nama calon ini selalu berada di urutan terakhir dari dua calon yang sudah terkenal yakni Gubernur incumbent Danny Setiawan yang diajukan Golkar-Partai Demokrat dan cagub Agum Gumelar calon dari PDIP.
Menurut peta politik hasil Pemilu 2004 pun, Jawa Barat dikuasai oleh Partai Golkar dan PDIP ternyata peta politik ini tidak berlaku untuk pilkada karena pemilih lebih melihat figur calon. Gambaran seperti ini pernah terjadi ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden yang ternyata tak selalu sama dengan peta politik hasil Pemilu 2004 yang didominasi Partai Golkar.
Meskipun kemenangan Heryawan-Dede Yusuf itu masih berdasarkan perhitungan cepat atau quick count tapi biasanya sudah menunjukkan kepastian yang hasil akhirnya kurang lebih sama dengan perhitungan manual oleh KPUD setempat.
Kemenangan seperti ini menunjukkan suara rakyat sebenarnya. Meskipun pasangan Heryawan-Dede Yusuf tergolong paling miskin di antara Danny Setiawan dan Agum Gumelar tidak menjadi halangan untuk menang. Uang tidak selalu menang dalam pemilihan kepala daerah.
Justru dari sinilah kita harus memulai bahwa berpolitik tidak harus membayar dengan harga sangat mahal. PKS-PAN yang mengusung Heryawan-Dede Yusuf dikenal sebagai partai yang relatif bersih dari permainan uang. Padahal sudah lazim terjadi calon kepala daerah untuk mendapatkan kendaraan politik harus membayar uang besar kepada partai politik selain mengeluarkan dana kampanye.
Biaya politik yang besar ini menjadi biang masalah korupsi di negara ini. Sebab pasti calon gubernur ingin balik modal ketika terpilih. Pertanyaannya adalah darimana sumber uang untuk mengembalikan modal itu? Pilihannya antara lain uang negara, kolusi, atau memeras pengusaha. Karena masalah inilah kenapa beberapa kepala daerah ada yang terjerat pasal korupsi hingga mengantarkannya ke penjara.
Dari kasus Pilkada Jawa Barat ini maka partai politik mulailah untuk tidak memakai setoran uang dari calon kepala daerah. Carilah kepala daerah yang berkualitas dan pantas dari kader sendiri bukan orang lain yang melamar dengan membayar sejumlah uang besar.
Praktik membayar uang besar untuk mendapatkan kendaraan politik dalam pilkada merupakan perilaku buruk dalam menciptakan sistem politik yang baik. Sebab pemimpin yang muncul adalah yang kuat membayar bukan berdasarkan kualitas, loyalitas, dan integritas. Sudah banyak terjadi calon pemimpin daerah yang melamar ke partai politik menjadi peras-perasan oleh para politik tidak bermoral.
Marilah kita akhiri perilaku politik yang buruk itu. Sebab jika kepala daerah tidak disibukkan dengan memikirkan balik modal maka dia dapat mengelola uang negara dengan baik dan mampu bekerja dengan kejujuran demi amanat rakyat yang telah memilihnya. (*)
.

Senin, 31 Maret 2008

Antre Elpiji

TONTONAN yang menjadi biasa belakangan ini adalah rakyat antre minyak tanah dan gas elpiji. Dua barang ini diburu rakyat karena dibutuhkan untuk menyalakan kompor masak. Antre minyak tanah dan elpiji ini menjadi sebuah ironi di tengah program konversi minyak tanah ke elpiji yang dilakukan pemerintah.
Kalau antrean itu terjadi hanya sebentar sebagai gejala penyesuaian perubahan dari memakai minyak tanah ke elpiji merupakan hal biasa yang masih patut dipahami. Tapi ketika antrean itu terus terjadi saban hari, tentu ini gejala yang luar biasa. Pasti ada yang tidak beres dalam proses perubahan itu.
Terjadinya antrean minyak tanah paling gampang dipahami. Meskipun rakyat sudah menerima tabung gas dan kompornya dengan gratis namun mereka masih butuh minyak tanah untuk cadangan karena kebiasaan memasak pakai minyak tanah belum hilang benar. Mereka pun berburu minyak tanah ke kampung lain ketika pasokan di kampungnya sudah mulai dikurangi.
Tapi antrean pembeli elpiji yang terjadi sepekan ini menjadikan kita tak habis pikir. Rakyat yang akan beralih ke elpiji bisa jadi kecewa dan bertanya apakah pemerintah ini serius? Rakyat dipaksa berpindah ke elpiji demi mengurangi subsidi minyak tanah tapi di tengah perubahan itu kenapa mendapatkan elpiji harus antre.
Dari fakta ini makin menunjukkan betapa susahnya menjadi rakyat Indonesia. Untuk mendapatkan sejumput kebutuhan pokok harus antre mulai beras, minyak goreng, minyak tanah, elpiji, pupuk urea, bahkan uang BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Menurut logika rakyat, kalau pemerintah berniat memaksa rakyatnya memakai elpiji semestinya sudah diperhitungkan kebutuhan nasional serta pasokan yang cukup dan distribusi yang lancar. Selain itu juga ada tim monitor yang mengawasi pelaksanaan program ini. Keinginan rakyat adalah kemudahan dalam hidup di tengah kesulitan ekonomi di negeri ini. Janganlah program pemerintah berpeluang menjepit rakyat yang sudah hidup sempit ini.
Dalam kasus antrean elpiji, pejabat Pertamina dan Hiswana Migas menuduh pengecer bermain dengan menimbun barang sehingga seolah-olah terjadi pasokan kurang. Akibatnya harga elpiji melambung karena permintaan tinggi. Mereka berdalih distribusi elpiji berjalan seperti biasa dan tidak ada pengurangan pasokan dari Pertamina dan agen.
Tapi di lapangan menurut pengakuan para pengecer, pasokan memang dikurangi oleh agen. Mereka tidak mungkin menimbun elpiji karena tidak punya tempat untuk menyimpan tabung elpiji.
Saling menuding itu pasti tidak menyelesaikan masalah. Sebab ini lagu lama ketika terjadi antrean elpiji. Bila saling menyalahkan tetap dijadikan alasan, menurut logika pihak manakah yang paling berpeluang besar menimbun elpiji?
Pemerintah, Pertamina, Hiswana Migas, harus bekerja keras untuk melayani rakyat dengan ikhlas karena rakyat memakai elpiji itu dipaksa bukan atas kehendaknya. Karena itu layani dengan baik.
Ikhlas itu artinya bekerjalah sesuai dengan fungsi dan tugas yang sudah dibebankan dengan gaji yang sudah diterimakan. Lebih jelas lagi, bekerjalah tanpa berpikir mencari keuntungan berdagang di tengah perubahan pemakaian elpiji yang sekarang meningkat karena program konversi.
Di tangan pemerintah, Pertamina, dan Hiswana Migas sekarang rakyat bergantung mendapatkan elpiji sesuai harga resmi. Janganlah berpikir karena rakyat sudah bergantung maka kondisi dapat dimainkan. (*)
.

Sabtu, 29 Maret 2008

Negara Jangan Dijadikan Alat

Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Umum mau tidak mau harus disahkan hari ini baik lewat musyawarah mufakat atau voting. Sebab kalau DPR menunda lagi pengesahan itu bakal menjadi peristiwa memalukan karena acara pengesahan sudah ditunda dua kali. Semula RUU itu bakal disahkan pada 26 Februari lantas ditunda 28 Februari yang ternyata juga dibatalkan. Kemudian ditetapkan Senin, 3 Maret ini. Itu pun masih menyisakan dua pasal yang belum mufakat sehingga mau tidak mau harus divoting.
Molornya pengesahan RUU Pemilu ini sudah menimbulkan reaksi dan kecaman terhadap kinerja DPR sebab kasus ini makin menunjukkan kalau wakil rakyat itu lebih menyuarakan kelompoknya bukan rakyat. Pokok pangkalnya karena materi yang menyebabkan molornya pengesahan adalah perdebatan untuk kepentingan partai politik dalam Pemilu 2009.
Contohnya adalah keputusan yang mengejutkan dari Pansus RUU Pemilu tentang lolosnya 16 partai politik yang sekarang ini mempunyai kursi di DPR. Keputusan itu ditetapkan menjelang batas akhir penutupan penyerahan berkas partai politik di Departemen Hukum dan HAM.
Lolosnya 16 parpol langsung ikut Pemilu 2009 ini tentu saja menyalahi aturan electoral threshold (ET) 3% yang termuat dalam UU No. 12/2003 tentang Pemilu maupun pasal dalam RUU Pemilu. Tujuan dicantumkannya ET 3% adalah cara menyeleksi parpol yang berhak ikut pemilu secara alami. Asumsinya parpol yang perolehan suara kurang dari 3% berarti tidak dikehendaki rakyat konsekuensinya harus dibubarkan. Namun aturan itu dilanggar sendiri oleh anggota DPR demi kepentingan sejumlah parpol yang tidak lolos ET 3%.
Tentu saja ini bentuk ketidakadilan yang dibuat oleh DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang yang mulai terkesan membuat aturan semaunya. Bayangkan saja, di antara 16 parpol yang langsung ikut pemilu 2009 itu hanya punya satu kursi. Jumlah kursi yang sebetulnya tak pantas untuk langsung lolos pemilu.
Dari peristiwa ini mulai tampak tanda-tanda para politikus menjadikan partai politik sebagai tujuan dan negara menjadi alat. Politikus berjuang untuk kemakmuran partai dan pengurusnya dengan memanfaatkan fasilitas dan kekayaan negara. Sungguh ironis kalau ini terjadi maka rakyat benar-benar menjadi objek penderita.
Hari ini tinggal dua pasal yang belum tuntas dan harus diselesaikan hari ini juga lewat voting atau mufakat. Pasal itu adalah pertama, penghitungan sisa suara, apakah habis di Daerah Pemilihan (Dapil) atau ditarik ke propinsi. Kedua, penentuan calon terpilih, jika ada dua calon memperoleh lebih dari 20 persen, apakah melalui metode nomor urut, atau suara terbanyak.
Dua pasal itu tidak berkaitan langsung dengan rakyat namun kepentingan calon legislatif dan parpol. Karena itu jangan sampai pembuatan keputusannya bertele-tele lagi sehingga menghabiskan waktu dan biaya sidang.
Voting juga bagian dari demokrasi kalau tidak dapat dicapai mufakat maka voting harus dilakukan. Janganlah berperilaku seperti penguasa Orde Baru yang mengharamkan voting dan menekankan musyawarah mufakat padahal yang terjadi adalah merekayasa keputusan sebelum dibuat.
Sungguh tak elok kalau masih ada parpol yang takut kalah voting dalam pembuatan keputusan sehingga mengorbankan waktu dan biaya negara. Padahal UU Pemilu sudah ditunggu Komisi Pemilihan Umum untuk segera membuat jadwal penyelenggaraan pemilu. Bila molor lagi maka persiapan pemilu menjadi sangat pendek sehingga mempengaruhi kualitas pelaksanaannya.
. (*)

Jumat, 28 Maret 2008

Pasar Narkoba

Ditangkapnya pedagang narkotika di perumahan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, oleh polisi menandakan omzet peredaran narkoba di negara ini sudah besar. Barang bukti narkoba jenis kristal metamfetamin atau yang biasa disebut sabu-sabu jumlahnya mencapai 600 kilogram senilai Rp 600 miliar.
Barang ini diduga milik pedagang yang mempunyai jaringan internasional mengingat barang serupa juga pernah ditangkap di Teluk Naga, pantai Indah Kapuk, dan penemuan pabrik SS di Banten dan Batu beberapa tahun lalu. Diduga masih terdapat narkoba lain yang jumlahnya mendekati satu ton belum berhasil ditangkap polisi dalam penggerebekan pekan lalu itu.
Penangkapan pedagang narkoba ini semakin mengungkap masalah narkotika di Indonesia sudah menjadi perkara serius. Keseriusan itu tampak dari indikasi, pertama, jumlah narkoba sangat besar. Kedua, pelakunya orang asing.
Jumlah narkoba yang begitu besar menandakan Indonesia telah menjadi pasar narkoba karena barang itu laku keras di sini sehingga pasokan kian banyak. Pedagang narkoba kebanyakan orang asing menunjukkan negara ini merupakan pasar potensial untuk menjual barang ini.
Ini tentu memprihatinkan karena barang yang dijual sangat berbahaya yang dapat merusak jiwa bangsa. Kristal metamfetamin yang juga disebut kristal meth atau ice dan di sini disebut sebagai sabu-sabu mulai dikenal pada tahun 1990-an.
Barang haram itu disukai karena pengguna merasakan dapat memberikan lebih banyak tenaga dan kekuatan, membuat tahan tidak tidur selama 24 hingga 48, bahkan 72 jam. Sabu-sabu juga dikatakan memberikan pengalaman seks lebih lama dan lebih baik. Dikatakan juga sabu-sabu membantu penggunanya berpikir lebih jelas.
Sebenarnya efek buruk narkoba jenis itu jauh lebih berbahaya daripada heroin atau biasa juga disebut putaw. Penggunaan dan penyalahgunaan sabu-sabu jangka panjang menimbulkan kerusakan pada susunan saraf pusat, mengakibatkan depresi dan kelemahan, keracunan pada jantung dan pembuluh darah, dan sangat sering mengakibatkan paranoia tinggi dan parah. Kecenderungan depresi sifat bunuh diri sangat umum pada orang yang memakai sabu-sabu. Bahkan dapat menimbulkan perilaku brutal lebih sering terjadi daripada putaw.
Mengingat pengaruh buruknya yang begitu besar bagi penggunanya yang sekarang ini sudah meluas di kalangan remaja dan orang dewasa, sudah sepatutnya pemerintah berlaku tegas terhadap kasus ini sama seperti pemberantsan korupsi.
Tindakan tegas itu adalah pemberian hukum yang setimpal dengan kerugian yang ditimbulkannya. Selain itu, mulai penyidikan dan pengadilan oleh aparat hukum harus mendapat perhatian ketat.
Sebab untuk beberapa kasus narkoba setelah disidangkan hanya mendapat hukuman ringan bahkan bebas karena berkas tuntutan yang dibuat jaksa seperti sengaja dikaburkan. Karena ini perdagangan besar tentu saja pelakunya tidak segan menyuap para penegak hukum untuk dapat dibebaskan.
Bila pemerintah tidak mengambil sikap tegas atas masalah ini maka pertaruhannya adalah masa depan bangsa. Sebab pemakaian narkoba di kalangan remaja terus naik seiring dengan mudahnya mendapatkan barang itu.
Sikap tegas yang dibutuhkan adalah pertama, perberat hukuman bagi pembuat, pedagang dan pengedar yang menjadi jaringan narkoba. Kedua, awasi proses penyidikan dan peradilan perkara ini untuk mencegah terjadinya suap. (*)
.

Perubahan Politik di Malaysia

PERUBAHAN kekuatan politik di Malaysia hendaknya menyadarkan setiap penguasa bahwa manipulasi politik tidak selamanya langgeng dan gelombang kekuatan rakyat pasti menampakkan keinginan sebenarnya.
Pemilu Malaysia yang berlangsung Sabtu (8/3/2008) lalu telah memunculkan kekuatan baru dari oposisi yang selama ini dilemahkan oleh penguasa yang dikuasai koalisi Barisan Nasional (BN) dimotori partai UMNO. Meskipun BN masih mayoritas di parlemen dan berhak membentuk pemerintah namun posisinya tidak lagi mayoritas tunggal karena perolehan kursi tidak lagi menguasai 2/3 dari 222 kursi parlemen. Kekuatan BN di parlemen kali ini hanya 63% padahal sebelumnya selalu mencapai 90%.
Perubahan itu juga terjadi di wilayah negara bagian yang sebelumnya menguasai hampir seluruhnya kecuali Kelantan. Kini ada lima negara bagian yang lepas dari dominasinya dan jatuh ke tangan partai oposisi yang tergabung dalam Barisan Alternatif.
Dengan posisi ini BN tidak lagi seenaknya mengubah konstitusi untuk kepentingan politik dan kekuasaannya. Penguasa sekarang mendapat imbangan suara dari kelompok oposisi sekitar 37% atau 84 kursi. Sisi baiknya sekarang keputusan politik tidak lagi didominasi suara penguasa tapi juga mendengar suara alternatif dari kekuatan lain sehingga fungsi check anda balance berjalan.
Naiknya kekuatan oposisi memang tak lepas dari perubahan politik dan konflik sosial yang terjadi di Malaysia belakangan ini. Perdana Menteri Ahmad Abdullah Badawi ketika memerintah membuat keputusan mengurangi masa hukuman tokoh pembangkang, Anwar Ibrahim, dengan maksud untuk meredakan ketegangan politik dan mendapatkan simpati rakyat dan ingin menunjukkan sikap pemerintah yang reformatif.
Tapi Badawi harus menerima kenyataan bahwa keputusannya itu justru menjadikan gerakan oposisi menjadi membesar akibat aktivitas politik Anwar Ibrahim. Simpati rakyat tidak didapatkan akibat kenaikan harga barang kebutuhan yang tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah. Padahal ketika Anwar Ibrahim masih dipenjara, dalam pemilu 2004, kekuatan oposisi menurun drastis setelah sempat bangkit pada 1999.
Upaya membendung pengaruh Anwar Ibrahim sudah dilakukan Badawi dengan memajukan jadwal pemilu yang semestinya digelar Mei 2009 dimajukan pada Maret 2008. Tujuannya agar Anwar Ibrahim tidak dapat mencalonkan sebagai anggota parlemen karena dia masih terkena hukuman tidak boleh mencalonkan sebagai legislatif sampai April 2008.
Namun fakta di lapangan membuktikan sebaliknya. Karena dia masih dibolehkan berkampanye maka tak pelak ceramah Anwar Ibrahim untuk partai oposisi telah menarik simpati rakyat. Kehadiran Anwar Ibrahim mampu mendongkrak popularitas calon dari partai oposisi dari berbagai etnis Melayu, Cina dan India. Rakyat negeri jiran itu menjadi percaya kepada kandidat oposisi tanpa memandang rasnya.
Keresahan sosial yang terjadi di kalangan etnis India yang menuntut tidak ada diskriminasi juga turut memperburuk citra pemerintah yang dianggap belum memberikan keadilan bagi semua warga negara. Selain itu perilaku buruk politikus dari anggota koalisi BN yang tersangkut skandal seks dan korupsi membuat rakyat berpaling ke pihak lain.
Dari hasil pemilu ini maka pelajaran terpenting dari setiap penguasa adalah jangan menganggap remeh suara rakyat. Jangan berpikir rakyat selalu setuju dengan kemauan penguasa. Arogansi kekuasaan seperti ditunjukkan para menteri Badawi dengan menghina Anwar Ibrahim sebagai politikus bangkrut justru berbalik membangkrutkan penguasa. Para penguasa pun harus menyadari bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Kekuasaan tak pernah langgeng sebab kekuasaan yang lama cenderung korup dan ketika perbuatan korup sudah menyebar maka kondisi itu yang bakal menjatuhkan penguasa. (*)
.

Tunjangan Hakim dan Jaksa

ABUNAWAS suatu ketika pernah berperilaku gila. Dia naik kuda kepang lantas menari-nari di jalanan. Warga kota Baghdad pun gempar karena perilaku aneh tokoh masyarakat itu. Ketika dipanggil raja, maka dia pun dengan sedih menceritakan, ketika bapaknya meninggal dia dipesankan agar jangan menggantikan posisinya sebagai hakim kerajaan. Alasannya, seadil-adilnya seorang hakim suatu saat pasti pernah lengah sehingga membuat keputusan yang tidak adil. Padahal keputusan seorang hakim itu menentukan nasib manusia. Selain itu semua keputusan yang pernah dibuat pasti dimintakan pertanggungjawaban bukan hanya di hadapan raja tapi juga tuhan.
Untuk memenuhi pesan bapaknya itu dan menghindari penunjukan oleh raja maka Abunawas rela berlagak gila sebab dia memang tidak mau menjadi hakim meskipun posisinya terhormat dan gajinya besar.
Di dunia peradilan Indonesia yang terjadi kebalikannya. Ada aparat hukum yang justru bertindak gila setelah memperoleh jabatannya. Berperilaku gila karena menjualbelikan pasal-pasal untuk menawarkan hukuman berat atau ringan. Cerita jual beli perkara ini bukan cerita baru di dunia peradilan. Kasus terbaru adalah ditangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima suap setelah dihentikan penyidikan kasus BLBI Syamsul Nursalim. Di luar itu tuntutan yang janggal dari jaksa atau vonis ringan untuk perkara korupsi dan narkoba masih sering terjadi.
Godaan suap di dunia peradilan sudah menjadi keprihatinan banyak orang. Hukum tidak lagi ditegakkan demi keadilan tapi demi uang. Beberapa kalangan menilai itu terjadi karena gaji aparat hukum yang kecil sementara iming-iming suap begitu menggoda.
Untuk mencegah terjadi jual beli keadilan pemerintah menetapkan memberikan tunjangan bagi hakim di lingkungan Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Tunjangan khusus setiap bulan yang diterima antara Rp 4,2 juta sampai Rp 31,1 juta tergantung dari eselon dan jabatannya.
Kebijakan tersebut berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 tahun 2008 tertanggal 10 Maret 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan MA dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Kalau dilihat dari nilai tunjangan boleh jadi masih tergolong kecil dibandingkan dengan uang suap yang terjadi di pengadilan tapi dengan diberikan tunjangan itu setidaknya pemerintah sudah menjamin setiap hakim dan jaksa sudah dapat hidup berkecukupan. Tanpa uang suap kehidupan mereka bahkan sudah berlebihan. Dengan demikian tidak ada dalih bagi mereka mau disuap karena gaji kecil.
Dengan jaminan itu diharapkan para penegak hukum dapat konsentrasi menjalankan tugasnya dengan memberikan keadilan hukum bagi warga negara tanpa dipengaruhi uang. Memang harus dibarengi adanya komitmen dari para hakim dan jaksa agar mau menegakkan peradilan yang bersih dan netral demi reformasi dunia peradilan yang sudah bercitra sangat buruk.
Bila pemerintah sudah memberikan jaminan kehidupan yang lebih dari cukup bagi hakim dan jaksa ternyata di antara mereka masih ada yang berperilaku korup dan menerima suap maka sangat pantas kalau mereka dilenyapkan dari muka bumi. Sebab penegak hukum yang sudah gila tidak layak hidup lagi. Kalau mereka dibiarkan hidup akan membuat dunia tambah kacau penuh ketidakadilan.
Upaya pemerintah ini harus diimbangi dengan hukuman yang berat bagi penyuap yang dilakukan orang berperkara dan pengacaranya. Sebab seringkali merekalah yang menawarkan lebih dulu pembelian keadilan itu.
Memang pemberian tunjangan itu masih ada kelemahannya karena polisi sebagai bagian dari aparat penyidik tidak dimasukkan. Padahal penyidikan polisi merupakan langkah awal dalam dunia peradilan sebelum masuk ke kejaksaan dan pengadilan. Tapi kita percaya, pemerintah secara bertahap bakal melengkapi itu karena ada itikad untuk memperbaiki dunia hukum kita. (*)
.

Film Fitna Dinilai Sampah

Film pendek Fitna hasil suntingan anggota parlemen Belanda, Geert Wilders, yang anti Islam diapresiasi buruk di luar negeri, Sabtu (29/3). Bahkan Kejaksaan Agung Belanda memeriksa film itu untuk mengetahui apakah mengandung muatan yang melanggar hukum.
PM Belanda, Jan Peter Balkenende, di televisi setempat menjelaskan sikap pemerintah Belanda yang menyesalkan film itu. Menurut Balkenende, Kejakgung meneliti apakah ada pasal-pasal hukum pidana yang dilanggar. "Dalam situasi semacam ini akan selalu dilihat ke batas-batas yuridis," kata Balkenende yang pemimpin Partai Kristen Demokrat (CDA).
Ditambahkan bahwa film itu tidak punya tujuan lain kecuali menyakiti perasaan. "Masalahnya adalah bukan agama, tetapi penyalahgunaan (terhadapnya)," kata Balkenende.
Dia mengemukakan pemerintah Belanda menyesalkan keputusan Wilders mengedarkan film itu, sekalipun pemerintah telah memintanya agar ia menahan diri untuk tidak melepas film itu kepada publik.
Menteri Kehakiman Belanda, Ernst Hirsch Ballin bertemu dengan para tokoh agama dan keyakinan masyarakat Belanda berkaitan dengan peradaran film itu. Dia meminta masyarakat jangan sampai berpecah-belah karena ulah Wilders. “Pencitraan Islam yang dilakukan Wilders adalah bukan sikap negeri dan rakyat Belanda,” katanya.
Pertemuan dengan para tokoh agama dan keyakinan, katanya, berlangsung positif. Mereka semua tetap berkepala dingin. Ballin bergerak cepat dengan mengumpulkan para tokoh tersebut untuk dialog membicarakan mengenai Fitna, film anti-Islam bikinan Wilders, segera setelah film itu disiarkan Kamis malam atau Jumat WIB.
Tanggapan dari anggota parlemen Belanda lainnya terhadap film Wilders pun tampak merendahkan. Ketua Fraksi Kiri-Hijau, Femke Halsema, dari oposisi mengatakan, film itu tidak memuat sesuatu yang baru. Padahal Geert Wilders gencar mengatakan filmnya akan menunjukkan bukti-bukti bahwa Islam itu fasis. "Dengan itu dia telah gagal," kata Halsema.
Partai-partai koalisi yang memerintah, yakni Partai Kristen Demokrat (CDA), Partai Buruh (PvdA), dan Partai Uni Kristen (CU) menilai gambar yang ditampilkan dalam film itu adalah comotan rekaman gambar-gambar lama, lalu dikompilasi menurut visi Wilders.
Ketua Fraksi CDA, Pieter van Geel, menyebut bahwa film itu melukai keyakinan orang secara tidak perlu. Dia tetap dengan pendapatnya bahwa film semacam itu sebaiknya tidak disiarkan.
"Itu semua gambar-gambar lama. Namun bagaimana Wilders merangkainya itu sungguh sangat menakutkan," komentar pelaksana tugas Ketua Fraksi Partai Buruh Mareitte Hamer. Dia menambahkan, Wilders telah menyinggung perasaan sekelompok orang.
Partai Sosialis (SP) dalam pernyataannya menyatakan tidak melihat hal baru dalam film yang bikin heboh itu. "Itu kan cuma kliping koran dan gambar lama televisi. Dan dia seperti biasa menggeneralisasi," penilaian Partai Sosialis.
Pemimpin partai oposisi lainnya Mark Rutte dari Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) menyebut film Wilders itu sia-sia. "Jangankan melakukan hal konstruktif dia malah menampilkan film tindakan kriminal dan teroris," kata Rutte.
"Film itu membangkitkan kesan bahwa setiap muslim itu teroris dan menggunakan kekerasan. Padahal tidak demikian. Mayoritas muslim di Belanda justru mengambil jarak terhadap penyalahgunaan agama," kata Ketua Fraksi CU, Arie Slob.
Uni Eropa juga mengutuk film itu. "Kami meyakini bahwa berbagai tindakan, seperti film yang disebut di atas, tidak membawa manfaat apa-apa selain hanya mengobarkan kebencian," kata pernyataan Presiden EU yang kini dipegang Slovenia.
"Uni Eropa dan negara anggotanya menerapkan prinsip kebebasan berpendapat yang merupakan bagian dari nilai-nilai dan tradisi kita. Namun demikian, kebebasan ini hendaknya dilaksanakan dalam semangat menghormati agama dan kepercayaan pihak lain."
Para menlu UE menggelar pertemuan tak resmi di Brdo, Slovenia, yang mengulangi seruan dalam bahasa yang lebih keras terhadap langkah Wilders. "Pesan yang muncul dari Inggris adalah orang dapat dan hendaknya menggabungkan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai kebebasan berpendapat dan sekaligus menghormati keberagaman rasial dan keagamaan," kata Menlu Inggris, David Miliband.
"Kebebasan bukanlah kebebasan sejati jika melukai orang lain. Jadi marilah kita bertindak hati-hati dalam menggunakan kebebasan kita," kata Menlu Slovenia, Dimitrij Rupel.
Negara-negara Islam juga langsung menyampaikan tanggapan keras. Teheran memperingatkan konsekuensi dari langkah provokatif semacam ini. Jurubicara Deplu Iran, Mohammad Ali Hosseini, mencap video tersebut menghina dan anti-Islam serta merupakan simbol dari antagonisme yang mendalam negara-negara Barat terhadap Islam dan umat Muslim.
Geert Wilder adalah pemimpin Partij voor de Vrijheid yang anti Islam. Dia sangat ketakutan dengan perkembangan Islam di Eropa. Lewat film suntingannya itu dia ingin menunjukkan kejelekan Islam. Film Fitna yang berdurasi 17 menit merupakan guntingan film-film seperti peristiwa WTC New York ditabrak pesawat, peledakan stasiun kereta di Madrid, ceramah beberapa ulama garis keras, wawancara dengan anak Palestina, pernyataan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad, dan peristiwa kekerasan lain.
Dalam film itu Wilders juga menampilkan beberapa ayat Alquran sebagai pengantar tiap bagian film. Ayat yang diambil isinya seruan perang terhadap orang kafir. Ayat-ayat yang dicuplik antara lain Al Anfal ayat 39 dan 60, Annisa ayat 56 dan 89, dan surat Muhammad ayat 4. Wilders melukiskan kitab suci umat Islam sebagai buku fasis yang menghasut orang untuk melakukan kekerasan. (sgp, ins)
.

Kejutan dari Gus Dur

Konflik pimpinan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berakhir dengan pencopotan jabatan secara tiba-tiba sebenarnya sudah beberapa kali terjadi. Tapi kabar dilengserkannya Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB, Kamis (27/3) dini hari tadi, ternyata masih mengagetkan juga. Ada apa sih?

Mungkin tidak dibayangkan, rapat pimpinan PKB yang acaranya pelepasan Mahfud MD menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi berakhir dengan pencopotan Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum partai. Memang posisi Muhaimin Iskandar di pucuk pimpinan PKB sudah terancam pada tahun lalu. KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menuduh dia melakukan gerakan menggalang kekuatan daerah untuk menggelar Muktamar Luar Biasa dengan tujuan melengserkan Ketua Dewan Syuro PKB yang juga pamannya itu.
Maka terjadilah pembersihan orang-orang partai yang mengenai Ketua Garda Bangsa maupun pengurus di daerah seperti DPW PKB Jatim. Bahkan Sekjen PKB, Lukman Edy, juga dicopot karena dianggap tidak loyal sebab jadi menteri tidak lapor.
Waktu itu Muhaimin Iskandar masih diampuni Gus Dur dan masih diberi kepercayaan memimpin partai sebagai ujian loyalitas. Namun kali ini tak ada ampun lagi. Dalam rapat DPP PKB yang digelar tadi malam, Gus Dur mengulangi lagi rumor lama itu dan meminta tanggapan pengurus yang hadir. Untuk membuat keputusan disepakati lewat voting dengan tiga opsi. Dari 30 peserta yang hadir, 20 orang meminta Muhaimin mundur. 5 orang mendukung Muktamar Luar Biasa (MLB), 3 suara menolak MLB. 2 orang abstain. Sementara Gus Dur, Muhaimin, dan Mahfud MD tidak diberikan hak suara.
Dengan kasus ini sepertinya PKB membuat tradisi buruk dalam regenerasi yang selalu lewat konflik.
Dulu Matori Abdul Djalil, pimpinan pertama ketika PKB didirikan pada 1998, dilengserkan begitu saja oleh Gus Dur yang disetujui para kiai dan dilegalkan dalam MLB PKB di Jogjakarta.
Kesalahan Matori adalah dia konsisten dengan pendapat partai meskipun angin politik sudah berubah. Sejak awal PKB di bawah Matori dan Gus Dur telah mendukung penuh Megawati jadi presiden. Lebih-lebih setelah PDI Perjuangan memenangkan Pemilu 1999. Ketika Megawati gagal di SU MPR karena dijegal Poros Tengah, sikap politik Matori terhadap putri Bung Karno ini tidak berubah.
Saat digelar Sidang Istimewa MPR melengserkan Gus Dur dari kursi presiden dan Megawati naik menggantikannya, Matori memihak Megawati dan menyetujui Gus Dur dilengserkan. Tak ayal dia pun dipecat meskipun sempat melawan dengan memproklamasikan PKB Batu Tulis yang lalu kalah di pengadilan.
Setelah Matori, korban berikutnya adalah Alwi Sihab dan Saifullah Yusuf yang jadi Ketua Umum PKB dan Sekjen dalam Muktamar II di Semarang. Keduanya dinilai tidak loyal karena diangkat jadi menteri tidak memberitahu Gus Dur. Akibatnya PKB pecah lagi antara kubu Gus Dur dan Alwi Shihab. Dari konflik ini melahirkan partai baru PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama).
Tentang pencopotan Muhaimin Iskandar semalam beberapa pengurus partai yang hadir dalam rapat menceritakan awalnya memang dari Gus Dur yang tiba-tiba mengungkit rumor lama itu. "Awal semua ini karena Gus Dur mendapat laporan dan informasi bahwa Pak Muhaimin menantang muktamar," kata Mahfud MD, mantan Ketua PKB.
Mendengar tuduhan itu, Muhaimin bersumpah dan membantah semua laporan sumber Gus Dur itu tidak benar. Menurut Muhaimin, isu itu sengaja dihembuskan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun Gus Dur tetap percaya dengan informasi yang diperolehnya.
"Lalu Ketua DPP Andi Muarli meminta Muhaimin bersumpah membuktikan bahwa tudingan Gus Dur itu tidak benar. Muhaimin pun berani bersumpah dan menyatakan tudingan itu tidak benar, tetapi Gus Dur pada pendiriannya. Dan Gus Dur menyerahkan proses selanjutnya pada rapat pleno," cerita Mahfud.
Gus Dur tidak ingin memutuskan laporan yang diperolehnya sendiri. "Saya tidak percaya tapi saya tidak memutuskan. Terserah forum," kata Gus Dur ditirukan Mahfud.
Ketua DPP PKB Hermawi F. Taslim menambahkan, justru alasan ingin memperkuat posisi PKB di dewan itulah yang memicu munculnya opsi agar Muhaimin mengundurkan diri. Karena itu Hermawi menolak bahwa mundurnya Muhaimin itu didasari atas usaha untuk mengadakan Muktamar Luar Biasa (MLB).
"Isu MLB itu 'kan sudah lama. Tadi malam Gus Dur mempertanyakan lagi soal itu. Pak Muhaimin mengatakan bahwa isu itu bukan dari beliau. Beliau justru membantah isu tersebut," cerita Hermawi.
Hermawi menuturkan, Muhaimin menyerahkan keputusan pengunduran dirinya itu kepada Gus Dur selaku pemimpin tertinggi di tubuh PKB. "Saya serahkan (pengunduran) ini kepada Gus Dur sebagai pemimpin tertinggi," kata Hermawi menirukan ucapan Muhaimin dalam rapat pleno DPP PKB. "Tidak, saya tidak mau membawa masalah ini ke pribadi. Jangan ditanyakan kepada saya. Kan bisa lewat voting," lanjut Hermawi menirukan jawaban Gus Dur terhadap pernyataan Muhaimin.
Setelah jawaban Gus Dur tersebut, barulah melakukan voting.
Seorang anggota Dewan Syura PKB, Cecep Syarifuddin, menyebutkan pencopotan lewat voting itu demokratis. "Ini dilakukan dengan melalui mekanisme voting. Mayoritas menghendaki saudara Muhaimin Iskandar mundur dari jabatannya, secara demokratis," kata politisi NU asal Jawa Barat ini.
Dia menjelaskan, keputusan ini diambil dalam rapat pleno yang dihadiri jajaran DPP PKB. Gus Dur dan Muhaimin sendiri tak ikut dalam pengambilan suara.
"Alasan paling utamanya adalah, untuk melakukan penyegaran di dalam internal PKB termasuk, untuk persiapan Pemilu 2009 dan pemenangan pilkada di beberapa daerah.Termasuk, ingin menjadikan PKB lebih baik lagi ke depannya," katanya. "Ini semua demi kebaikan partai," tandasnya.

Main Api
Di mata pengamat politik, tradisi pergantian pimpinan dengan cara ini bakal berulang terus di partai ini. "Ini akan muncul korban-korban politik selanjutnya, sebab pola ini memunculkan dendam kesumat dan cara ini akan berulang. Besok bisa saja yang mengganti Muhaimin dicopot dengan cara serupa," kata Indra J. Piliang, pengamat politik CSIS.
Menurut dia, pencopotan Muhaimin sebagai hal yang tidak rasional, apalagi bila melihat rekam jejak kesetiaan yang bersangkutan pada partai. "Ada semacam permainan jalan api yang ditempuh oleh sekelompok orang untuk menggantikan Muhaimin, untuk naik dia bakar dahulu PKB. Ini sangat merugikan PKB dan bangsa," kata Indra.
Pola pencopotan ala Muhaimin yang mendadak membuat arah politik PKB semakin sulit ditebak. "Ini tidak rasional, kesetiaan Muhaimin hilang karena ada sebuah isu. Ini ada sebuah konspirasi," katanya. Gus Dur, katanya, hanya dijadikan otorisasi dan pikiran itu tidak muncul dari Gus Dur-nya.
Maswadi Rauf, dosen politik dari UI, berpendapat pencopotan Muhaimin Iskandar oleh Gus Dur semakin menunjukkan parpol di Indonesia masih didominasi figur tunggal. "Itu kenyataan dalam kehidupan kepartaian kita. Parpol ditentukan figur tunggal. Gus Dur diakui kuat secara politik. Tidak satu pun orang yang melawan dia di PKB. Apa kata Gus Dur itu sama dengan apa kata PKB. Matori, Alwi mental di bawahnya. Bahkan, orang yang tadinya dibawa dia dan setia juga dikeluarkan seperti Mahfud, Hikam dan Khofifah," kata dia.
Dari kasus ini, kata dia, PKB merupakan partai yang menekankan pada kultur paternalisme. Keuntungannya, PKB diikuti fanatisme pengikut. "Kalau pun ada penurunan suara pada pemilu 2009 tidak besar. Jadi yang pecah itu hanya kelompok kecil, tidak mempengaruhi partai," kata Maswadi.
Kerugiannya, lanjut dia, PKB sulit menjadi partai moderen. Padalah idealnya parpol menjadi parpol yang moderen yang keputusannya ditentukan secara bersama-sama.
Lebih runyam lagi kalau Yenny Wahid menjadi calon kuat menggantikan Muhaimin Iskandar maka Gus Dur bisa menjadi celaan. "Menunjuk Yenni kesalahan besar. Itu akan menunjukkan ada nepotisme," katanya.
Yenni naik, sambung dia, tokoh NU dan tokoh senior PKB bakal kecewa. "Ini akan melemahkan Gus Dur. Penentang Gus Dur semakin menguat. Orang yang tidak setuju Gus Dur kan ada tetapi tidak bisa bicara. Gus Dur akan banyak dicela tidak hanya hanya NU pendukung PKB, tetapi juga di partainya," paparnya.
Maswadi mengatakan, Gus Dur sebaiknya memilih calon lainnya. "Jika ada calon selain Yenni akan lebih bijaksana dan lebih baik bagi citra Gus Dur," kata Maswadi. (sgp, ins)
.

Film ‘Fitna’ Ancam Ketegangan Barat-Islam

Sebuah film pendek hasil suntingan dari beberapa film dokumenter berjudul Fitna telah memicu ketegangan baru di Eropa. Film berdurasi 17 menit itu dibuat oleh anggota parlemen Belanda yang anti Islam, Geert Wilders.
Film itu diumumkan dalam websites partai pimpinan Wilders, Partij voor de Vrijheid (Partai untuk Kebebasan) yang juga diakseskan ke liveleak.com, pada Kamis malam atau Jumat (28/3) WIB. Padahal sidang gugatan sela di Pengadilan Rotterdam yang diajukan oleh organisasi muslim di Belanda yang menggugat film itu digelar hari ini juga.
Film itu juga dimasukkan di situs youtube yang dapat diakses oleh siapa pun.
Pemerintah Belanda pun khawatir film itu berdampak buruk bagi konstelasi politik dan ekonomi negerinya mengingat kasus kartun Nabi Muhammad pernah terjadi di Denmark yang membuat barang-barang negeri itu diboikot. Karena itu pemerintah Belanda secara resmi mengambil jarak terhadap isi film ini dan menegaskan bahwa visi Wilders tidak mewakili negeri dan rakyat Belanda.
Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, pun menolak film yang menebarkan kebencian itu. "Film itu mengidentikkan Islam dengan kekerasan. Kita menolak interpretasi itu," kata Balkenende.
Film itu potongan dari beberapa film penyerangan WTC di New York dan sebuah stasiun di Madrid yang oleh Wilders yang dikaitkan dengan tafsir ayat Alquran. Pencomotan ayat Alquran inilah dinilai tidak tepat karena sepotong-potong sehingga kehilangan konteksnya.
Adegan film dibuka dengan pesawat menghantam menara kembar WTC pada 11 September 2001 silam yang ditambahi suara seseorang dari ujung telepon melaporkan keadaan bahaya. Kemudian disambung potongan film korban tewas dalam peristiwa pemboman kereta bawah tanah di Madrid, Spanyol, pada 2004.
Selanjutnya Wilders menunjukkan potongan sebuah ayat Alquran yang diterjemahkan sebagai dasar keyakinan bagi orang Islam menebar 'teror terhadap musuh Allah'. Adegan ini menjadi bagian film dari menit kedua hingga menit kesepuluh.
Bagian akhir film ini ditampilkan gambar kartun Nabi Muhammad SAW dengan surban berbentuk bom di kepala. Kartun ini diambil dari kartun Jyllands-Posten, surat kabar Denmark yang menghebohkan itu. Dalam film itu digambarkan setelah beberapa detik surban bom itu meledak.
Publikasi itu langsung menimbulkan reaksi. Pengelola situs youtube untuk berhati-hati mengeluarkan peringatan kepada pengakses sebelum klip film di-download bahwa film ini berpotensi menyerang pihak tertentu.
Media massa Belanda pun membuat headline penyiaran film itu yang mengkhawatirkan reaksi umat Islam. Di kolom komentar youtube sendiri masuk banyak protes keras yang disampaikan pengakses.
Beberapa komentar keras menyebut Wilder sebagai seorang yang rasis.
Pengacara terkenal Belanda, Gerard Spong, dalam acara talkshow Pauw & Witteman tadi pagi, mengomentari film Wilders tersebut jelas-jelas haatzaaien atau menyebarkan kebencian. "Dan itu strafbaar (bisa dijatuhi hukuman)," ujar Spong.
Menurut Spong, pernyataan itu menyugesti masyarakat umum bahwa Islam mengancam mereka dan bisa menggerakkan masyarakat umum Belanda untuk membenci dan memusuhi penganut agama Islam.
Spong merujuk pada deretan pernyataan Wilders sebelumnya yang menyebut bahwa Alquran adalah kitab fasis. Penyebutan kitab suci sebuah agama sebagai fasis ini, menurut Spong, jelas-jelas melawan hukum.
Apa motif Geert Wilders membuat film itu? Politikus ultra kanan itu tampaknya paranoid atas penyebaran Islam di Eropa. Karena itu dia dengan film itu ingin menghentikan penyebaran Islam.
“Setelah Nazi (1945) dan komunisme (1989), kini saatnya Eropa harus menaklukkan ideologi Islam. Stop islamisasi. Pertahankan kebebasan kita,” katanya.
Wilders punya pandangan, orang Islam menginginkan masyarakat Eropa harus memberi ruang, tapi Islam tidak memberikan ruang. “Pemerintah menyuruh Anda untuk mempunyai respek untuk Islam, tapi Islam sama sekali tidak mempunyai respek untuk Anda,” tandasnya.
Katanya, Islam mau menguasai, menindas dan bermaksud menghancurkan peradaban Barat.
Wilders mengatakan filmnya adalah peingatan terakhir sebelum Belanda dan Eropa dikuasai Islam.
Soal sorban bom yang meledak itu, katanya, bukan suara bom meledak, melainkan menggambarkan islam seperti kilat dan petir di Belanda.
Di Indonesia sejak awal sudah muncul kecaman keras dilontarkan tokoh Islam seperti Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, dan Ketua MUI, Umar Shihab.
Pemerintah Indonesia pun mengutuk keras beredarnya film Fitna yang disebarluaskan Wilders. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Kristiarto Legowo, mengatakan, isi film yang melecehkan umat Islam itu dinilai sangat membahayakan perdamaiana antar umat beragama di dunia.
Pemerintah Indonesia akan meminta parlemen Belanda mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan terhadap Geert Wilders. "Sangat disesalkan Geert Wilders yang seorang anggota Parlemen Belanda melakukan tindakan tidak bertanggung jawab seperti itu," ungkap Kris.
Pemerintah juga meminta agar masyarakat, khususnya umat Islam tidak terprovokasi dengan film tersebut. "Pemutaran film ini bertentangan dengan upaya membangun dialog perdamaian antar umat beragama," ujarnya.
Berbarengan dengan penyiaran film itu, Dewan Hak Asasi Manusia PBB pagi tadi meloloskan sebuah resolusi yang mengecam penggunaan media untuk "mengobarkan aksi kekerasan, ketakutan atau sikap tidak toleran yang terkait dan diskriminasi" terhadap Islam atau agama-agama lain.
Resolusi itu disetujui oleh 21 dari 47 negara anggota dewan tersebut, sementara 14 abstein dan 10 menolak, termasuk Slovenia atas nama Uni Eropa.
Dalam pernyataan yang menentang resolusi itu, utusan Slovenia mengingatkan bahwa poin mengenai penistaan agama mengandung "acuan tegas yang bersifat satu pihak terhadap Islam".
Sejumlah media Barat menjadi sorotan karena perlakuan mereka atas permasalahan yang menyangkut Islam.
Surat kabar Denmark dikecam karena mencetak kartun-kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad.
Resolusi Dewan HAM PBB itu mengungkapkan "keprihatinan yang dalam atas keadaan serius belakangan ini mengenai pengklisean yang disengaja terhadap agama, pengikut mereka dan orang-orang suci di media dan oleh partai-partai politik serta kelompok di sejumlah masyarakat, dan atas provokasi yang berkaitan dan ekploitasi politis". Dewan itu juga sangat prihatin atas upaya-upaya yang mengidentifikasi Islam dengan terorisme, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. (sgp, ins)
.

Senin, 25 Februari 2008

Pemekaran Wilayah

Pemekaran wilayah menjadi propinsi, kabupaten, dan kota otonom baru harus mendapat perhatian pemerintah dengan serius. Jika tidak terkendali, pemekaran wilayah makin jauh dari harapan memberikan kesejahteraan dan layanan yang baik bagi rakyat. Sebab motif pemekaran itu kian kabur antara ambisi elite daerah untuk menjadi pejabat dengan niat membangun daerah dan memakmurkan rakyatnya.
Usulan pemekaran daerah menjadi-jadi sejak reformasi bergulir. Mulai 1999 sampai 4 Januari 2008, sudah ada 179 pembentukan daerah otonom baru. Dari jumlah tersebut, yang diusulkan pemerintah 117 dan inisiatif DPR 62.
Pemerintah mempunyai aturan tentang syarat pembentukan pemerintah daerah baru yaitu PP Nomor 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Peraturan tersebut antara lain mencantumkan syarat pembentukan daerah baru yakni usia penyelenggaraan pemerintahan daerah yang akan dimekarkan, syarat administratif, fisik kewilayahan, dan teknis. Dari 11 faktor syarat teknis, ada empat faktor yang dominan yakni, faktor kependudukan, kemampuan ekonomi, keuangan daerah, dan potensi daerah harus nilai lebih.
Syarat penyelenggaraan pemerintahan untuk propinsi minimal sudah dalam masa pemerintahan 10 tahun, kabupaten/kota dapat dimekarkan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan tujuh tahun. Namun dalam praktiknya aturan itu diabaikan oleh kelompok yang mengajukan pemekaran.
Misalnya usulan untuk daerah baru Propinsi Papua Barat Daya yang ingin pisah dari Propinsi Papua Barat. Padahal Propinsi Papua Barat ini resmi dibentuk pada 2003 dan punya gubernur definitif hasil Pilkada pada 2006. Lama rentang waktu itu karena terus terjadi konflik sehingga menunda hasil Pilkada. Selain itu propinsi ini hanya berpenduduk 2,3 juta orang. Bila dipecah lagi maka jumlah penduduk menjadi tidak memenuhi syarat.
Di lapangan, pemekaran wilayah di beberapa daerah telah menyulut konflik horizontal antar rakyat akibat perebutan batas wilayah, penentuan pejabat daerah, atau kepentingan politik lainnya.
Dari begitu banyaknya pemekaran wilayah hanya dalam rentang waktu delapan tahun hingga kini belum ada evaluasi yang menunjukkan mana saja daerah otonom baru yang berhasil maupun gagal.
Menurut laporan Departemen Dalam Negeri semua daerah otonom baru itu masih bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang dibuat untuk peningkatan pendapatan asli daerah dinilai malah membebani rakyat karena banyak sekali retribusi dan pajak diberlakukan.
Dari kondisi ini, pemerintah dan DPR sudah seharusnya menghentikan pemekaran wilayah yang tampak tidak sehat karena motifnya lebih banyak kepentingan politik elite daerah yang ingin menjadi kepala daerah. Jika dibiarkan beban keuangan pemerintah pusat makin besar untuk membiayai daerah baru. Uang negara itu akan habis hanya untuk membiayai elite daerah yang ingin berkuasa karena tidak puas dengan pemerintah daerah yang dimekarkan atau kalah dalam Pilkada.
Selain itu segera diadakan evaluasi untuk daerah-daerah baru yang sudah diresmikan. Bila hasilnya ternyata daerah otonomi baru tidak mampu berdiri sendiri maka lebih baik dilebur kembali ke pemerintah daerah induknya karena ternyata rakyat dan elite politik daerah baru tidak mampu melaksanakan janji untuk mandiri, mandiri dan melayani rakyat.
Memang setidaknya ada tiga alasan untuk membentuk daerah baru. Pertama, tidak pernah diperhatikan pemerintah induk. Kedua, ingin pengembangan karena padatnya aktivitas perekonomian, dan ketiga alasan elite daerah ingin menjadi kepala daerah. Dari tiga alasan ini alasan pertama dan ketiga yang paling menonjol sehingga wajar saja kalau praktik di lapangan jauh dari harapan.
Pemekaran wilayah harusnya disetujui berdasarkan padatnya kegiatan perekonomian di daerah sehingga memungkinkan dipecah untuk meringankan beban pemerintah induknya. Contohnya adalah pemekaran Propinsi Banten dari Jawa Barat dan pemisahan Kota Batu dari Kabupaten Malang. Dua daerah itu relatif sudah terbangun infrastruktur, kegiatan ekonomi, maupun sumber daya manusia sehingga begitu diresmikan dapat berjalan baik. Bila alasan politik dan kekecewaan yang dijadikan dasar pemekaran wilayah maka konflik horizontal menjadi ancaman perpecahan bangsa ini. (*)
.

Krisis Listrik

PLN pada Maret 2008 menerapkan insentif dan disinsentif dalam tarif listrik. Insentif diberikan berupa diskon sebesar 20 persen untuk pelanggan yang bisa berhemat memakai listrik diukur dari rata-rata pemakaian nasional untuk tiap golongan. Sebaliknya disinsentif atau denda dikenakan kepada pelanggan listrik yang melebihi pemakaian rata-rata nasional juga untuk tiap golongan.
Kebijakan itu dipakai PLN karena sekarang kewalahan menghadapi defisit listrik yang tak kunjung mampu diselesaikan. Pasokan listrik dari pembangkit yang dikelola PLN tak mampu lagi mengimbangi konsumsi listrik masyarakat.
Defisit sumber listrik ini menjadi kian parah lagi ketika terjadi kasus darurat seperti terlambatnya pasokan batu bara akibat cuaca buruk yang menyebabkan kapal tak dapat merapat ke pelabuhan. Tentu saja yang menjadi korban adalah pelanggan listrik industri maupun rumah tangga yang mendapat giliran pemadaman listrik di Jakarta dan sekitarnya. Bagi kalangan industri, padamnya listrik merugikan bisnis yang cukup besar dan untuk ini PLN tak mau tahu meskipun kalau industri terlambat membayar listrik langsung mendapat sanksi.
Keputusan menerapkan insentif dan disinsentif tarif listrik ini juga tak sejalan lagi dengan upaya PLN untuk menerangi segenap pelosok negeri. Program pelistrikan ini tentu mengakibatkan jumlah konsumsi listrik meningkat. Selain itu listrik juga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi masyarakat. Semakin baik pendapat masyarakat menyebabkan kebutuhan listrik juga meningkat terkait dengan pemakaian barang-barang elektronik.
Menurut data, negara dengan konsumsi tinggi terhadap listrik adalah negara yang ekonominya kuat. Misalnya Malaysia konsumsi listriknya 600 watt per orang, Jepang 1.874 watt per orang. Indonesia hanya 108 watt per orang. Itu pun kini menjadi ironis sebab di tengah kian naiknya kebutuhan listrik ternyata PLN memangkasnya dengan pemberlakuan insentif dan disinsentif .
Apakah cara ini dapat mempengaruhi pelanggan menghemat listrik? Tentu masih perlu menunggu buktinya. Sebab di lapangan masih ada kondisi yang tak mendukung target itu. Pertama, masyarakat belum tahu cara penghematan listrik yang benar-benar efisien dapat mengurangi laju meter listrik. Masyarakat tahunya menghemat listrik dengan cara mematikan lampu sesuai kampanye PLN. Kalau hanya dengan mematikan lampu punya pengaruh besar terhadap hemat listrik, boleh jadi itu efektif.
Kedua, petugas pencatat meter listrik seringkali bekerja serampangan dengan memukul rata-rata pemakaian listrik tiap rumah. Itu dilakukan karena petugas tidak datang setiap bulan. Bila ini terjadi maka pelanggan listrik yang dirugikan.
Ketiga, batasan pemakaian listrik rata-rata nasional apakah sudah rasional? Contohnya pelanggan rumah tangga dengan golongan kapasitas terpasang 450 VA rata-rata pemakaian 75 kilowatt per jam (kWh) per bulan. Mungkinkah batas ini dapat ditekan kalau ternyata konsumsi listrik di Pulau Jawa saat ini di atas angka itu. Langkah itu bisa terjadi kalau masyarakat mau mengorbankan diri meninggalkan memakai peralatan elektronik.
Sebagai perusahaan energi milik negara sebenarnya PLN dimanja. Perusahaan ini mendapatkan subsidi dari APBN sebesar Rp 42 triliun meskipun selalu merugi. Tahun 2007 kerugian mencapai Rp 1,3 triliun.
Pejabat PLN boleh saja berdalih, perusahaan itu tidak berorientasi pada keuntungan namun lebih banyak mengemban amanah sosial dengan melayani rakyat sehingga wajar kalau masih perlu subsidi. Tapi PLN saat ini adalah perusahaan listrik tunggal yang tidak ada pesaingnya. Sebagai perusahaan tunggal yang dirasakan pelanggan adalah cara kerja PLN yang belum sepenuhnya benar. Misalnya, terlambatnya pasokan batu bara tidak diantisipasi sebelumnya, pemberian bonus kepada direksi dan komisaris. Kasus lain juga terjadi tampak dari masalah korupsi yang membelit direktur dan pegawainya.
Padahal dengan 50 juta pelanggan dan subsidi pemerintah bisa jadi modal yang besar bagi PLN untuk meraih keuntungan bila diimbangi dengan perbaikan manajemen dan pelayanan. Contohnya PT Telkom. Dulu perusahaan itu juga tunggal tanpa kompetitor. Kini seiring banyak muncul kompetitor dari operator telepon selular sehingga masyarakat punya alternatif memilih fasilitas telepon, PT Telkom banyak berbenah untuk dapat meraih pelanggan. (*)
.

Senin, 11 Februari 2008

Timor Timur Bergolak

Timor Timur, negara kecil yang baru merdeka setelah memisahkan diri dari Indonesia itu bergolak lagi. Militer pemberontak pimpinan Mayor Alfredo Reinado menyerang kediaman Presiden Ramos Horta. Baku tembak menyebabkan Horta tertembak dan Alfredo dikabarkan tewas.
Sebagai negara muda, konflik memang wajar terjadi karena stabilitas belum mapan. PBB mengawasi transisi kemerdekaan Timor Timur pada 2002 setelah jajak pendapat pada 1999 rakyat menginginkan merdeka. Tapi sudah enam tahun merdeka, elite politik negara itu belum mampu mengorganisasi diri bersama-sama menuju kemapanan negara dan menyejahterakan rakyat. Padahal negara itu mendapat fasilitas dari PBB berupa bantuan pasukan keamanan dan dana internasional. Dengan bantuan itu kalau elite politik Timor Timur berkeinginan bersama menyetabilkan negara sejak kemerdekaan peluang itu cukup besar. Namun elite ternyata masih menonjolkan kepentingan sendiri sehingga pemerintah diwarnai konflik yang belum tuntas. Akibatnya negara itu hampir-hampir menjadi negara yang gagal secara ekonomi, politik maupun keamanan.
Pertikaian elite politik merebutkan kekuasaan menjadikan rakyat telantar dalam kemiskinan. Tidak ada pembangunan, perbaikan infrastruktur, maupun pelayanan kepada rakyat. Kondisi ini makin menunjukkan cita-cita kemerdekaan untuk hidup lebih makmur hanya menjadi angan-angan kosong. Ketika kemerdekaan didapat penguasa sibuk berebut kekuasaan dan melupakan rakyat.
Konflik di negara itu tak lepas dari berlarut-larutnya penyelesaian konflik bersenjata kelompok tentara desertir sejak 2006 lalu pimpinan Mayor Alfredo. Pertikaian itu sudah menewaskan 35 orang dan 155.000 warga terusir dari rumahnya. Konflik politik juga terjadi antara Fretilin dengan partai-partai lain di parlemen yang ditandai jatuhnya Perdana Menteri Mari Alkatiri dan naiknya PM Xanana Gusmao.
Potensi konflik menjadi keras karena polisi dan angkatan bersenjata masih memungkinkan ditunggangi kepentingan elite politik sehingga kekuatan bersenjata itu dapat dipolitisasi. Belum lagi bibit perpecahan antara warga pro kemerdekaan dan integrasi dengan RI belum hilang dan menjadikan masyarakat terbelah.
Tentu semua kalangan berharap kasus penyerangan terhadap Presiden Ramos Horta dan kematian Mayor Alfredo dapat mengakhiri konflik bersenjata di Timor Timur. Pemerintah harus segera mengambil kebijakan cepat dengan momentum ini berupa rekonsiliasi dengan kekuatan-kekuatan lain demi masa depan negara.
Presiden Jose Ramos Horta dan Xanana Gusmao, dua orang kuat yang diharapkan menjadi penggerak stabilitas dan memerintah negara dengan baik rupanya masih kedodoran. Ramos Horta yang tampak hebat ketika propaganda kemerdekaan Timtim di luar negeri dulu sehingga menerima Hadiah Nobel bersama Uskup Belo ternyata tak menjadi jaminan mampu menjadi pemimpin yang andal untuk Timor Timur.
Keadaan ini harus diakui mau tidak mau Horta dan Xanana dianjurkan merangkul semua teman-teman seperjuangannya meskipun kini berseberangan politik dan kepentingan. Harus ada rekonsiliasi nasional demi stabilitas negara. Setelah itu dapat dicapai maka langkah pembangunan dapat berjalan.
Rekonsiliasi itu seperti memberi amnesti kepada militer pemberontak yang kini pimpinannya sudah tewas. Bila tentara-tentara desertir ini tidak segera diamnesti malah menyulitkan pemerintah karena dapat terus menjadi gerombolan liar yang terus mengacau negara. Selain itu warga yang terbelah karena pertikaian masa lalu dianjurkan untuk saling memaafkan dan menyimpan masa lalu sebagai sejarah.
Bagaimana pun ketenangan Timor Timur diperlukan agar kawasan itu tidak selalu menjadi duri dalam daging di pemerintahan Indonesia. Sebab gejolak apa pun yang terjadi di negara itu ada pengaruhnya bagi Indonesia. (*)

Senin, 28 Januari 2008

Kematian Pak Harto

Kematian penguasa Orde Baru, Soeharto, pada Minggu (27/1) siang, diharapkan turut mengubur persoalan besar yang selalu menjadi batu sandungan pemerintah penggantinya. Persoalan besar itu adalah tuntutan sebagian rakyat yang menghendaki mantan presiden itu agar diadili untuk kasus korupsi dan kekerasan yang dilakukan terhadap rakyat.
Untuk masalah ini sudah empat presiden penggantinya dan delapan jaksa agung berganti namun kasusnya terus mengambang. Ada dua kemungkinan mengambangnya kasus Soeharto itu. Pertama, pemerintah penggantinya ragu-ragu bertindak tuntas karena pengaruh Soeharto masih sangat besar. Kedua, sulit mencari bukti sehingga penyelidikan terhenti di tengah jalan.
Karena hambatan itulah status Pak Harto selama masih hidup ibarat kerikil dalam sepatu, selalu mengganggu berjalannya presiden penggantinya. Karena itulah dengan wafatnya Pak Harto, diharapkan persoalan itu sudah selesai tuntas karena orang yang bakal dituntut sudah tidak ada.
Sebagai orang besar, Soeharto mempunyai dua sisi kehidupan. Sebagai orang yang berjasa pada negara ini sehingga banyak dipuji orang tapi sekaligus dia juga dituduh merusak negara dan dicaci maki oleh orang yang telah menjadi korban politiknya.
Jasa Soeharto terhadap bangsa ini memang besar yakni menata negara dari kondisi perekonomian yang buruk sedikit demi sedikit bangkit dengan penerapan pembangunan bertahap lima tahunan. Bahkan pada 1986, Soeharto mendapat pujian karena mampu mewujudkan swasembada pangan setelah sebelumnya Indonesia merupakan negara pengekspor beras terbesar. Prestasi ini layak dipuji karena dia mengatur negara ini dengan tujuan dan target yang jelas walaupun kemudian hari prestasi swasembada pangan itu melorot lagi karena Indonesia kembali impor beras.
Tapi prestasi yang dicapai Soeharto itu bukannya tanpa korban sebab untuk menerapkan trilogi pembangunan yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan membawa konsekuensi disingkirkannya orang-orang yang dianggap sebagai penghalang.
Stabilitas nasional mensyaratkan stabilitas politik, stabilitas ekonomi, dan stabilitas institusi. Maka di zaman itu orang yang berbeda haluan politik dengan Soeharto diisolasi tidak diberi peran apapun. Sedangkan mereka yang berani bersuara atau melawan dimasukkan penjara. Praktik mewujudkan stabilitas nasional ini menjadikan Indonesia memasuki era sentralistik dan politik rekayasa yang semuanya dikendalikan dari pusat. Hak rakyat pun seringkali dikorbankan bahkan terjadinya kekerasan terhadap rakyat. Terhadap mantan Presiden Soekarno pun, Soeharto tega mengisolasinya agar karisma Soekarno pudar dan tidak mengganggu kekuasaannya.
Ketika ingin mewujudkan pertumbuhan ekonomi, Soeharto membentuk jaringan bisnis baru dengan memberi hak istimewa terhadap orang-orang dekatnya. Kelak praktik ini menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang malah merusak perekonomian negara dan pada akhirnya menjatuhkan kekuasaannya pada 1998.
Kematian Soeharto memberikan pelajaran bagi kita agar kita mampu menjadi penguasa yang bijak. Seperti Soeharto, menjadi pemimpin negara harus memiliki perencanaan dan tahapan yang jelas untuk mencapai kemakmuran negara. Tapi jangan meniru perilaku politik Soeharto yang tega menyingkirkan orang-orang yang berbeda pendapat dengannya lewat isolasi, penjara maupun kekerasan. (*)
.

Minggu, 06 Januari 2008

Dilema Soeharto

Setiap berita tentang mantan Presiden Soeharto selalu memicu kontroversi. Sekarang ini ketika orang kuat di masa Orde Baru itu sakit parah di pembaringan rumah sakit, kontroversi muncul lagi seputar melupakan segala kesalahannya atau tetap mengadilinya.
Kelompok yang mendukung untuk melupakan kesalahan Soeharto beralasan dia sedang sakit keras, pikun, dan mempertimbangkan jasa-jasanya membangun negara ini semasa dia memerintah. Dengan demikian proses hukum yang terkait dengan tuduhan korupsi maupun tindak kekerasan lainnya tidak perlu dilanjutkan lagi demi alasan kemanusiaan.
Tapi pandangan itu ditentang kelompok yang tetap menginginkan Soeharto harus diadili atas kesalahannya di masa lalu. Alasannya, kesalahan yang diperbuat Soeharto telah meninggalkan penderitaan yang tetap ditanggung korbannya hingga kini. Korupsi dan nepotisme yang dilakukan Soeharto telah membuat negara rusak.
Di tengah kontroversi itu sikap Soeharto sendiri cukup mengejutkan karena saling bertolak belakang. Ketika dia diadili untuk perkara korupsinya selalu tidak dapat hadir di persidangan dengan alasan sakit. Bahkan dokter menyebutkan dia sakit permanen seperti pikun sehingga tidak mungkin hadir di persidangan. Kepikunan itu menjadikan Soeharto sering lupa dan lambat berpikir sehingga dikhawatirkan kalau dia hadir di persidangan perkataannya akan menjadi bahan tertawaan. Ada pendapat, tentu tidak etis mantan orang besar dan berwibawa di negara ini menjadi bahan tertawaan dan olok-olokan di depan umum.
Tapi beda kondisinya ketika menyikapi pemberitaan majalah Time yang secara sepihak menulis tentang kekayaannya yang ditulis berasal dari korupsi selama dia memerintah. Lewat kuasa hukumnya Soeharto menggugat Time hingga proses kasasi di Mahkamah Agung yang akhirnya dimenangkannya. Untuk kasus ini ibaratnya persidangan sampai ke ujung dunia pun dia kejar untuk mencari keadilan dan membuktikan bahwa dia tidak korupsi.
Maka timbul pertanyaan kenapa dia tidak mau hadir dalam sidang korupsi yang dituntut oleh Kejaksaan Agung untuk juga membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar sebagaimana dibuktikannya ketika menggugat majalah Time?
Sebagai negara hukum, pengadilan Soeharto tetap harus digelar untuk membuktikan bahwa hukum di negara ini tidak pilih kasih. Hukum harus mampu memberi ketetapan apakah Soeharto korupsi atau tidak. Bersalah melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat atau tidak. Melakukan nepotisme selama memerintah atau tidak. Kalau pengadilan tidak mampu melakukan ini maka orang semakin skeptis ternyata hukum hanya berpihak kepada orang kuat dan menekan rakyat yang lemah.
Pengampunan memang boleh diberikan pemerintah untuk seorang warga negara yang bersalah tapi apakah untuk orang sebesar Soeharto pengampunan itu layak diberikan hanya dengan alasan kemanusiaan dan di masa tuanya yang sakit parah?
Orang besar selalu mempunyai dua sisi kehidupan hitam putih termasuk Soeharto. Orang tentu masih mengingat kerja kerasnya membangun negara ini selama 30 tahun berkuasa. Tapi orang juga tidak melupakan cara-cara dia memberangus musuh-musuh politiknya agar tidak menghambat kekuasaannya. Cara-cara kekerasan yang meninggalkan luka mendalam yang mungkin tidak dapat hilang pada sebagian rakyatnya.
Dalam situasi seperti ini memberi pengampunan kepada Soeharto akan melukai rakyat yang telah disakitinya selama dia berkuasa meskipun secara pribadi telah memaafkannya.
Kalangan yang menganjurkan untuk memaafkan dosa Soeharto dan tidak melanjutkan proses peradilan mungkin hanya sebuah sentimentil politik yang dimanfaatkan oleh beberapa politisi. Namun adakah yang memikirkan korban tindak kekerasan yang dilakukan Soeharto?
Soeharto yang uzur dan sakit-sakitan itu terus menjadi ganjalan di negara ini. Tentu rakyat berharap pemerintah dapat bersikap jelas untuk menengahi masalah ini. Atau keadaan ini sengaja diulur-ulur sampai menunggu ajal kematian Soeharto. Memang hanya kematian yang berani menyudahi masalah ini. (*)
.