Konflik antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) tentang audit biaya perkara di pengadilan menemukan penyelesaian. MA akhirnya bersedia biaya perkara diaudit. Dengan demikian laporan BPK ke polisi karena MA dianggap menghalangi pemeriksaan juga dicabut.
Tiga solusi untuk menyelesaikan konflik antar lembaga tinggi negara yang ditengahi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini adalah, pertama, pemerintah menjalankan kewajibannya menyusun PP tentang tata cara pengelolaan biaya perkara dengan waktu sekitar 1 bulan, dengan memberikan kategori, ketentuan, proses, dan sebagainya yang merujuk pada UU Keuangan Negara dan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Kedua, diharapkan MA melakukan pengaturan dan penataan internal untuk segera bisa dilakukan audit keuangan. Ketiga, diharapkan MA bisa melakukan pengaturan dan penataan ini dengan waktu dua bulan, sehingga BPK awal tahun depan sudah bisa melakukan audit.
Dicapainya kata sepakat untuk masalah ini diharapkan konflik antar lembaga negara ini tidak terulang lagi. Sebab ini konflik kedua yang dialami MA. Dulu lembaga ini pernah otot-ototan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena Ketua MA, Bagir Manan, menolak diperiksa berkaitan dengan kasus suap pengacara Probosutedjo yang menyebut-nyebut namanya. Konflik ini pun dulu ditengahi oleh presiden.
MA sebagai lembaga peradilan tertinggi semestinya menghindari masalah-masalah yang dapat membuatnya menjadi sorotan dan menjatuhkan wibawa. Sebab kalau MA jatuh wibawa dan terkesan buruk maka itu mencerminkan kondisi peradilan di negara ini yang sekarang ini masih dikategorikan buruk karena uang suap masih dominan.
Konflik MA-BPK terjadi karena dua-duanya mempunyai dasar hukum yang sama-sama kuat. MA berkeyakinan biaya perkara bukan uang negara karena hanya titipan untuk digunakan selama bersidang sehingga tidak termasuk yang diaudit. Ini berdasar hukum acara perdata (HIR) dan peraturan MA. Tapi BPK menganggap uang itu tergolong penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sehingga BPK bisa mengaudit. Dasarnya adalah UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara. Institusi yang tidak bersedia memberikan data dapat dilaporkan BPK ke aparat penegak hukum. Lalu UU No 25 tahun 2006 tentang BPK
Atas perselisihan ini BPK mendapat tuduhan berusahan mencemarkan MA dengan memberi tafsiran sendiri atas biaya perkara. Menurut kalangan praktisi hukum biaya perkara adalah uang titipan yang dipergunakan apabila pengadilan memanggil para saksi, saksi ahli, biaya pembuatan berkas, dan biaya-biaya lainnya yang terkait dalam perkara tersebut. Bila dalam penggunaannya ternyata terjadi kekurangan maka biaya perkara tersebut akan ditagih lagi kepada orang yang mendaftarkan perkara tersebut. Kalau dana tersebut terdapat kelebihan maka akan dikembalikan kepada orang yang mendaftarkan perkara (penggugat) setelah perkara selesai di tingkat pengadilan.
Boleh saja orang beralasan demikian. Tapi kita juga tahu Ketua BPK bukan orang bodoh yang tidak tahu definisi biaya perkara. Dalam kasus ini kita mengambil substansinya yaitu BPK ingin mencegah terjadinya peluang korupsi atau suap di lembaga peradilan.
Apalagi uang itu jumlah besar dan disimpan di sembilan rekening atas nama MA cq Bagir Manan dalam LKPP 2005 sejumlah Rp 7,45 miliar, terdiri atas empat rekening giro sejumlah Rp 4,87 miliar dan lima rekening deposito sejumlah Rp 2,58 miliar. Sebenarnya masalah ini sudah setahun ini dipersoalkan BPK yang hanya disikapi MA pada tahun 2006 dengan mengubah rekening-rekening itu tidak lagi atas nama Bagir Manan, namun atas nama Sekretaris MA dan Kepala Biro Keuangan MA.
Biaya perkara ini kalau tidak ada yang mengontrol sangat terbuka menjadi ajang suap dalam dunia peradilan. Apalagi menurut pengakuan beberapa pengacara tidak pernah mengambil kelebihan biaya perkara dan seringkali menyetor lebih di atas ketentuan.
Untuk itulah diperlukan audit sebagai pertanggungjawaban kepada publik terhadap pemakaian biaya perkara.
Jika MA jujur dan bersih, sebetulnya audit terhadap biaya perkara tidak merugikan lembaga itu. Sebab uang itu juga bukan miliknya kalau kemudian diaudit oleh BPK semestinya berterima kasih sudah membantu mempertanggungjawabkan pemakaian uang itu. Ini juga menegakkan prisip transparansi peradilan kepada masyarakat.
Karena itu ketika MA menolak audit itu, masyarakat malah mempunyai prasangka terhadap lembaga peradilan yang sudah dikenal sering memainkan uang suap.
Kini MA yang mau menerima diaudit diharapkan menggambarkan keterbukaan lembaga itu dalam menegakkan keadilan. Keadilan berdasarkan objektivitas perkara bukan besar-kecilnya uang suap. (*).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar