Senin, 07 Desember 2015

KONTROVERSI YESUS






       Isa bin Maryam. Begitu namanya tertulis dalam Alquran. Orang Kristen menyebutnya Yesus. Tetapi kedua nama itu tidak berbau Ibrani. Isa sebutan Arab, Yesus nama Rumawi. Lantas siapa nama aslinya? Yezua, begitu  nama Yahudinya. Ironisnya,  jati diri keibranian pemilik nama itu kabur menjadi berbau Eropa. Apalagi ajarannya yang tauhid berubah menjadi politeisme dan liberal.
      Di antara para nabi, kehidupan Isa adalah paling kontroversial. Mulai kelahiran hingga kematiannya tetap menjadi misteri. Sepertinya Nabi Isa besar di keluarga penuh kontroversi. Kakeknya adalah Imran, nama yang dipuji Allah dalam Alquran karena keimanan dan ketaqwaannya. Imran bersaudara dengan Nabi Zakaria. Dua bersaudara ini membuat resah para rabi Yahudi karena suka mengkritik perilaku mereka yang korup. Karena itu dua orang ini disingkirkan dari  kekuasaan baitullah di Yerusalem.
      Sebelum mati, Imran pernah meramalkan kedatangan sang pembebas Palestina. Ramalan ini dipercaya rakyat sehingga mereka menunggu-nunggu kedatangan sang pembebas yang disebut Mesias alias Al Masih. Tapi penguasa Rumawi sangat gusar karena ramalan itu membuat rakyat bergejolak. Setelah istri Imran, Hana, melahirkan bayi perempuan yang diberi nama Maryam, harapan rakyat terhadap kedatangan Al Masih memupus.  
       Memang Al Masih itu bukan Maryam. Ternyata sang pembebas yang ditunggu itu adalah Isa, anak yang dilahirkan Maryam dengan kontroversi. Maryam, gadis pengabdi baitullah itu tiba-tiba hamil. Masyarakat pun geger. Orang mencibirnya telah berzina. Dia dituduh mencemarkan  lingkungan sakral baitullah. Betapa menderitanya gadis tanpa dosa ini menanggung caci maki orang yang meragukan kesuciannya.
       Anda bisa membayangkan ketika gadis itu terpojok tanpa mampu menjawab pertanyaan orang tentang siapa lelaki yang menghamilinya? Dia menjawab bahwa ini kehendak Tuhan. Orang pun tidak percaya. Mana ada gadis hamil tanpa perbuatan lelaki?
        Rupanya Allah ingin membuat keanehan pada diri Maryam. Sudah takdir gadis suci itu yang terpilih. Sebab jika Allah memilih gadis nakal yang hamil justru menjadi tidak aneh. Masyarakat tidak gempar karena sudah maklum. Tapi takdir ini  membuat Maryam penuh derita, terusir dari kampung halaman, dan kesepian. Dia lalu mengungsi ke Baitul Lahim atau Betlehem.
       Sewaktu bayi Maryam lahir,  kontroversi kembali muncul saat dia kembali ke Yerusalem. Sebab bayi itu  bisa berbicara menjawab keraguan masyarakat akan kesucian ibunya. Kontroversi terus melingkupi Isa bin Maryam hingga dewasa.
        Isa yang hidup damai sebagai tukang kayu, tiba-tiba nasibnya berubah karena tuduhan sebagai penghasut  terhadap kekuasaan para rabi dan penguasa Rumawi, serta penyebar ajaran sesat. Gara-garanya dia menyampaikan ajaran Tuhan yang diikuti orang-orang miskin.
        Tuduhan serupa juga diberikan kepada saudaranya, Yahya bin Zakaria. Orang Kristen menyebutnya Yohanes Pembaptis. Yahya mati lebih dulu karena dipenggal kepalanya oleh penguasa Rumawi. Murid-muridnya kemudian mengikuti Isa.
        Isa berkelana ke banyak daerah. Pengikutnya terus bertambah sehingga para rabi menjadi dengki. Isa makin terkenal karena doa-doanya makbul. Bisa menyembuhkan orang sakit. Bahkan menghidupkan orang mati. Memberi makan banyak orang hanya dengan roti yang sedikit.
       Kehadiran Isa membangkitkan kembali harapan rakyat tentang kedatangan Sang Al Masih, pembebas Palestina. Tak ayal, banyak rakyat mengikutinya, memuja-muja, dan mengkultuskan. Bagi penguasa situasi ini sangat membahayakan stabilitas negara. Bagi rabi Yahudi, ajaran Isa mengganggu kemapanannya karena rakyat miskin tidak mau mengikuti fatwanya.
       Konspirasi rabi dan penguasa pun terjadi untuk menjatuhkan Isa. Tuduhan makar dan pemberontakan dialamatkan kepadanya. Mereka melemparkan tuduhan Isa berambisi ingin menjadi raja bangsa Ibrani. Isa pun ditangkap lalu diadili dengan vonis hukuman mati disalib.
       Kematian Isa pun jadi kontroversi. Orang Kristen meyakini Isa mati di tiang salib. Orang Islam membantahnya. Sebab Alquran surat An Nisa’:157 menceritakan, perkataan mereka sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih Isa bin Maryam, rasulullah padahal tidak mereka membunuhnya dan tidak menyalibnya akan tetapi diserupakannya bagi mereka. Sebenarnya orang-orang yang berselisih pendapat tentang pembunuhan itu benar-benar dalam keraguan. Mereka tidak ada pengetahuan tentang hal itu kecuali mengikuti perkiraan dan mereka tidak yakin telah membunuhnya.    
       Jika merujuk kepada ayat tadi berarti terjadi salah tangkap ketika penggerebekan  di  Taman Getsemani tempat pertemuan Isa dan murid-muridnya. Menurut  cerita Injil, ada kesan pasukan tentara yang bertugas sebenarnya tidak mengenal Isa. Karena itu dalam rencana penangkapan  mereka menunggu tanda dari Yudas bahwa orang yang didatangi dan diciumnya itu adalah Isa. (Injil Lukas 22: 47-53, Matius 26: 47-56, Markus 14: 43-50,  Yohanes 18: 1-11)
       Penggerebekan berlangsung di malam gelap usai perayaan Paskah. Sempat terjadi perlawanan. Menurut Injil, Isa menghadapi tentara itu dan menyerahkan diri. Sementara murid-muridnya lari menyelamatkan diri.  Alquran hanya menceritakan, saat situasi gawat terjadi Allah mengangkat dia ke sisinya (An Nisa’: 158).
       Dari kisah ini, ada kemungkinan Isa diselamatkan oleh murid-muridnya kemudian hidup bersembunyi.  Dalam suasana gelap dan kacau itu lantas tentara asal tangkap orang yang mirip Isa. Ahli tafsir ada yang menyebut orang itu Yudas. Namun tidak jelas darimana sumber rujukannya.
      Kemungkinan lain, orang yang disalib itu adalah Simon dari Kirene. Dia ini saat menonton arakan Isa, dipaksa tentara Rumawi memanggul kayu salib menuju Bukit Golgota (Injil Matius 27:32, Markus 15:21, Lukas 23:26). Boleh jadi saat dalam perjalanan ini Isa diselamatkan muridnya. Lalu Simon menjadi korban penyaliban.   Wallahu a’lam.

Rabu, 11 November 2015

KARBALA








Di ujung tahun 681 M, ketika Yazid mewarisi khalifah Islam menggantikan ayahnya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, di ibukota Damaskus,  penduduk Kufah Irak tidak mau memberikan baiat pengakuan legitimasi kekuasaannya. Penduduk negeri  itu malah menoleh kepada Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Penduduk Kufah lantas mengundang Husain yang saat itu berkedudukan di Mekkah agar datang ke Kufah untuk menerima baiat dan penobatan sebagai khalifah. Husain mengirim Muslim bin Uqail bin Abi Thalib ke Kufah untuk mewakili undangan itu. Di negeri itu Muslim bin Uqail menerima baiat sebanyak 30.000 penduduk negeri yang setia dan memilih Husain.
Kabar baiat ini segera sampai kepada Husain. Maka dia berangkat ke Kufah untuk menerima pengangkatan sebagai khalifah.  Dia berangkat beserta istri, anaknya, Ali Zainal Abidin, diiringi pasukan besar pengawal.
Pamannya,  Abdullah bin Abbas, mencegah kepergian Husain dengan pertimbangan dalam masa transisi itu situasi politik cepat sekali berubah. Ibnu Abbas menyarankan pergi saja ke Yaman yang sudah jelas penduduknya berpihak dan fanatik kepada Ali bin Abi Thalib serta kondisi politiknya stabil. Tapi Husain lebih suka menuju Kufah.
Benar perkiraan Ibnu Abbas, Khalifah Yazid langsung memecat Gubernur Irak, Nukman bin Basyir, yang lemah memimpin wilayahnya. Wilayah itu lantas digabungkan dengan Parsi di bawah pimpinan Gubernur Abdullah bin Zayyad bin Abu Sufyan yang berhasil memaksa penduduknya untuk mengakui Yazid.
Abdullah bin Zayyad dengan pasukannya langsung menuju Kufah untuk mengamankan situasi politik sebelum Husain tiba. Ditangkapinya para penentang Yazid termasuk utusan Muslim bin Uqail. Para pemberontak ini dihukum mati. Tokoh dan penduduk negeri Kufah takut dan segera berbalik menyatakan baiat dan setia kepada Yazid.
Setelah situasi politik aman dan terkendali,  Gubernur Abdullah bin Zayyad memerintahkan sejumlah pasukan Irak pimpinan Al Hur bin Yazid Attamimi menghadang rombongan Husain.
Kabar dikuasainya negeri Irak oleh pasukan Yazid terkirim ke Husain yang masih dalam perjalanan. Teman-teman Husain menyarankan agar dia balik ke Mekkah karena situasi sudah berubah. Namun Husain bergeming, tetap menuju Kufah.
 ”Siapa memilih balik, silakan balik. Saya tetap ke Kufah,” kata Husain kepada pasukannya. Ternyata sebagian besar pasukan memilih balik ke Mekkah. Hanya tinggal 31 pasukan berkuda dan 40 pasukan berjalan kaki yang menyatakan setia mengawal Husain, istri dan anaknya.
Di padang Siraf, bertemulah pasukan kecil Husain ini dengan pasukan besar pimpinan Al Hur yang berjumlah dua ribu prajurit. Al Hur heran melihat pasukan kecil itu padahal di Irak tersiar kabar Husain datang dengan pasukan besar. Segeralah Al Hur maju menemui Husain.
”Kami datang dengan rombongan kecil ini demi undangan kalian dari Irak,” kata Husain menyambut Al Hur.
”Maafkan kami, situasi politik sudah berubah,” jawab Al Hur.
”Jika kalian sudah berubah kesetiaan maka kami pun akan balik dari sini.”
”Tapi kami dapat perintah mengiringkan tuan ke Kufah menemui Gubernur Abdullah bin Zayyad.”
”Mati lebih ringan daripada menuruti perintahmu,” jawab Husain.
Perundingan deadlock. Pasukan Al Hur lantas bergerak maju mendesak pasukan Husain  hingga ke Padang Karbala. Kekuatan makin tidak seimbang ketika datang bala bantuan empat ribu prajurit dari Kufah pimpinan Panglima Umar bin Saad.
Melihat posisinya makin terjepit, Husain mengajukan tiga penawaran kepada Panglima Umar bin Saad. Pertama, pasukannya balik ke Mekkah dengan aman. Kedua, pasukannya langsung menemui Yazid di Damaskus. Ketiga, pilihan terakhir, perang.
Tiga tawaran Husain itu segera dikirimkan Panglima Umar bin Saad kepada Gubernur Abdullah bin Zayyad. Tapi Gubernur Ibnu Zayyad malah marah dan menilai Panglima Umar tidak dapat mengambil keputusan tegas sesuai perintah. Kemudian dia mengirim prajurit Syamar bin Ziljausan membawa pesannya: Pilih satu di antara dua, kamu perangi Husain sampai pasukannya hancur atau serahkan pimpinan pasukan kepada Syamar.
 Tidak ada pilihan lain bagi Panglima Umar kecuali perang. Maka pecahlah pertempuran yang tidak seimbang pada 2 Muharram 61H (682 M). Pasukan Husain cepat sekali ditumpas. Husain sendiri terluka parah kena panah, sabetan pedang di tangan, leher, dan dada tertusuk tombak hingga terjatuh dari kuda.
Melihat Husain terkapar di tanah, Syammar bin Ziljausan mendekati langsung memenggal kepalanya. Kepala itu lalu ditancapkan di mata tombak dan dipamerkan kepada pasukannya bahwa Husain telah kalah dan mati.
Tragedi Karbala memperlihatkan dalam kepentingan politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik itu sendiri. Tidak melihat lagi siapa orang yang dihadapi. (*)    

Selasa, 03 November 2015

TUKANG DOA

Seorang teman bercerita, dia diminta tetangganya untuk membaca doa pada acara kampung. Dia enggan karena merasa belum patut.
”Bayangkan, penampilan sekuler seperti ini diminta jadi tukang doa,” katanya.
”Itu hanya perasaanmu. Tetapi tetanggamu menilai dirimu mengerti soal agama,” jawabku.
”Tapi ada orang yang lebih tua dan biasa baca doa.”
”Rupanya tetanggamu butuh penyegaran. Bosan dengan doa yang biasanya. Siapa tahu doamu lebih makbul.”
”Ah, baca doa itu kan hanya seremoni saja. Agar tampak agamis.”
”Karena itu buat agamis beneran, jangan hanya tampaknya.  Siapa tahu tukang doa bisa membawa perubahan.”
Jabatan tukang doa memang tidak keren. Sama tidak kerennya dengan posisi modin. Suka menjadi bahan ejekan dan pelecehan. Karena itu  orang enggan menerimanya. Walaupun begitu ternyata  tukang doa dan modin  itu perlu ada. Buktinya posisi itu masih dibutuhkan masyarakat.
Bayangkan, sebuah masyarakat tanpa modin. Pasti warganya kebingungan ketika ada orang mati. Walaupun  urusan sepele tapi tidak semua orang berani memandikan, mengafani, dan menguburkan jenazah. Mereka pun sampai menyewa  modin ke kampung tetangga. Saat situasi seperti inilah baru disadari bahwa modin menjadi sangat penting.
Begitu pun tukang doa. Sebenarnya hanya urusan sepele. Tinggal membacakan doa, selesai. Kenapa tidak semua orang berani mengambil peran itu?
Jawaban pertama, inilah gambaran bahwa masyarakat kita awam soal agama. Jelasnya, masyarakat kita bukan masyarakat santri meskipun 90 persen penduduk beragama Islam. Walaupun mereka itu shalat tapi bisa jadi tidak bisa baca Alquran dan tidak hafal doa. Karena memang tidak pernah mengaji sedari kecil.
Contoh paling gamblang menjelaskan soal ini adalah dari tujuh presiden RI hanya dua orang saja yang santri, paham agama dan mampu membaca Alquran yaitu Abdurrahman Wahid dan BJ Habibie. Presiden lainnya abangan.
Diteruskan ke jabatan gubernur, kondisinya juga sama. Jawa Timur yang katanya gudangnya santri ternyata semua gubernurnya abangan. Begitu pun untuk posisi bupati dan walikota hanya sedikit saja santri yang pernah terpilih selebihnya orang abangan.
Jawaban kedua, karena masyarakat kita mayoritas abangan yang awam soal urusan agama maka mereka tidak berani menyentuh wilayah yang dianggap sakral seperti berdoa. Apalagi mengurus mayit. Karena itulah mereka butuh orang yang dianggap memahami dan bersentuhan dengan wilayah suci ini. Mereka perlu mencari orang yang dinilai bisa berhubungan dengan Tuhan.  Maka muncullah posisi tukang doa dan modin.
Tentu saja, dalam masyarakat santri yang paham soal agama, posisi tukang doa dan modin menjadi tidak penting karena semua orang dapat mengerjakannya.
Jadi kalau Anda di kampung diminta menjadi tukang doa dalam suatu acara, itu menandakan masyarakat sekitar menganggap Anda memahami wilayah sakral. Lebih khusus lagi, Anda dianggap mempunyai hubungan baik dengan Tuhan sehingga berharap doa yang disampaikan cukup makbul.
Memahami situasi ini penunjukan menjadi tukang doa itu sebenarnya merupakan penghargaan masyarakat terhadap pengetahuan dan praktik religi yang Anda kerjakan. Anda dinilai mempunyai derajat  lebih tinggi dibandingkan orang-orang di lingkungan kampung untuk berhadapan dengan Tuhan. Meskipun Anda sendiri merasa tidak begitu patut menjadi tukang doa tapi penilaian orang lain justru sebaliknya.
 Inilah maksud ayat 11 surat Mujadalah (58) bahwa Allah  meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
 Jadi kalau Anda diminta menjadi tukang doa, jangan merasa enggan karena tidak bergengsi.  Ambil saja, siapa tahu itulah jalan pertama yang ditunjukkan Allah untuk memberi pencerahan kepada lingkungan Anda lewat  pancaran doa-doa.
Memang, doa yang diucapkan tukang doa  ada yang meragukan kemakbulannya karena sekadar seremonial sebagai pemanis acara agar tampak religius. Seperti doa dalam acara kenegaraan. Atau tukang doa di Mekkah yang habis berdoa minta sedekah. Kemudian ditiru pengamen doa di bus antar kota jurusan Tulungagung setelah memberikan amplop ke penumpang agar diisi derma lalu berdoa agar diberi keselamatan dan rezeki.
  Dalam acara kenegaraan semestinya pemimpin seperti presiden atau gubernur yang membaca doa meminta kepada Tuhan agar memberi kemakmuran negaranya dan menyejahterakan rakyatnya. Hal itu tanggung jawab pemimpin bukan diserahkan kepada tukang doa.
Posisi tukang doa itu sebenarnya dapat mendorong kita agar doa-doa yang dibacakan mempunyai kekuatan menembus langit dan alam semesta sehingga diterima Tuhan. Untuk itulah kita perlu membina hubungan baik dengan Tuhan agar doa kita diperhatikan.
Tuhan mengatakan, berdoalah kepadaku, niscaya aku kabulkan (Al Mukmin: 60).  Juga disebutkan dalam Al Baqarah: 186, dan ketika hamba-hambaku bertanya kepadamu tentang aku, maka sesungguhnya aku dekat. Aku menjawab doa orang yang berdoa bila dia berdoa kepadaku, maka hendaklah mereka memenuhiku, dan  beriman kepadaku agar mereka mendapat kebe­nar­­an.
  Ini adalah janji Tuhan. Ini juga hukum kepastian. Setiap doa pasti dikabulkan. Tapi kenapa ada doa yang tidak terkabul?  Mustahil menuduh Tuhan mengingkari janji. Juga mustahil Tuhan menunda janjinya. Masalahnya bisa jadi terletak kepada kekuatan doa kita belum  menembus batas Allah.
Kekuatan doa itu seperti dijelaskan dalam surat Al Muzzammil terletak kepada aktivitas shalat malam, tartil Quran, berdzikir dan beribadah sepenuh hati. Bila kebiasaan ini sudah dijalani maka Allah menurunkan qaulan tsaqilah, perkataan berbobot. Ada yang menyebutnya idu geni. Kesaktian. Karomah. Doa yang makbul.
Kalau maqam seperti ini sudah tercapai maka dukun dari manapun pasti kalah sakti. Apalagi dukun banci yang mengidentifikasi diri sendiri saja tidak bisa kok dipercaya bisa mendatangkan rezeki.  Jadi mulai sekarang jangan menolak menjadi tukang doa. (*)

IRONI PAHLAWAN


      November 1992, ketika Xanana Gusmao, pemimpin Falintil, digerebek dari tempat persembunyiannya oleh TNI, pemerintah lantas mengumumkan berita: Gembong GPK (Gerombolan Pengacau Keamanan)  Timor Timur Ditangkap. Orang yang dicap sebagai gembong GPK itu kemudian disidang di Jakarta dan dijebloskan ke penjara Cipinang.
     Tujuh tahun sesudah itu situasi politik berubah setelah berhembus badai reformasi. Presiden Habibie menyetujui referendum untuk rakyat Timor Timur. Hasilnya provinsi itu merdeka. Yang terjadi kemudian adalah rakyat mengelu-elukan Xanana Gusmao sebagai simbol perjuangan dan pemersatu bangsa. Akhirnya dia terpilih menjadi presiden negara baru itu tahun 2002. Dia yang semula dicap sebagai pemberontak berubah menjadi pahlawan.
     Lebih aneh lagi, Ramos Horta dan Uskup Belo malah mendapat hadiah Nobel Perdamaian. Padahal dua orang itu dituding pemerintah RI sebagai provokator dan pemicu konflik di Timtim lewat propagandanya yang menebar kebencian terhadap pemerintah Indonesia. 
     Kisah seperti ini banyak menghiasi lembaran sejarah bangsa. Sukarno pun pernah dicap sebagai pengacau oleh pemerintah kolonial. Pledoi yang dibacakannya di pengadilan kemudian terkenal sebagai risalah dengan judul Indonesia Menggugat.  Akhirnya dia dipenjara di Sukamiskin, Bandung, sebagai pemberontak.
     Puluhan tahun kemudian situasi berubah. Sukarno dielu-elukan rakyat dan diangkat sebagai presiden setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan. Maka cap pada diri Sukarno berubah menjadi pahlawan. Tapi ironinya, selama Sukarno menjabat presiden dia juga membuat cap pemberontak untuk teman-teman seperjuangan yang tidak sejalan dengan arah pemerintahannya.
     Tak pelak orang-orang yang berjasa pada negara ini seperti Syafruddin Prawiranegara, Sumitro Djojohadikusumo, Hamka, Tan Malaka, Kartosuwiryo, dan sederet nama lain diposisikan sebagai pemberontak karena melawan Sukarno. Setelah reformasi, anehnya sebagian dari pemberontak itu mendapat gelar pahlawan nasional dari negara.
      Inilah kenisbian sejarah. Pahlawan atau pemberontak hanya sebatas garis tipis yang gampang terbalik tergantung dari siapa yang berkuasa. Ini juga ironi sejarah. Orang yang semula dihujat, dihina, dipersalahkan, dipenjara, suatu ketika berubah menjadi orang yang ditunggu, dipuja-puja, dan dimuliakan ditempatkan pada  posisi terbaik.
      Sebaliknya ada pemimpin negara yang awalnya sangat dihormati, dipuji-puji, dimuliakan, ditakuti pada akhirnya menjelma menjadi orang yang terhinakan, terhujat, dan menjadi tumpuan kesalahan rezim sepanjang waktu.
      Sebutan pahlawan dan pemberontak sepertinya mengikuti hukum relativitas. Karena dia bergantung dari posisi mana melihatnya. Situasi ini adakalanya menimbulkan keprihatinan sebab ukuran dan penilaiannya yang sangat subjektif  bisa memicu kontroversi di kelompok masyarakat.
      Contoh, sewaktu Anak Agung Gede Agung diberi gelar pahlawan nasional, ada sekelompok orang dari Bali yang protes. Menurut mereka, gelar itu tidak pantas sebab Anak Agung pernah memerangi pejuang Bali. Selain itu dia juga pendiri Negara Bali sebagai onderbouw  Belanda sewaktu RIS dibentuk.
      Ali Basya Sentot Prawirodirjo juga dikenal sebagai pahlawan. Dia adalah panglima perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Saat ada usulan pemberian gelar kepadanya masyarakat Jambi dan Minang menolak. Alasannya, Sentot pernah bergabung dengan pasukan Belanda memerangi rakyat di dua daerah itu usai kalah Perang Jawa.
      Bung Tomo juga contoh nyata ironi itu. Bagi orang Surabaya, nama Bung Tomo sudah sangat akrab sebab dia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan peristiwa heroik 10 November 1945. Pidatonya merupakan pengobar semangat perjuangan. Namun di zaman rezim Soeharto, usulan masyarakat agar dia memperoleh gelar pahlawan nasional tidak kunjung diberikan tanpa alasan meskipun rakyat sudah menganggapnya sebagai pahlawan.  Penyebabnya adalah Bung Tomo pernah mengkritik pemerintah Orde Baru.
      Bahkan mengusulkan nama Bung Tomo menjadi nama jalan di Kota Surabaya di zaman itu ditolak oleh Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI DPRD karena dinilai tidak layak. Baru setelah zaman reformasi gelar pahlawan untuk Bung Tomo diberikan dan nama jalan disetujui DPRD.
      Sejarah memang subjektif. Bahkan manipulatif. Dia ditulis untuk kepentingan pembuatnya. Karena itu tidak ada tafsir tunggal atas kejadian sejarah. Tapi sejelek-jeleknya bangsa, kita menginginkan penulisan sejarah itu meskipun subjektif tapi tetap objektif. Objektif dengan masih berdasarkan fakta-fakta. Bukan manipulatif semata berdasarkan kepentingan politik rezim.
      Sejarah manipulatif isinya bisa menyimpang jauh dari kejadian sebenarnya. Jika ini diajarkan bakal membuat rakyat tersesat pikiran dan perilakunya. Kalau ini terjadi maka pemerintah telah memproduk wawasan bangsa yang benar-benar buruk.
      Dengan pertimbangan ini maka pemerintah jangan menuruti kemauan orang yang mengatasnamakan pejuang HAM untuk meminta maaf atas kejadian pembunuhan dan pemenjaraan orang-orang PKI tahun 1965. Sebab tuntutan itu sangat subjektif karena mengabaikan sejarah tindakan orang PKI yang membunuhi para kiai dan lawan politiknya. 
      Ukuran gelar pahlawan sepatutnya dilihat dari nilai kebenaran yang diperjuangkan. Nilai kebenaran menurut ukuran universal. Tuhan sendiri berkisah dalam Alquran tentang para nabi sebagai pemberontak melawan penguasa. Ibrahim melawan Namrud. Musa bermusuhan dengan Firaun. Yahya dan Isa menantang penjajah Rumawi. Muhammad berhadapan dengan penguasa kafir Mekkah dan nabi-nabi lain yang bertentangan dengan masyarakatnya.
      Para nabi membawa misi kebenaran Tuhan kepada masyarakat. Tapi penguasa melihatnya sebagai ancaman stabilitas kekuasaannya. Maka nabi dan pengikutnya ditindas dan dilenyapkan karena dianggap mengganggu kemapanan. Tak ayal, pemberontakan para nabi terjadi untuk melawan penindasan itu.
      Karena itu Tuhan berkata, janganlah kamu sebut orang yang terbunuh di jalan Allah itu sebagai mati sia-sia. Akan tetapi mereka itu hidup. Mereka bersenang-senang di sisi Tuhan karena mendapat balasan pahala (Ali Imran : 169-171).
      Atas dasar ayat ini, maka janganlah gusar dengan stigma buruk dari penguasa.  Sebab  ternyata Tuhan  berpihak kepada para pemberontak yang membawa nilai kebenaran. Dalam perspektif  Tuhan, justru penguasa  dholim dicap sebagai thagut. Penguasa yang sewenang-wenang dan melampaui batas memang harus dilawan. (*)