Minggu, 07 Oktober 2007

Calon Presiden

MESKI Pemilu masih dua tahun lagi tapi sejumlah orang sudah mengumumkan pencalonan presiden. Bahkan orang seperti Sutiyoso yang tidak mempunyai partai politik dan basis massa, sangat percaya diri mendeklarasikan diri sebagai calon presiden.
Dalam era demokrasi sekarang memang hak setiap warga negara mengajukan diri menjadi presiden. Urusan dipilih oleh rakyat atau tidak itu terserah kepada pemilihan umum.
Namun semestinya orang-orang yang mencalonkan diri itu mau berhitung kekuatan dan dukungan rakyat untuk memilihnya. Artinya ada modal untuk maju menjadi presiden di negeri yang berpenduduk 200 juta ini. Modal itu tentu saja bukan hanya bondho nekad, istilah yang dicapkan kepada supporter Persebaya.
Menjadi presiden setidaknya mempunyai modal kemampuan memimpin dan didukung rakyat. Kemampuan memimpin dapat dibaca dari kecepatan membuat keputusan yang tepat, komunikasi politik yang efisien, dan kemampuan mengendalikan segala potensi dan ancaman negara untuk kesejahteraan rakyat.
Sedangkan dukungan rakyat setidaknya diukur dari popularitas dia di mata rakyat, mempunyai basis dukungan massa yang jelas, atau bisa juga mengacu pada hasil pemilu sebelumnya.
Dari syarat modal seorang presiden ini maka calon presiden yang pernah bertarung pada 2004 lalu semestinya sudah dapat mengukur diri apakah bakal dipilih lagi oleh rakyat atau tidak. Begitu pula calon presiden yang sudah pernah menjadi presiden, penilaiannya menjadi lebih konkrit lagi yakni prestasi apa saja yang pernah dilakukan saat menjabat presiden.
Memang semakin banyak calon presiden membuat pilihan menjadi beragam dan menunjukkan kader pemimpin negeri ini sangat banyak. Tapi ketika yang muncul adalah wajah-wajah lama yang pernah kalah dalam Pemilu lalu menimbulkan pertanyaan apakah para kandidat presiden itu tidak mampu berkaca diri dan menghitung-hitung kapasitas diri.
Orang yang pernah kalah dalam pemilu sebelumnya menurut logika sebenarnya tidak diinginkan oleh rakyat. Begitu juga presiden yang mencalonkan lagi kemudian kalah artinya rakyat juga tidak mau memilihnya. Lalu kenapa masih mencalonkan lagi dalam pemilu nanti?
Alasannya mungkin saja berdasar logika: kalau rakyat tidak ada pilihan terbaik maka calon buruk pun terpaksa dipilih. Kalau ini terjadi negeri ini bakal mendapat pemimpin buruk. Maka bayangkan bagaimana nasib negeri ini selanjutnya.
Dikhawatirkan dalam situasi ini, orang-orang yang muncul menjadi calon presiden adalah para petualang politik yang menjadi presiden karena hanya untuk membuktikan ambisi pribadi saja. Setelah benar-benar terpilih menjadi presiden ternyata tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Justru kesejahteraan diri dan kelompoknya yang muncul.
Tentu saja ini menjadi keprihatinan. Reformasi politik di Indonesia ternyata baru memunculkan pemimpin-pemimpin petualang. Itu terbukti dari sepuluh tahun reformasi berjalan perbaikan ekonomi dan politik masih pincang. Korupsi masih merajalela, syahwat politik makin membesar.
Akibatnya negara besar ini kian kerdil di mata negara tetangga yang kecil. Dengan Singapura saja terpaksa banyak memberi fasilitas ketika mengadakan perjanjian pertahanan yang kemudian diprotes DPR. Dengan Malaysia saja menjadi inferior karena kasus-kasus TKW.
Tentu saja kita menginginkan ada perbaikan setelah Pemilu 2009. Pemilu yang melahirkan pemimpin sejati untuk mengantarkan negara besar ini menjadi penting di kawasannya. (*)
.