Kamis, 06 September 2007

Menangani Separatisme

BELAKANGAN ini pemerintah disibukkan dengan pengibaran bendera kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terjadi secara beruntun. Komentar pro dan kontra atas peristiwa itu pun makin menambah bingung rakyat untuk menyikapi kasus itu. Perbedaan pendapat itu sekaligus mencerminkan betapa rawannya negara ini karena segenap elemen masyarakat belum bersatu pendapat memberantas separtisme.
Bagi pemerintah sudah kewajiban dan kewenangannya untuk mencegah separatisme yang mengancam terpecahnya negara. Karena itu berusaha sedapat mungkin bibit-bibit perpecahan ini diselesaikan hingga tuntas baik pendekatan diplomasi maupun militer.
Memang menuntaskan masalah ini menjadi pilihan yang sulit. Kalau pemerintah bersikap tegas dengan menangkap semua pelaku maka reaksi kontra juga muncul tak kalah sengitnya. Bahkan menggalang dukungan luar negeri. Tapi kalau masalah ini diberi toleransi, tak berapa lama bakal muncul menjadi gerakan besar sebab diakui atau tidak ada agenda sejumlah orang Indonesia dan luar negeri untuk melemahkan posisi Indonesia. Dalam kasus merdekanya Timor Timur, misalnya, terdapat sejumlah LSM dalam negeri yang terang-terang menyatakan sikap mendukung kemerdekaan itu. LSM ini tidak peduli dengan tuduhan menjual negara ke agen asing.
Dukungan sejumlah kelompok kepada gerakan separatisme memang tidak lepas dari kebencian terhadap kebijakan politik Orde Baru yang represif dan korup. Sehingga sejumlah orang berpikir buat apa ikut RI kalau tetap miskin sementara yang kaya hanya golongan tertentu saja.
Kini Orde Baru sudah tumbang tentunya kita berharap pemerintah sekarang tidak mewarisi kebijakan politiknya. Menyelesaikan gerakan separatisme harus dengan cara-cara yang bijak dan adil. Terpenting harus mampu meyakinkan rakyat bahwa pemerintah hari ini beda dengan masa lalu dan bersama-sama menggapai kesejahteraan. Karena itu model penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat dijadikan contoh untuk menuntaskan keinginan memisahkan diri dari negara RI.
Sifat dan latar belakang gerakan separatisme antara GAM, RMS, dan OPM memang berbeda. Ada yang muncul karena bentuk protes daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat seperti lahirnya GAM dan OPM. Ada juga karena sejak awal membawa ideologi sendiri karena tidak suka dengan munculnya negara RI seperti RMS.
Meskipun begitu gerakan ini dapat menjadi meluas kalau ada perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat. Karena itu penanganan terhadap gerakan separatisme harus sesuai dengan sifat dan latar belakang sejarahnya. Penanganannya harus dimulai dari evaluasi dan review kebijakan pemerintah pusat terhadap daerah. Pemerintah pusat harus mengevaluasi setiap kebijakan terutama yang terkait dengan daerah-daerah konflik.
Terpenting lagi adalah kemampuan pemerintah untuk menyatukan sikap rakyat dan aparatnya untuk memberantas separatisme. Sama perlakuannya ketika pemerintah memberantas terorisme. Jangan sampai muncul simpatisan-simpatisan terhadap gerakan ini. Sebab salah satu kegagalan pemerintah menangani terorisme karena masih ada aparat yang bersimpati dan mudah disuap misalnya kasus lolosnya Alex Manuputy ke AS padahal dia dalam status tahanan dan cekal.
Reformasi yang memunculkan keinginan membangun demokrasi sedang dilakukan. Namun jangan sampai dengan berdalih demokrasi lantas memunculkan keinginan memisahkan diri. Lebih runyam lagi kalau orang yang menentang separatisme kemudian dituduh anti demokrasi. Sebagian rakyat kita memang salah kaprah dan nyinyir bicara demokrasi. Tentu kita berharap reformasi jangan sampai makin banyak memakan anak sendiri. (*)

Tidak ada komentar: