Minggu, 09 Desember 2007

Berilah Kesempatan KPK Bekerja

Terpilihnya Antasari Azhar menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai beragam kecaman dari pengamat dan aktivis LSM. Kritikan muncul tak lepas dari keraguan terhadap masa lalu Antasari Azhar selama bekerja menjadi jaksa dan terakhir menjabat Direktur Penuntutan pada Jaksa Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung.
Menurut masukan, ada sejumlah catatan buruk Antasari selama menjadi jaksa karena tak mampu menuntaskan kasus-kasus korupsi. Tak tuntasnya kasus yang ditangani dicurigai ada permainan dalam perkara itu. Memang selama era reformasi bidang peradilan merupakan lembaga yang belum tersentuh perbaikan. Jaksa, hakim, dan polisi dilaporkan masih mempraktikkan suap dengan memainkan pasal-pasal tuntutan perkara dan pemberian vonis.
Namun proses pemilihan pimpinan KPK sudah final dilakukan oleh DPR. Suka tidak suka keputusan itu harus diterima karena itu lebih baik sekarang bersikap beri kesempatan kepada KPK yang baru untuk bekerja daripada nyinyir menghabiskan waktu mengecam Antasari Azhar dan DPR.
Kalau menuruti sikap pesimistis, motif Antasari mendaftar menjadi anggota KPK pun pasti juga dipersoalkan. Apakah dia benar-benar berniat membantu pemberantasan korupsi demi tujuan menciptakan pemerintah yang bersih atau sekadar mencari jabatan baru menjelang pensiun sebagai jaksa. Tentu saja motif itu baru dapat dinilai setelah dia bekerja.
Apalagi seleksi anggota KPK hingga pemilihan pimpinannya dilakukan secara terbuka dan berjenjang mulai dari tim seleksi hingga ke DPR sehingga siapa pun boleh mengetahui dan memberikan masukan. Bila dari jenjang penyaringan itu ternyata hasil akhir menunjukkan Antasari Azhar yang terbaik maka kenyataan itu harus diterima oleh siapa pun. Sebab dia berhasil mengalahkan calon anggota KPK lainnya yang track recordnya bersih maupun kotor.
Kita seringkali berharap mendapatkan seorang malaikat untuk pekerjaan ini. Tapi kita harus sadar bahwa dunia kita bukanlah hitam putih, seringkali dunia abu-abu yang dominan. Dan kita juga jangan menilai seolah-olah diri kita ini bersih sehingga menilai orang lain itu kotor. Kita tidak memilih malaikat namun orang yang terbaik sebab di antara kita memang tidak ada malaikat.
Antasari Azhar terpilih sudah melewati seluruh proses penyaringan tim seleksi dan fit and proper test yang dilakukan Komisi III DPR secara terbuka. Kita harus mencoba percaya anggota DPR paling tahu tentang kualitas dan kapabilitas calon pimpinan KPK karena merekalah yang terlibat intensif.
Sementara pengamat dan aktivis LSM berada di luar proses itu dan mempunyai kebiasaan mengeluarkan penilaian berdasarkan prasangka-prasangka bahkan ditambahi dengan kesukaan bermain teori konspirasi. Cara penilaian seperti ini sudah menjadi pola pikir pengamat dan aktivis LSM untuk kasus apa pun misalnya pemilihan anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang lalu.
Kita memang sadar ada masa lalu yang buruk tapi alangkah bijak tidak selalu terpaku dengan masa lalu sebab faktanya memang tidak ada pejabat maupun professional lain yang benar-benar bersih. Di antara mereka inilah disaring yang terbagus untuk membantu penciptaan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Apalagi Antasari Azhar tidak bekerja sendiri, masih ada empat wakil ketua yang saling bisa mengawasi.
Terpilihnya Ketua KPK bukanlah akhir episode cerita justru pertunjukan baru dimulai. Sekarang kita menjadi penonton yang kritis untuk ikut mengawasi kerja KPK agar sesuai dengan harapan kita. Kita memberikan tekanan agar KPK menjunjung nilai kejujuran, amanah pada tugas dan bekerja secara transparan.
Karena itu berilah waktu tiga bulan kepada pimpinan baru KPK untuk bekerja serta membuktikan bahwa mereka tidak seperti yang dipersepsikan orang. Indikatornya adalah apakah kasus-kasus besar yang ditangani KPK menunjukkan perkembangan yang berarti dan dapat membersihkan semua lembaga pemerintahan yang kini belum tersentuh seperti dunia peradilan mulai Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, polisi, Departemen Keuangan, maupun badan-badan pengawas keuangan hingga jenjang di bawahnya. (*)
.

Minggu, 18 November 2007

Pahlawan dan Pengkhianat

Keputusan pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Dr Ida Anak Agung Gde Agung terus diprotes pejuang Bali. Gelar itu dinilai tidak layak karena Ida Anak Agung Gde Agung selain punya jasa pada perjalanan negara ini tapi juga menyimpan sisi gelap sebagai pengkhianat bangsa karena berpihak kepada penjajah Belanda dan menindas rakyat.
Sebutan pahlawan memang relatif tergantung dari sisi mana melihatnya. Diponegoro bagi kita adalah pahlawan namun bagi pemerintah kolonial Belanda dia pemberontak. Amrozi dan Imam Samudera menganggap dirinya mujahid tapi bagi polisi dan George W. Bush tak lebih dari kumpulan teroris.
Paulus semula adalah musuh yang kejam bagi para pengikut Yesus. Tapi setelah taubat kemudian dianggap pahlawan dan pembaharu dalam agama Kristen. Begitu juga Umar bin Khattab semula adalah musuh yang menakutkan bagi pengikut Nabi Muhammad tapi setelah taubat diakui sebagai pahlawan Islam.
Bung Tomo bagi orang Surabaya adalah pahlawan yang identik dengan 10 November tapi oleh rezim Orde Baru dia dianggap pemberontak, pembangkang, tukang kritik kebijakan Soeharto sehingga gelar pahlawan tak junjung diberikan hingga kini.
Pada peringatan Hari Pahlawan lalu pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh yaitu Mayjen TNI (Pur) dr Adnan Kapau Gani, Mayjen TNI (Pur) Prof. Dr. Moestopo, dan Brigjen TNI (Anumerta) Ignatius Slamet Rijadi dan Dr Ida Anak Agung Gde Agung.
Sebagai manusia, empat orang yang dipahlawankan oleh pemerintah ini dalam kehidupannya pasti ada sisi baik dan buruk. Namun sebagai pahlawan, sisi baik harus sangat dominan sehingga pantas dijadikan teladan dan simbol yang memberi spirit bangsa. Kalau pun punya kehidupan gelap harus tidak bertentangan dengan simbol kepahlawanan. Karena itu pahlawan yang punya kehidupan gelap yang bersifat pribadi dan tidak berpengaruh kepada kehidupan publik masih dapat ditoleran.
Dari empat pahlawan nasional baru itu hanya kepahlawanan Ida Anak Agung Gde Agung menjadi kontroversial karena pejuang Bali mengenalnya justru sebagai pengkhianat.
Pemerintah memberi gelar pahlawan kepada Ida Anak Agung Gde Agung sebatas pada jasanya pada 1948 mendirikan dan menjadi penggerak utama Pertemuan Musyawarah Federal (PMF), paguyuban negara-negara dan wilayah federal di Indonesia yang ditujukan untuk menghimpun kekuatan politik guna menanggulangi berbagai perundingan Belanda-RI.
Anak Agung Gde Agung, pada 1949 memimpin delegasi Negara Indonesia Timur dan PMF ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag, juga merupakan pemrakarsa Pertemuan Antar Indonesia untuk menyatukan presepsi unsur federal dengan pemerintah RI dalam menghadapi langkah politik lawan di Konferensi Meja Bundar.
Tapi saksi sejarah Bali menyebutkan Raja Gianyar itu orang yang memihak penjajah Belanda. Dia mendirikan Pemuda Pembela Negara yang berhadap dengan pejuang kemerdekaan di Bali. Organisasi itulah yang menangkapi pejuang, menyiksa, dan membunuh.
Dengan data-data baru itu sudah sepatutnya pemerintah mengevaluasi lagi keputusannya agar nilai pahlawan tidak menjadi cemar dan menjadi sinisme. Sebab sisi gelap Ida Anak Agung Gde Agung bertentangan dengan sifat kepahlawanan.
Pemerintah harus dapat mengungkapkan perbuatan kepahlawanan Ida Anak Agung Gde Agung itu sebagai pertaubatan di masa lalunya yang memihak penjajah ataukah sebuah sikap oportunis. Bila sikap oportunis lebih mengedepan maka tidak layak menyandang pahlawan. Sebab oportunis bertentangan dengan kepahlawanan. (*)
.

Jumat, 09 November 2007

Anggaran Demokrasi

Anggaran Pemilu 2009 dipangkas menjadi hanya Rp 10,4 triliun dari usulan semula Rp 49,7 triliun. Dengan anggaran sejumlah itu diharapkan terjadi penghematan dalam penyelenggaraan pemilu tanpa mengurangi kualitasnya.
Sejumlah efisiensi anggaran sudah dirancangkan antara lain meniadakan pengadaan kotak suara, mengurangi jumlah TPS dengan asumsi satu TPS menampung seribu pemilih, meniadakan kendaraan dinas, meniadakan anggaran keamanan, kartu pemilih, dan mengganti surat suara dengan kertas koran, serta mengubah format dari mencoblos dengan menulis nama caleg dan partai.
Dengan efisiensi ini diharapkan birokrat mengubah kebiasaan menyusun anggaran secara boros. Anggaran harus disusun berdasarkan patokan harga pasar dan barang yang sesungguhnya sehingga tidak terjadi pembengkakan harga. Sering terjadi nilai anggaran belanja negara besar tapi barang yang didapat tidak setara. Artinya angaran kita terdapat mark up atau pembengkakan. Inilah korupsi namanya yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Maka dengan pemangkasan anggaran pemilu kali ini harus benar-benar mulai diubah perilaku koruptif menyusun anggaran. Kebiasaan menghambur-hamburkan anggaran itu misalnya selalu menyediakan pengadaan barang baru padahal barang lama masih ada. Kenapa itu dilakukan? Karena dengan ada anggaran baru ada peluang untuk menikmatinya padahal itu korupsi.
Efisiensi anggaran sekaligus mengubah perilaku kita agar menjaga barang negara dengan baik meskipun itu barang sederhana yang harganya murah. Misalnya kotak suara. Sebenarnya barang itu tahan lama karena dibuat dari logam tapi di beberapa daerah banyak kotak suara yang hilang atau sengaja dilenyapkan karena tidak benar-benar dijaga untuk Pemilu berikutnya.
Selalu yang terpikir di pikiran orang adalah barang itu sudah tidak dipakai, pemilu berikutnya dapat membeli lagi. Bayangkan berapa uang dihamburkan untuk menuruti pikiran seperti itu.
Penghematan anggaran pemilu akan memaksa penyelenggaranya untuk berpikir kreatif, praktis, dan rasional. Misalnya tentang kartu pemilih yang menghabiskan dana miliaran untuk membuatnya. Padahal penduduk sudah memiliki KTP atau SIM. Bukankah lebih praktis menggunakan kartu identitas yang dimiliki penduduk itu?
Orang mempunyai KTP berarti sudah terdata dalam sistem kependudukan dan kartu itu sah dipakai untuk keperluan apa pun termasuk ikut pemilu. Dengan demikian orang tinggal datang ke TPS dengan menunjukkan KTP lalu diberi kartu suara dan mencoblos.
Banyak yang dihemat dengan cara ini. Selain tidak perlu membuat kartu pemilih juga tidak ada biaya survei.
Survei data pemilih dalam praktiknya selama ini justru menimbulkan masalah karena ternyata banyak pemilih yang tidak terdata. Survei jumlah pemilih malah tidak akurat sehingga menimbulkan protes karena warga yang tidak terdata maka tidak dibuatkan kartu pemilih sehingga hilang hak memilih. Survei pemilih yang asal-asalan selama ini telah memotong hak pilih rakyat.
Dengan memakai KTP maka semuanya bergantung kepada rakyat sendiri. Mau ikut pemilu boleh, tidak mau pakai hak pilih juga silakan. Kalau KTP mati maka segeralah memperbarui. Kalau malas memperbarui maka risiko tidak bisa memilih sudah diketahui. Dengan demikian tidak ada lagi protes karena semua berdasarkan kesadaran rakyat sendiri.
Kekhawatiran terhadap orang yang memiliki KTP ganda yang dimungkinkan berlaku curang mencoblos dua kali, itu dapat dicegah dengan tinta pemilu berkualitas baik, tidak mudah luntur menempel di jari sedikitnya selama enam jam. Karena itu proses tender pengadaan tinta harus dilakukan dengan benar jangan seperti pemilu lalu yang bermasalah karena ada kolusi.
Mencoblos gambar diganti dengan melingkari dengan pulpen juga patut diberlakukan karena selain efisiensi juga mengatasi perdebatan soal surat suara berlubang. Dalam pemilu sebelumnya selalu timbul masalah sejumlah surat suara yang sudah diterima kertasnya rusak berlubang. Akhirnya surat suara itu dimusnahkan dan diganti baru sehingga melambatkan pelaksanaan pemilu. Begitu juga kasus coblosan dobel akibat lipatan surat suara tidak dibuka sempurna bisa menjadi perselisihan tajam. Bila mencoblos gambar diganti melingkari dengan pulpen maka kertas berlubang tidak menjadi masalah lagi.
Demokrasi memang berbiaya mahal. Salah satu ukurannya adalah biaya pemilu. Tapi mahalnya biaya itu memberikan pencerahan bagi rakyat dan pemimpin negeri ini kalau semuanya dilakukan dengan benar. Bukan diniatnya sebagai proyek pemilu yang mendatangkan keuntungan untuk kantong pribadi. Apalagi kalau pemilu menghasilkan pemimpin yang dapat memakmurkan rakyat. Mahalnya anggaran pemilu menjadi tidak sia-sia. (*)
.

Senin, 05 November 2007

Memaknai Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda yang diikrarkan 79 tahun lalu perlu kembali disegarkan untuk meredam gejolak tuntutan otonomi daerah yang kini cenderung menimbulkan konflik bahkan mengarah disintegrasi.
Peristiwa pada 28 Oktober 1928 itu telah melahirkan identitas nasional Indonesia pada wilayah nusantara Hindia Belanda yang beranekaragam suku bangsa ini. Dari keragaman itu mampu disatukan untuk mencapai kemerdekaan.
Berbalik dengan peristiwa itu kecenderungan yang terjadi hari ini justru kesatuan bangsa itu mulai mengkotak-kotak lagi dengan menonjolkan primordialisme suku bangsa. Memang ini risiko perubahan politik yang kini menekankan aliranaspirasi bawah ke atas.
Reformasi yang kita jalankan memang telah mengubah sistem politik yang sentralistik menjadi demokrasi. Sudah banyak perubahan terjadi mulai pemilihan pemimpin yang langsung oleh rakyat dan pemberian otonomi daerah.
Tapi di sejumlah daerah nafsu untuk memecahkan diri dari induk kabupaten atau propinsi seperti menjadi euforia dengan banyaknya permintaan menjadi pemerintah daerah sendiri. Bila niat itu benar-benar untuk kepentingan pelayanan rakyat dapat dipahami tapi yang terjadi adalah keinginan itu adalah nafsu para elite daerah ingin mendapat kekuasaan.
Bila gejala ini terus dibiarkan dikhawatirkan yang terjadi justru kerusakan sebab beberapa di antara daerah yang ingin mandiri itu terjadi konflik antar kelompok rakyat. Apalagi beberapa pemerintah daerah baru terbukti belum dapat mandiri sepenuhnya karena sangat bergantung kepada pemerintah pusat terutama anggaran.
Karena itu permintaan pembentukan pemerintah daerah baru harus dihentikan dulu sebelum evaluasi menyeluruh. Pembentukan daerah baru selama ini malah menghabiskan anggaran dan energi untuk berkonflik.
Kita sungguh menyayangkan ikatan nasionalisme yang dibentuk semasa Orde Baru itu semu sehingga gampang terurai ketika terjadi gejolak politik. Ibarat menarik sehelai benang dari kain maka terurailah tenunan itu.
Karena itu sekarang kita perlu merajut kembali agar ikatan yang longgar itu menyatu dengan membuat nasionalisme baru yang mengikat, dengan bersikap mengedepankan kepentingan nasional. Kita harus mampu untuk mengendalikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah melenceng dari spirit dasar nasionalisme.
Memang untuk mencapai tujuan itu pemerintah pusat dan daerah harus konsisten dan konsekuen agar tidak menimbulkan saling iri. Sebab euforia primordialisme sekarang ini muncul karena selama Orde Baru, pemerintah pusat mengisap potensi ekonomi daeri daerah dan sebagian besar dipakai untuk kepentingan pusat. Daerah ditelantarkan.
Kita saatnya semuanya berikrar untuk satu bahasa yakni kemakmuran bersama. (*)
.

Spekulasi Aliran Sesat

Munculnya beberapa aliran menyimpang dari Agama Islam belakangan ini seperti Al Qiyadah Al Islamiyah dan Quran Suci memunculkan spekulasi bahwa semua itu merupakan rekayasa dari kelompok tertentu dengan target tertentu pula. Tak kurang tuduhan itu muncul dari Ketua PBNU, Hasyim Muzadi dan Said Agil Siradj serta Sekjen MUI, Ichwan Syam.

Tuduhan itu bisa benar tapi dapat juga salah. Bagi penggemar teori konspirasi tentu langsung berkesimpulan semua peristiwa itu bukan kebetulan semata tapi masih satu rangkaian dari kasus lain dalam grand design yang dibuat pihak tertentu untuk tujuan tertentu pula.
Munculnya dugaan adanya konspirasi dalam perkara aliran menyimpang ini dapat dibenarkan berdasarkan pengalaman politik di masa Orde Baru, ada fakta pihak intelijen menciptakan kelompok-kelompok ekstrem dan menyimpang untuk memberangus aktivis muslim yang mengritik pemerintah.
Komando Jihad misalnya yang dijadikan senjata Orde Baru untuk menangkapi aktivis dai dan menyudutkan gerakan militansi muslim, menurut data ternyata pimpinannya seperti Dodo Muhammad Darda (putra Kartosuwiryo), Tahmid Rahmad Basuki, juga Adah Djaelani Tirtapraja (Ma'had Al Zaitun), Rahmat Basuki (pelaku pengeboman BCA), Amir Fatah, H Ismail Pranoto, Danu Muhammad Hasan adalah binaan Ali Moertopo yang sengaja merekrut tahanan anggota DI/TII.
Kelompok radikal walaupun berbahaya tapi justru menjadi sangat mudah dikendalikan dan dapat dimainkan untuk kepentingan orang. Sebab psikologi kaum radikal adalah psikologi orang marah dan kebencian yang sangat mudah dihasut dan dibohongi lalu dijadikan pion untuk mengikuti apa saja kemauan dan arahan penyuruhnya sekaligus bisa dikorbankan dengan mudah tanpa menimbulkan kerugian yang berarti.
Setelah dibina lantas mereka dibebaskan bergerak dengan idealismenya maka muncullah peristiwa teror seperti pemboman BCA, penyerbuan kantor polisi di Cicendo, pembajakan pesawat Woyla, peledakan Borobudur. Ketika semua pelakunya ditangkap semua ketahuan mereka mantan anggota DI/TII binaan Opsus Ali Murtopo. Tapi pemerintah sudah berhasil menciptakan stigma adanya kelompok radikal Islam yang perlu dibasmi dan dapat dibenarkan orang-orang yang dicurigai harus dikejar dan ditangkap.
Tidak cukup hanya menciptakan kelompok radikal, gerakan intelijen juga masuk ke wilayah partai politik dan organisasi masyarakat untuk menempatkan orang yang mendapat restu pemerintah ataumenempatkan orang untuk mengadu domba. Tujuannya satu agar semua partai dan organisasi dalam kendali pemerintah.
Kasus Bom Bali yang melibatkan Amrozi, Ali Gufron, Ali Imron, dan Imam Samudera juga tak lepas dari praduga konspirasi pihak intelijen seperti ini. Sebab bermula dari bom itulah lantas semua aktivis muslim dikejar dan ditangkapi dengan alasan perang terhadap terorisme. Padahal ada keganjilan yang patut dipertanyakan seputar kemampuan pelakunya membuat bom sedahsyat itu.
Kali ini pihak yang dicurigai memainkan gerakan intelijen adalah Amerika Serikat (AS) yang memimpin perang anti terorisme di seluruh dunia setelah terkejut menara kembar WTC di New York runtuh. Sejak peristiwa yang dikenal sebagai 11 September (9/11) itulah AS mulai memberangus gerakan Islam radikal sekaligus menjinakkan Islam.
Maka negara yang kemudian menjadi korban adalah Afghanistan, Irak dan kini mengincar Iran.
Indonesia setelah kasus Bom Bali malah mendapatkan bantuan besar untuk pendidikan Islam baik dari AS maupun sekutunya, Australia. Pesantren, madrasah, sekolah muslim, dan LSM mendapatkan bantuan dana sangat besar untuk program memoderatkan pandangan kaum muslim. Guru dan murid sekolah Islam menikmati program muhibah setahun hidup di AS. LSM yang menyebarkan paham pluralisme agama pun disokong biaya.
Selain kegiatan-kegiatan resmi dan tampak intelek seperti itu, orang juga menduga tentu ada program tak resmi yang tak perlu tampak intelek sebagai gerakan intelijen dengan memasang orang, menggerakkan pion-pion untuk mengadu domba, membingungkan dan pendangkalan akidah umat.
Misalnya saja dengan memunculkan kelompok penganut aliran menyimpang dari Islam seperti Al Qiyadah Islamiyah atau Quran Suci. Dari penelusuran yang dilakukan Forum Umat Islam ada data sumber dana dari negara tertentu. Maka bertambahlah kecurigaan bahwa kelompok ini memang sengaja dibuat oleh pihak tertentu. Apa tujuannya? Untuk menjelekkan Islam, mengadu domba, dan mendangkalkan akidah.
Logika ini ada benarnya sebab setelah muncul kelompok menyimpang ini di masyarakat akhirnya terjadi perdebatan antara kelompok pembela yang mengatasnamakan hak asasi manusia dan penentangnya yang mendasarkan pada asasi ajaran agama. Targetnya boleh jadi adalah untuk menciptakan wacana hak orang boleh meyakini agamanya menurut tafsirannya sendiri.
Kalau merujuk sejarah, berkembangnya aliran Ahmadiyah dari Lahore, Pakistan, ternyata juga tidak lepas dari peran kolonial Inggris yang memakai pemimpin kelompok itu untuk menjinakkan dan mengadu domba kaum muslim yang memberontak.
Spekulasi lain atas munculnya aliran menyimpang adalah sekadar test case untuk rakyat menjelang Pemilu 2009. Setelah peristiwa itu dimunculkan diharapkan mendapatkan umpan balik reaksi masyarakat. Data ini diperlukan untuk menganalisis sejauh mana kestabilan masyarakat menghadapi pemilu.
Model test case seperti ini umum terjadi menjelang peristiwa besar seperti isu dukun santet di Banyuwangi menjelang reformasi. Bahkan isu hantu kolor ijo dicurigai bagian dari konspirasi intelijen.
Al Qiyadah Al Islamiyah dicurigai bagian dari rencana ini karena ada keganjilan seperti nama Ahmad Moshadeq yang tiba-tiba muncul, lalu sebagai gerakan baru tiga tahun sudah mengklaim jumlah jamaahnya banyak dan menyebar di penjuru kota. Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang punya karisma dan kapasitas kepemimpinan luar biasa atau dibantu orang tertentu yang sudah punya jaringan.

Ratu Adil
Memang tidak selalu penganut teori konspirasi benar. Sebab ada kalanya sebuah peristiwa aliran menyimpang muncul spontan, berdiri sendiri, tanpa kaitan atau rekayasa pihak lain. Namun kasus itu menjadi makin rumit ketika ditafsiri oleh pengamat lalu dikait-kaitan dengan masalah tertentu dan dipolitisasi.
Munculnya kelompok ajaran agama menyimpang dalam kaca mata sosiologi berkaitan dengan kondisi orang atau masyarakat yang merasa sengsara, terhina, baik dari segi ekonomi, sosial dan politik dan berharap ada pemimpinan luar biasa yang mampu membebaskan. Pemimpin yang ditunggu kedatangannya itulah kemudian disebut Ratu Adil, Imam Mahdi, atau Satria Piningit.
Sebetulnya ini hanya pelarian orang karena tidak mampu mengubah kondisinya untuk mendapatkan sesuatu yang ideal. Dulu Soekarno disebut-sebut juga sebagai Ratu Adil yang ditunggu-tunggu itu membebaskan rakyat dari penjajah. Soeharto berusaha membangun karisma Ratu Adil dengan sistem politik totaliternya. Dan dulu juga ada yang percaya Susilo Bambang Yudhoyono adalah Satria Piningit yang dinantikan itu untuk memimpin bangsa ini dari keterpurukan setelah reformasi. Tapi satria itu kini malah dicaci-maki, dituduh tidak tegas, dan hanya tebar pesona saja.
Melihat apa yang diajarkan Al Qiyadah Al Islamiyah boleh jadi ini sekadar ulah Ahmad Mushadeq yang setelah laku spiritual lantas mengklaim dirinya Al Mahdi. Kisahnya menjadi makin menyakinkan ketika dibalut dengan tafsir-tafsir Alquran sehingga ada rujukan pembenar.
Ajarannya yang sangat ringan menjalankan ibadah dibandingkan ajaran Islam aslinya tentu saja menarik minat orang-orang yang ingin tetap Islam tapi terbebas dari kewajiban ibadah. Mungkin boleh dikatakan pengikut kelompok ini adalah orang yang ingin tetap dianggap Islam tapi boleh tidak menjalankan salat, puasa dan haji dan Ahmad Mushadeq mampu memainkan kebutuhan itu dengan tafsir agama dan pengakuan dia sebagai rasul yang menerima wahyu Tuhan.
Jadi dengan kondisi demikian jangan dikira hanya orang awam yang bodoh saja yang mau jadi pengikutnya. Justru kaum terpelajar dan kaya banyak mengikuti karena memang tujuannya ingin bebas dari kewajiban agama. Mereka adalah orang-orang yang nyentrik.
Kondisi ini sama dengan pengikut kelompok Salamullah Lia Aminuddin yang sudah bosan melihat kekerasan dan pertikaian antar agama lantas mengaku sebagai jibril yang mengajarkan kedamaian dengan menggabungkan ritual semua agama. Di kelompok ini anggotanya mendapat kedamaian yang tidak didapatkan di dunia luar. (*)
.

Kasus Satu Calon Anggota KPU

Keberadaan Syamsul Bahri, calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), akhirnya menyulitkan posisi pemerintah. Syamsul Bahri yang lolos seleksi anggota KPU ternyata masih dalam status diperiksa Kejaksaan Negeri Malang dalam perkara korupsi pembangunan pabrik gula.
Karena status tersangka korupsi itu Syamsul lalu tidak dilantik sbagai anggota KPU dan kini Kejaksaan Negeri Malang pun tampak bersemangat memeriksa kembali dia bahkan disertai tindakan menahannya dengan alasan untuk memudahkan proses pemeriksaan.
Tak ayal sikap Kejaksaan ini menimbulkan pertanyaan. Kenapa kasus yang sudah berlangsung setahun itu baru sekarang membuat keputusan menahan Syamsul Bahri? Maka tak salahlah kalau ada yang berpendapat sekarang ini Syamsul Bahri menjadi korban politik dan korban ketidakjelasan hukum di Indonesia.
Masalah Syamsul Bahri ini menjadi batu sandungan bagi kerja pemerintah dan KPU yang dikejar waktu untuk menyelenggarakan Pemilu 2009. Dalam masalah ini dapat dirasakan ada ketidakjujuran, kerja aparat yang tidak beres, dan permainan politik.
Ketidakjujuran dilakukan oleh Syamsul Bahri yang tidak menceritakan dalam riwayat hidupnya soal status dalam pemeriksaan kejaksaan ini. Perkara ini baru mencuat ketika ada LSM yang mengungkapkan lantas Kejaksaan yang mungkin sudah melupakan kasus ini lalu mulai beraksi lagi.
Tidak tuntasnya pemeriksaan Kejaksaan atas kasus ini juga menimbulkan kecurigaan mengapa setelah pemeriksaan setahun lalu hingga sekarang tidak tuntas. Hanya satu saja tersangka yang diproses pengadilan yaitu Kepala Dinas Perkebunan sedangkan lainnya tidak jelas sampai tiba-tiba Syamsul Bahri lolos seleksi KPU.
Dari masalah ini, reformasi lembaga peradilan patut diperhatikan untuk menciptakan kejelasan hukum. Jangan sampai lembaga peradilan menjadi tempat praktik suap dan jual beli hukum sehingga banyak perkara yang tidak tuntas bahkan tiba-tiba menghilang.
Kasus Syamsul juga beraroma ada permainan politik untuk saling menjatuhkan antara pemerintah dan DPR. Pemerintah yang menerima tujuh calon anggota KPU dari panitia seleksi tetap mencantumkan Syamsul Bahri dengan alasan belum ada keputusan hukum tetap yang menguatkan dia bersalah.
DPR yang sudah mengetahui persoalan Syamsul bahkan mempersoalkan dengan sengit ternyata akhirnya tidak mencoret nama Syamsul. Meskipun pemerintah berkali-kali lobi DPR untuk mengatasi status Syamsul ini DPR tetap meloloskan. Padahal kalau DPR mau konsisten dengan suara yang selama ini dikritikkan kepada pemerintah semestinya nama Syamsul sudah harus dicoret agar tidak menimbulkan persoalan.
Tapi karena DPR tidak mau bermasalah maka nama itu diloloskan saja agar pemerintah yang membuat keputusan sendiri. Kesannya DPR mau melempar persoalan kepada eksekutif kembali. Akhirnya dengan keputusan Syamsul tidak dilantik kini menjadi perdebatan terus apakah perlu dicarikan pengganti untuk melengkapi anggota KPU menjadi tujuh orang sesuai amanat undang-undang. Semestinya soal KPU sudah tuntas dan bekerja untuk menyiapkan Pemilu.
Belajar dari kasus ini, marilah kita bekerja dengan baik dan tulus untuk negara ini. Singkirkan kepentingan politik dan saling menjatuhkan. Sebab masih banyak kerusakan negeri yang harus diperbaiki. Kalau gagal maka rusaklah kembali negeri ini. (*)
.

Minggu, 07 Oktober 2007

Calon Presiden

MESKI Pemilu masih dua tahun lagi tapi sejumlah orang sudah mengumumkan pencalonan presiden. Bahkan orang seperti Sutiyoso yang tidak mempunyai partai politik dan basis massa, sangat percaya diri mendeklarasikan diri sebagai calon presiden.
Dalam era demokrasi sekarang memang hak setiap warga negara mengajukan diri menjadi presiden. Urusan dipilih oleh rakyat atau tidak itu terserah kepada pemilihan umum.
Namun semestinya orang-orang yang mencalonkan diri itu mau berhitung kekuatan dan dukungan rakyat untuk memilihnya. Artinya ada modal untuk maju menjadi presiden di negeri yang berpenduduk 200 juta ini. Modal itu tentu saja bukan hanya bondho nekad, istilah yang dicapkan kepada supporter Persebaya.
Menjadi presiden setidaknya mempunyai modal kemampuan memimpin dan didukung rakyat. Kemampuan memimpin dapat dibaca dari kecepatan membuat keputusan yang tepat, komunikasi politik yang efisien, dan kemampuan mengendalikan segala potensi dan ancaman negara untuk kesejahteraan rakyat.
Sedangkan dukungan rakyat setidaknya diukur dari popularitas dia di mata rakyat, mempunyai basis dukungan massa yang jelas, atau bisa juga mengacu pada hasil pemilu sebelumnya.
Dari syarat modal seorang presiden ini maka calon presiden yang pernah bertarung pada 2004 lalu semestinya sudah dapat mengukur diri apakah bakal dipilih lagi oleh rakyat atau tidak. Begitu pula calon presiden yang sudah pernah menjadi presiden, penilaiannya menjadi lebih konkrit lagi yakni prestasi apa saja yang pernah dilakukan saat menjabat presiden.
Memang semakin banyak calon presiden membuat pilihan menjadi beragam dan menunjukkan kader pemimpin negeri ini sangat banyak. Tapi ketika yang muncul adalah wajah-wajah lama yang pernah kalah dalam Pemilu lalu menimbulkan pertanyaan apakah para kandidat presiden itu tidak mampu berkaca diri dan menghitung-hitung kapasitas diri.
Orang yang pernah kalah dalam pemilu sebelumnya menurut logika sebenarnya tidak diinginkan oleh rakyat. Begitu juga presiden yang mencalonkan lagi kemudian kalah artinya rakyat juga tidak mau memilihnya. Lalu kenapa masih mencalonkan lagi dalam pemilu nanti?
Alasannya mungkin saja berdasar logika: kalau rakyat tidak ada pilihan terbaik maka calon buruk pun terpaksa dipilih. Kalau ini terjadi negeri ini bakal mendapat pemimpin buruk. Maka bayangkan bagaimana nasib negeri ini selanjutnya.
Dikhawatirkan dalam situasi ini, orang-orang yang muncul menjadi calon presiden adalah para petualang politik yang menjadi presiden karena hanya untuk membuktikan ambisi pribadi saja. Setelah benar-benar terpilih menjadi presiden ternyata tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Justru kesejahteraan diri dan kelompoknya yang muncul.
Tentu saja ini menjadi keprihatinan. Reformasi politik di Indonesia ternyata baru memunculkan pemimpin-pemimpin petualang. Itu terbukti dari sepuluh tahun reformasi berjalan perbaikan ekonomi dan politik masih pincang. Korupsi masih merajalela, syahwat politik makin membesar.
Akibatnya negara besar ini kian kerdil di mata negara tetangga yang kecil. Dengan Singapura saja terpaksa banyak memberi fasilitas ketika mengadakan perjanjian pertahanan yang kemudian diprotes DPR. Dengan Malaysia saja menjadi inferior karena kasus-kasus TKW.
Tentu saja kita menginginkan ada perbaikan setelah Pemilu 2009. Pemilu yang melahirkan pemimpin sejati untuk mengantarkan negara besar ini menjadi penting di kawasannya. (*)
.

Minggu, 30 September 2007

Komisi Yudisial

KOMISI Yudisial (KY), lembaga pengawas para hakim itu tersandung masalah. Salah satu anggotanya, Irawady Joenoes, diduga menerima suap atau fee pembelian tanah untuk kantor lembaga itu sendiri. Lantas orang pun berpikir kalau lembaga pengawas hakim pun terlibat suap apakah lantas diperlukan lembaga pengawas para pengawas?
Itu memang pertanyaan lucu dan kalau dituruti tidak akan menyelesaikan perkara suap dan korupsi di negeri ini. Kasus ini menggambarkan sudah begitu parahnya perkara suap di sini. Sudah mengakar mulai lapisan atas hingga ke rakyat jelata.
Meskipun kita tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah atas kasus Iraway Joenoes ini, tapi kejanggalan tetap membuat kita bertanya-tanya kenapa Irawady Joenoes menerima sejumlah uang dari pemilik tanah yang dibeli. Boleh jadi itu uang fee makelar yang biasa dipraktikkan dalam jual beli tanah.
Kalau benar dugaan itu sebetulnya uang itu sah tapi tidak etis untuk seorang anggota Komisi Yudisial menerimanya. Di sinilah letak ujian terberat bagi aparat penegak keadilan di Indonesia. Berat agar tidak tersentuh iming-iming duit yang banyak tersebar di dunia makelar. Makelar tanah maupun makelar peradilan.
Kejanggalan lain adalah informasi yang disampaikan kepada KPK soal penyerahan uang kepada Irawady. Kemungkinan besar informasi itu berasal dari orang KY sendiri. Kalau itu benar maka ada persaingan tidak sehat untuk saling menjatuhkan.
Kasus ini juga membuat masyarakat kian pesimistis. Kalau anggota KY saja bisa menerima uang suap, apalagi para hakim, jaksa, polisi yang selama ini dinilai punya reputasi paling buruk di dunia perdagangan keadilan. Ini merupakan tamparan keras bagi KY untuk menjalankan fungsi dan tugasnya mengawasi para hakim.
Dengan kasus ini tentu bakal banyak cemoohan dan ledekan terhadap KY ketika berusaha mengoreksi sejumlah keputusan hakim yang janggal. Rupanya inilah ujian dan tantangan bagi anggota KY agar bersungguh-sungguh menegakkan keadilan. Rupanya selama ini mereka masih bermain-main saja dalam menjalankan fungsi pengawasan. Atau jangan-jangan ada anggota KY selama bertugas berlagak bersih, anti suap, dan aji mumpun. Maka kali ini dibongkar untuk diberi peringatan.
Kita cuma berharap terkuaknya kasus ini harus menjadi pelajaran bagi pejabat negara agar tidak mempermainkan tugas dan kewenangannya untuk bersentuhan dengan uang.
Sekaligus dari kasus ini menjadi pelajaran bagi DPR selektif menyeleksi pejabat negara yang dibebankan kepadanya. Jangan karena kedekatan dengan partai dan perorangan lantas dipilih sehingga terbukti orang-orang yang terseleksi tidak bertanggung jawab.
Kita memang kecewa dengan Irawady Joenoes namun bukan berarti setuju KY lebih baik dibubarkan. Lembaga itu memang sudah cacat tapi tetap diperlukan untuk mengontrol proses peradilan yang sudah sangat buruk di negara ini. Yang cacat diamputasi saja sebab masih ada anggota lain masih yang berfungsi baik. (*)
.

Senin, 24 September 2007

Solusi MA-BPK

Konflik antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) tentang audit biaya perkara di pengadilan menemukan penyelesaian. MA akhirnya bersedia biaya perkara diaudit. Dengan demikian laporan BPK ke polisi karena MA dianggap menghalangi pemeriksaan juga dicabut.
Tiga solusi untuk menyelesaikan konflik antar lembaga tinggi negara yang ditengahi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini adalah, pertama, pemerintah menjalankan kewajibannya menyusun PP tentang tata cara pengelolaan biaya perkara dengan waktu sekitar 1 bulan, dengan memberikan kategori, ketentuan, proses, dan sebagainya yang merujuk pada UU Keuangan Negara dan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Kedua, diharapkan MA melakukan pengaturan dan penataan internal untuk segera bisa dilakukan audit keuangan. Ketiga, diharapkan MA bisa melakukan pengaturan dan penataan ini dengan waktu dua bulan, sehingga BPK awal tahun depan sudah bisa melakukan audit.
Dicapainya kata sepakat untuk masalah ini diharapkan konflik antar lembaga negara ini tidak terulang lagi. Sebab ini konflik kedua yang dialami MA. Dulu lembaga ini pernah otot-ototan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena Ketua MA, Bagir Manan, menolak diperiksa berkaitan dengan kasus suap pengacara Probosutedjo yang menyebut-nyebut namanya. Konflik ini pun dulu ditengahi oleh presiden.
MA sebagai lembaga peradilan tertinggi semestinya menghindari masalah-masalah yang dapat membuatnya menjadi sorotan dan menjatuhkan wibawa. Sebab kalau MA jatuh wibawa dan terkesan buruk maka itu mencerminkan kondisi peradilan di negara ini yang sekarang ini masih dikategorikan buruk karena uang suap masih dominan.
Konflik MA-BPK terjadi karena dua-duanya mempunyai dasar hukum yang sama-sama kuat. MA berkeyakinan biaya perkara bukan uang negara karena hanya titipan untuk digunakan selama bersidang sehingga tidak termasuk yang diaudit. Ini berdasar hukum acara perdata (HIR) dan peraturan MA. Tapi BPK menganggap uang itu tergolong penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sehingga BPK bisa mengaudit. Dasarnya adalah UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara. Institusi yang tidak bersedia memberikan data dapat dilaporkan BPK ke aparat penegak hukum. Lalu UU No 25 tahun 2006 tentang BPK
Atas perselisihan ini BPK mendapat tuduhan berusahan mencemarkan MA dengan memberi tafsiran sendiri atas biaya perkara. Menurut kalangan praktisi hukum biaya perkara adalah uang titipan yang dipergunakan apabila pengadilan memanggil para saksi, saksi ahli, biaya pembuatan berkas, dan biaya-biaya lainnya yang terkait dalam perkara tersebut. Bila dalam penggunaannya ternyata terjadi kekurangan maka biaya perkara tersebut akan ditagih lagi kepada orang yang mendaftarkan perkara tersebut. Kalau dana tersebut terdapat kelebihan maka akan dikembalikan kepada orang yang mendaftarkan perkara (penggugat) setelah perkara selesai di tingkat pengadilan.
Boleh saja orang beralasan demikian. Tapi kita juga tahu Ketua BPK bukan orang bodoh yang tidak tahu definisi biaya perkara. Dalam kasus ini kita mengambil substansinya yaitu BPK ingin mencegah terjadinya peluang korupsi atau suap di lembaga peradilan.
Apalagi uang itu jumlah besar dan disimpan di sembilan rekening atas nama MA cq Bagir Manan dalam LKPP 2005 sejumlah Rp 7,45 miliar, terdiri atas empat rekening giro sejumlah Rp 4,87 miliar dan lima rekening deposito sejumlah Rp 2,58 miliar. Sebenarnya masalah ini sudah setahun ini dipersoalkan BPK yang hanya disikapi MA pada tahun 2006 dengan mengubah rekening-rekening itu tidak lagi atas nama Bagir Manan, namun atas nama Sekretaris MA dan Kepala Biro Keuangan MA.
Biaya perkara ini kalau tidak ada yang mengontrol sangat terbuka menjadi ajang suap dalam dunia peradilan. Apalagi menurut pengakuan beberapa pengacara tidak pernah mengambil kelebihan biaya perkara dan seringkali menyetor lebih di atas ketentuan.
Untuk itulah diperlukan audit sebagai pertanggungjawaban kepada publik terhadap pemakaian biaya perkara.
Jika MA jujur dan bersih, sebetulnya audit terhadap biaya perkara tidak merugikan lembaga itu. Sebab uang itu juga bukan miliknya kalau kemudian diaudit oleh BPK semestinya berterima kasih sudah membantu mempertanggungjawabkan pemakaian uang itu. Ini juga menegakkan prisip transparansi peradilan kepada masyarakat.
Karena itu ketika MA menolak audit itu, masyarakat malah mempunyai prasangka terhadap lembaga peradilan yang sudah dikenal sering memainkan uang suap.
Kini MA yang mau menerima diaudit diharapkan menggambarkan keterbukaan lembaga itu dalam menegakkan keadilan. Keadilan berdasarkan objektivitas perkara bukan besar-kecilnya uang suap. (*)
.

Selasa, 18 September 2007

Membangun Ibukota Baru

Pemerintah Malaysia menyadari Kuala Lumpur yang makin padat, macet, dan banjir tak selamanya dipertahankan menjadi ibukota negara. Salah satu cara mengurangi kepadatan kota itu dengan memindahkan ibukota ke Putrajaya.

Ketika awal tahun lalu Jakarta kebanjiran, muncul lagi gagasan untuk memindahkan ibukota Indonesia itu ke tempat lain yang lebih aman. Pikiran membangun ibukota baru itu bukan yang pertama memang. Presiden Soekarno dulu pernah berpikir ibukota negara semestinya terletak di titik tengah agar mudah menjangkau seluruh negeri. Pilihannya waktu itu di Kalimantan. Tapi ide itu tidak terwujud, Soekarno keburu lengser.
Di zaman Presiden Soeharto gagasan membuat ibukota hampir direalisasi dengan dipilihnya daerah Jonggol, Bogor. Tapi gagasan ini diributkan banyak orang karena investornya melibatkan keluarga Cendana akhirnya menjadi telantar.
Malaysia lebih beruntung karena tanpa ribut-ribut kini sudah mempunyai ibukota baru yakni Putrajaya. Ibukota baru ini terletak 25 km di selatan Kuala Lumpur yang dihubungkan dengan jalan tol. Ibukota baru ini masih terletak di negara bagian Selangor sekarang menjadi pusat administrasi pemerintah federal. Sedangkan Kuala Lumpur diarahkan menjadi kota bisnis dan keuangan.
Dari Kuala Lumpur International Airport (KLIA) Sepang, selain lewat jalan tol, juga dapat dicapai dengan kereta cepat yang butuh waktu tak kurang dari 15 menit. Jalur kereta KLIA Transit ini dibangun sejak 2002.
Gagasan membangun ibukota baru ini muncul akhir 1980-an semasa Perdana Menteri Mahathir Mohammad. Secara bertahap perencanaan kota dibuat dan gedung-gedung pemerintahan mulai dibangun. Hingga pada 1995 ibukota ini diresmikan dengan membentuk Perbadanan Putrajaya, semacam badan otorita, yang mengurusi kota ini.
Kini kantor perdana menteri dan semua kementerian sudah pindah di sini termasuk rumah dinas pejabatnya. Ada kemungkinan seluruh kantor kedutaan negara asing juga bakal dipindah di sini.
Putrajaya yang dibangun di atas tanah kosong dirancang sebagai kota modern, canggih, dan nyaman dengan pengendalian dari Perbadanan Putrajaya. Kota ini juga bagian dari Multimedia Super Corridor dengan kota Cyberjaya yang terletak di sebelah barat dengan peralatan teknologi multimedia. Semua data administrasi antar departemen sudah dikomputerisasi sehingga memungkinkan interaksi dan komunikasi antar departemen terhubung lewat jaringan elektronik saja.
Sebesar 40% wilayahnya merupakan ruang terbuka hijau berupa taman, kebun botani, dan danau sehingga ibukota ini mempunyai motto sebagai Garden City, Intellegent City.
Nama Putrajaya itu merujuk kepada nama akhir perdana menteri pertama Tunku Abdul Rahman Putra. Maka Putrajaya kurang lebih bermakna kemenangan sang pangeran.
Luas kota sekarang ini 4.581 hektare atau 45 km persegi. Dirancang untuk ditinggali 350.000 orang tapi jumlah penduduk sekarang ini baru 54.000 orang.

Dua Wilayah
Kawasan Putrajaya dibagi menjadi dua area yakni wilayah inti dan pinggiran yang dipisahkan oleh danau (tasik). Wilayah inti seluas 1.069 hektares dimana berdiri gedung pemerintahan, pusat bisnis, pusat budaya, dan rekreasi. Daerah pinggiran lebih banyak berisi permukiman berupa apartemen dan rumah berbagai ukuran. Sekarang sudah terbangun 67.000 rumah.
Menurut Mukhtar Mahyat, pengusaha biro travel di Kuala Lumpur, harga rumah paling murah di Putrajaya sekitar 200.000 ringgit atau Rp 520 juta. Sedangkan sewa apartemen mencapai 600 ringgit (sekitar Rp 1,5 juta) per bulan. Sekarang ini sedang dibangun beberapa rumah mewah di pinggiran danau.
Kota ini dibangun dengan citarasa tinggi. Bergaya Eropa dan Mediteranian. Jalan-jalan yang lebar seperti landskap kota di Eropa. Arsitektur bangunan ada yang bergaya mediteranian dengan kubah besar seperti di gedung Perdana Putra, Gedung Pengadilan, dan Masjid Putra.
Gedung Perdana Putra adalah kantor Perdana Menteri Ahmad Badawi. Gedung ini dibangun mirip kantor lama di Kuala Lumpur. Kubahnya berwarna hijau polos. Sangat gagah kalau dipandang dari Lapangan Putra di depannya. Kompleks ini menjadi pintu gerbang memasuki kota Putra Jaya. Rumah dinas perdana menteri berada di utaranya menyeberangi danau di kompleks Sri Perdana. Rumah dinas ini dibuka untuk turis pada siang hari.
Cara paling cepat menikmati kota ini dengan naik perahu wisata menyusuri tasik (danau). Dermaga Cruise Tasik berada dekat Masjid Putra, persis di bawah Jembatan Putra. Masjid dan jembatan ini bergaya Persia. Ada dua perahu yang dapat dipilih perahu boat dengan 20 penumpang atau menyewa perahu kayu kecil yang romantis seperti di Venesia.
Tasik ini sepertinya berfungsi penampung air hujan. Dibuat besar mengitari beberapa dataran. Pemandangan dari tasik memang lebih indah seperti kubah dan menara masjid menjulang berwarna pink. Beberapa bangunan menarik dapat dinikmati dari sini. Seperti jembatan Seri Wawasan yang mirip jembatan Point du Normadi di Prancis, kantor PM, Millenium Monument, gedung kementerian, rumah, apartemen, hingga Putrajaya International Convention Center (PICC) yang atapnya mirip Gedung DPR kita. Tapi orang setempat menyebutnya gedung topi koboi. Setidaknya sudah ada enam hotel berbintang berdiri seperti Shangri-La dan Marriot.
Di antara penduduk Putrajaya ternyata ada TKW kita. Mereka ini bekerja di beberapa restoran di dermaga Cruise Tasik. Ada yang dari Lampung, Blitar, dan Jawa Barat. Mereka tinggal di rumah majikannya. (*)
.

Senin, 17 September 2007

Nurdin Halid

KASUS Nurdin Halid telah menampar presiden, DPR, KPU, dan Partai Golkar. Ini gambaran bagaimana tidak cermatnya sistem administrasi negara yang dijalankan oleh para politikus. Sebab sehari setelah dilantik menjadi anggota DPR menggantikan Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalata, lantas terbit vonis Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 30 juta terhadap Nurdin Halid atas kasus korupsi pengadaan minyak goreng yang merugikan negara Rp 169 miliar.
Akibatnya kasus itu sekarang menjadi isu politik yang rumit. Sebab seseorang yang telah divonis pengadilan bersalah atas tindak pidana maka tidak boleh menjabat anggota DPR. Karena itu harus dicari jalan keluar yang cepat dan tidak memalukan untuk mengatasi kondisi ini.

Tidak perlu ada perdebatan sengit untuk menarik Nurdin Halid dari anggota DPR yang hanya berumur sehari itu harus ada izin dari presiden. Sebab semua sudah dipermalukan. Perdebatan hanya menambah malu karena hal itu dapat dinilai sebagai upaya cuci tangan dan mencari orang yang paling bersalah dalam proses pergantian antar waktu ini.
Sebelum dilantik menjadi anggota DPR pergantian antar waktu, kasus Nurdin Halid dalam kapasitas Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia yang mendapat tender pengadaan minyak goreng pada bulan puasa tahun lalu sebetulnya masih dalam proses kasasi ke MA. Pengurus Partai Golkar, pimpinan DPR, maupun pejabat pemerintah tentu mempunyai catatan ini.
Bila memakai akal sehat semestinya pengurus Partai Golkar tidak harus terburu-buru mengusulkan nama Nurdin Halid untuk segera dilantik walaupun berdasarkan nomor urut calon legislatif di daerah pemilihannya dia paling berhak menggantikan Andi Mattalata. Seharusnya pengurus Partai Golkar mempertimbangkan kasus yang sedang berjalan ini.
Mungkin saja pengurus Partai Golkar sangat yakin Nurdin Halid lolos dalam kasasi MA untuk kasus ini sama seperti vonis bebas saat di Pengadilan Negeri.
Sikap seperti itu sama halnya dengan meremehkan proses hukum. Bahkan seperti ada indikasi dapat memainkan hukum sehingga pengurus Partai Golkar tetap mengajukan nama Nurdin meskipun masih bermasalah.
Lebih runyam lagi pimpinan DPR dan pejabat pemerintah sama tidak telitinya memeriksa kasus ini. Atau apakah karena Ketua DPR dipegang Agung Laksono dan di pemerintah ada Wakil Presiden Jusuf Kalla yang petinggi Golkar sehingga pengajuan nama Nurdin Halid tidak menemui hambatan? Boleh jadi faktor ini banyak berpengaruh.
Sekarang semuanya tepercik getahnya akibat meremehkan proses hukum. Maka kali ini penegakan hukum harus dijalankan dengan konsekuen tidak peduli pejabat negara dan orang Golkar. Semua politikus harus menghormati putusan hukum.
Hanya ada dua jalan keluar terbaik sesuai aturan mengatasi kasus memalukan ini. Pertama, Partai Golkar merecall Nurdin Halid. Kedua, Nurdin Halid segera mengundurkan diri.
Karena itu kemunculan Nurdin Halid akan membantu penyelesaian kasus ini dalam waktu cepat. Bukan malah bersembunyi dan menyelesaikan masalah di bawah permukaan. (*)
.

Kamis, 06 September 2007

Menangani Separatisme

BELAKANGAN ini pemerintah disibukkan dengan pengibaran bendera kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terjadi secara beruntun. Komentar pro dan kontra atas peristiwa itu pun makin menambah bingung rakyat untuk menyikapi kasus itu. Perbedaan pendapat itu sekaligus mencerminkan betapa rawannya negara ini karena segenap elemen masyarakat belum bersatu pendapat memberantas separtisme.
Bagi pemerintah sudah kewajiban dan kewenangannya untuk mencegah separatisme yang mengancam terpecahnya negara. Karena itu berusaha sedapat mungkin bibit-bibit perpecahan ini diselesaikan hingga tuntas baik pendekatan diplomasi maupun militer.
Memang menuntaskan masalah ini menjadi pilihan yang sulit. Kalau pemerintah bersikap tegas dengan menangkap semua pelaku maka reaksi kontra juga muncul tak kalah sengitnya. Bahkan menggalang dukungan luar negeri. Tapi kalau masalah ini diberi toleransi, tak berapa lama bakal muncul menjadi gerakan besar sebab diakui atau tidak ada agenda sejumlah orang Indonesia dan luar negeri untuk melemahkan posisi Indonesia. Dalam kasus merdekanya Timor Timur, misalnya, terdapat sejumlah LSM dalam negeri yang terang-terang menyatakan sikap mendukung kemerdekaan itu. LSM ini tidak peduli dengan tuduhan menjual negara ke agen asing.
Dukungan sejumlah kelompok kepada gerakan separatisme memang tidak lepas dari kebencian terhadap kebijakan politik Orde Baru yang represif dan korup. Sehingga sejumlah orang berpikir buat apa ikut RI kalau tetap miskin sementara yang kaya hanya golongan tertentu saja.
Kini Orde Baru sudah tumbang tentunya kita berharap pemerintah sekarang tidak mewarisi kebijakan politiknya. Menyelesaikan gerakan separatisme harus dengan cara-cara yang bijak dan adil. Terpenting harus mampu meyakinkan rakyat bahwa pemerintah hari ini beda dengan masa lalu dan bersama-sama menggapai kesejahteraan. Karena itu model penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat dijadikan contoh untuk menuntaskan keinginan memisahkan diri dari negara RI.
Sifat dan latar belakang gerakan separatisme antara GAM, RMS, dan OPM memang berbeda. Ada yang muncul karena bentuk protes daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat seperti lahirnya GAM dan OPM. Ada juga karena sejak awal membawa ideologi sendiri karena tidak suka dengan munculnya negara RI seperti RMS.
Meskipun begitu gerakan ini dapat menjadi meluas kalau ada perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat. Karena itu penanganan terhadap gerakan separatisme harus sesuai dengan sifat dan latar belakang sejarahnya. Penanganannya harus dimulai dari evaluasi dan review kebijakan pemerintah pusat terhadap daerah. Pemerintah pusat harus mengevaluasi setiap kebijakan terutama yang terkait dengan daerah-daerah konflik.
Terpenting lagi adalah kemampuan pemerintah untuk menyatukan sikap rakyat dan aparatnya untuk memberantas separatisme. Sama perlakuannya ketika pemerintah memberantas terorisme. Jangan sampai muncul simpatisan-simpatisan terhadap gerakan ini. Sebab salah satu kegagalan pemerintah menangani terorisme karena masih ada aparat yang bersimpati dan mudah disuap misalnya kasus lolosnya Alex Manuputy ke AS padahal dia dalam status tahanan dan cekal.
Reformasi yang memunculkan keinginan membangun demokrasi sedang dilakukan. Namun jangan sampai dengan berdalih demokrasi lantas memunculkan keinginan memisahkan diri. Lebih runyam lagi kalau orang yang menentang separatisme kemudian dituduh anti demokrasi. Sebagian rakyat kita memang salah kaprah dan nyinyir bicara demokrasi. Tentu kita berharap reformasi jangan sampai makin banyak memakan anak sendiri. (*)

Perilaku Rentenir

Dalam pidato di sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Kamis lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan prihatin dengan kondisi besarnya jumlah dana pemerintah daerah (Pemda) yang menganggur di perbankan mencapai mencapai Rp 96 triliun. Ada lagi dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia Rp 50 triliun.
Praktik pembelian SBI oleh pemda, sebenarnya bukan fenomena baru. Lebih-lebih ketika aktivitas perekenomian sedang rendah, sehingga dana yang semula diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan belum bisa dikeluarkan dari bank daerah. Dana itu kemudian dilarikan ke SBI. Stok SBI ini akan berkurang kalau kondisi perekonomian sehat dan lancar.
Namun penempatan dana itu memang ironis mengingat pemerintah tengah mencari dana untuk pembangunan infrastruktur tapi ada dana APBD yang diparkir di bank. Artinya ada pembangunan di daerah yang tidak berjalan sehingga dana yang tersedia tidak terpakai sehingga untuk menyelamatkan disimpan di bank atau dirupakan dalam SBI.
Ini boleh jadi perilaku malas kepala daerah dan lebih suka berpikir seperti rentenir dengan mengharapkan bunga. Sebab saat ini bunga SBI sebesar 8% sedangkan deposito 5%. Jadi bisa saja para kepala daerah itu berpikir hanya dengan memindahkan uang APBD maka kas daerah sudah beranak pinak 8%. Mungkin ini dipikir sebagai prestasi.
Kalau ada kepala daerah yang berpikir seperti ini jelas sudah motivasi dia menjadi bupati atau walikota hanya untuk memperkaya diri. Dia sendiri tidak memiliki kemampuan bekerja memanajemen dan mengembangkan kota.
Setiap tahun pemerintah daerah menyusun APBD yang berisi kebutuhan dana untuk mewujudkan belanja pembangunan wilayah sekaligus sumber-sumber pendapatannya. Ketika APBD sudah disahkan maka kewajiban kepala daerah segera memakai dana APBD sesuai kesepakatan dengan DPRD. Kalau ternyata banyak dana yang diparkir di bank menandakan proyek pembangunan tidak berjalan.
Dari kasus ini dapat dikatakan sebetulnya negara kita ini ada uang namun para pejabatnya tidak mampu mengelola untuk kesejahteraan rakyat seperti membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur. Jadi benarlah pendapat yang menyebutkan kemiskinan rakyat kita akibat ulah pejabat yang tidak becus membelanjakan uang. Lebih runyam lagi kalau belanja uang negara itu keluar kalau untuk kepentingan pejabat sendiri.
Kalau begini situasinya maka presiden tidak cukup hanya merasa prihatin. Seharusnya memberi peringatan dana Pemda tidak boleh disimpan dalam bentuk SBI. Jika masih ada Pemda berperilaku seperti ini harus diberi sanksi dalam bentuk pengambilan kembali uang dari pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU) untuk diserahkan pada daerah lain yang bisa menyerap dan menggunakan anggaran dengan baik.
Sanksi itu penting karena saat ini rakyat di daerah sangat mengharapkan pembiayaan untuk program pembangunan dan kesejahteraan. Di saat rakyat menunggu pembangunan, uang negara malah disimpan di bank oleh Pemda.
Ada beragam alasan yang membuat Pemda menyimpan uang di bank dalam bentuk SBI.
Pertama, birokrasi di daerah yang lamban karena memakai gaya lama Orde Baru.
Pemda sengaja menunggu bulan-bulan terakhir menjelang tutup buku untuk menghabiskan anggaran itu sehingga pelaksanaannya asal-asalan yang penting dana habis. Cara seperti ini merupakan sumber korupsi.
Kedua, pejabat di daerah untuk membelanjakan APBD karena khawatir tersangkut korupsi dan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi seperti kasus pejabat menolak menjadi pimpinan proyek. Jika masalahnya seperti ini maka perlu ada bimbingan dari BPKP dan KPK agar Pemda tak takut untuk menggunakan anggaran sesuai dengan aturan.
Ketiga, karena rendahnya kualitas sumber daya manusia di daerah sehingga tidak mampu merancang anggaran dan melaksanakan pembangunan. Kalau ini yang terjadi maka perlu peningkatan kualitas SDM agar memiliki kemampuan untuk merancang program dengan baik.
Kalau semua upaya sudah dilakukan namun praktik menyimpang uang APBD ke dalam SBI tetap dilakukan oleh kepala daerah maka jalan satu-satunya adalah menurunkan kepala daerah itu dengan alasan tidak becus memerintah. (*)

Stigma Bangsa Buruh

Ketegangan hubungan bilateral antara Indonesia – Malaysia belakangan ini sering terusik. Setelah sengketa Pulau Sipadan – Ligitan, lalu perairan Blok Ambalat, penyiksaan TKW/TKI dan kini penganiayaan polisi negara itu terhadap wasit karate Indonesia Donald Luther Kolopita tanpa alasan yang jelas.
Sebagai negara serumpun dan bertetangga semestinya hubungan bilateral itu didasari oleh sikap saling menghargai dan menghormati. Karena kalau hidup bertetangga tidak rukun bakal menciptakan keresahan di antara warganya.
Kejadian perlakuan orang-orang Malaysia terhadap warga Indonesia itu tak lepas dari stigma buruk yang sudah tertanam di pikiran orang Malaysia. Stigma itu muncul memang tak lepas dari gambaran orang Indonesia sendiri yang ditangkap warga Malaysia. Misalnya ketrampilan orang Indonesia hanya sebagai tukang dan babu seiring makin besarnya minat TKI ke negeri itu. Lantas imigran Indonesia di Malaysia sering tertangkap berbuat kriminal.
Gara-gara stigma itu maka orang Malaysia yang suka menyebut dengan ringkas kata Indonesia menjadi Indon kini juga terkesan melecehkan, menghina, merendahkan, mengejek. Padahal dulu sebutan seperti itu biasa saja, netral tanpa bermaksud merendahkan.
Ini memang ironis sebab Indonesia adalah negara yang besar di kawasan Asia Tenggara tapi justru menjadi ejekan di negara tetangga. Contohnya mantan PM Lee Kuan Yew begitu lantang dan tanpa takut bicara Indonesia sebagai sarang teroris dan negara korupsi.
Itu terjadi karena meskipun negara seperti Malaysia dan Singapura itu kecil tanpa kemajuan ekonominya lebih baik daripada kita sehingga membuat rasa percaya diri rakyat dan pemimpin negara itu untuk berhadapan dengan Indonesia yang makin amburadul tatanan politik dan ekonominya. Mereka merasa superior.
Akibatnya meskipun Indonesia negara besar tapi dapat dikalahkan dalam diplomasi misalnya kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang dimemangkan Malaysia atau perjanjian ekstradisi dan pertahanan dengan Singapura yang lebih banyak mendikte kita. Belum lagi prestasi di bidang olahraga atau pertanian ternyata Indonesia juga kalah bersaing dengan Vietnam.
Contoh lain seperti perjanjian pengiriman TKI dengan Malaysia banyak merugikan TKI karena ternyata selama bekerja paspor ditahan majikan. Akibatnya kalau majikan curang tidak mau membayar gaji, mereka dapat saja lapor ke polisi ada TKI ilegal tanpa dokumen di tempatnya.
Kejadian yang dialami wasit Donald Kolopita sebenarnya juga banyak menimpa orang Indonesia lainnya meskipun sebagai turis atau delegasi negara. Kejadiannya pasti di malam hari saat warga Indonesia itu jalan-jalan lantas dicurigai sebagai TKI illegal. Dan polisi setempat pun ada yang langsung berprasangka buruk atau memang berniat nakal ingin mendapat uang dengan menakut-nakuti orang Indonesia yang keluar malam lebih-lebih meninggalkan dokumen di hotel.
Untuk memperbaiki kondisi ini maka pemerintah Indonesia harus bisa mengubah stigma bahwa bangsa Indonesia ini bangsa budak, buruh, tukang, atau pelaku kriminal. Tugas pertama adalah memperbaiki ekonomi sehingga membuka peluang kerja bagi rakyatnya sendiri sehingga tidak perlu mencari uang di luar negeri.
Para politikus segera hentikan kebiasaan berpolemik, berdebat, tanpa dasar dan tujuan jelas dan membuang energi. Para pemimpin bangsa bekerjalah dengan sungguh-sungguh untuk kesejahteraan rakyat bukan hanya menumpuk harta dengan meminta suap atau korupsi. Ingatlah, negeri ini besar dan kaya tapi rakyatnya sudah lama menderita kemiskinan. (*)