Rabu, 11 November 2015

KARBALA








Di ujung tahun 681 M, ketika Yazid mewarisi khalifah Islam menggantikan ayahnya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, di ibukota Damaskus,  penduduk Kufah Irak tidak mau memberikan baiat pengakuan legitimasi kekuasaannya. Penduduk negeri  itu malah menoleh kepada Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Penduduk Kufah lantas mengundang Husain yang saat itu berkedudukan di Mekkah agar datang ke Kufah untuk menerima baiat dan penobatan sebagai khalifah. Husain mengirim Muslim bin Uqail bin Abi Thalib ke Kufah untuk mewakili undangan itu. Di negeri itu Muslim bin Uqail menerima baiat sebanyak 30.000 penduduk negeri yang setia dan memilih Husain.
Kabar baiat ini segera sampai kepada Husain. Maka dia berangkat ke Kufah untuk menerima pengangkatan sebagai khalifah.  Dia berangkat beserta istri, anaknya, Ali Zainal Abidin, diiringi pasukan besar pengawal.
Pamannya,  Abdullah bin Abbas, mencegah kepergian Husain dengan pertimbangan dalam masa transisi itu situasi politik cepat sekali berubah. Ibnu Abbas menyarankan pergi saja ke Yaman yang sudah jelas penduduknya berpihak dan fanatik kepada Ali bin Abi Thalib serta kondisi politiknya stabil. Tapi Husain lebih suka menuju Kufah.
Benar perkiraan Ibnu Abbas, Khalifah Yazid langsung memecat Gubernur Irak, Nukman bin Basyir, yang lemah memimpin wilayahnya. Wilayah itu lantas digabungkan dengan Parsi di bawah pimpinan Gubernur Abdullah bin Zayyad bin Abu Sufyan yang berhasil memaksa penduduknya untuk mengakui Yazid.
Abdullah bin Zayyad dengan pasukannya langsung menuju Kufah untuk mengamankan situasi politik sebelum Husain tiba. Ditangkapinya para penentang Yazid termasuk utusan Muslim bin Uqail. Para pemberontak ini dihukum mati. Tokoh dan penduduk negeri Kufah takut dan segera berbalik menyatakan baiat dan setia kepada Yazid.
Setelah situasi politik aman dan terkendali,  Gubernur Abdullah bin Zayyad memerintahkan sejumlah pasukan Irak pimpinan Al Hur bin Yazid Attamimi menghadang rombongan Husain.
Kabar dikuasainya negeri Irak oleh pasukan Yazid terkirim ke Husain yang masih dalam perjalanan. Teman-teman Husain menyarankan agar dia balik ke Mekkah karena situasi sudah berubah. Namun Husain bergeming, tetap menuju Kufah.
 ”Siapa memilih balik, silakan balik. Saya tetap ke Kufah,” kata Husain kepada pasukannya. Ternyata sebagian besar pasukan memilih balik ke Mekkah. Hanya tinggal 31 pasukan berkuda dan 40 pasukan berjalan kaki yang menyatakan setia mengawal Husain, istri dan anaknya.
Di padang Siraf, bertemulah pasukan kecil Husain ini dengan pasukan besar pimpinan Al Hur yang berjumlah dua ribu prajurit. Al Hur heran melihat pasukan kecil itu padahal di Irak tersiar kabar Husain datang dengan pasukan besar. Segeralah Al Hur maju menemui Husain.
”Kami datang dengan rombongan kecil ini demi undangan kalian dari Irak,” kata Husain menyambut Al Hur.
”Maafkan kami, situasi politik sudah berubah,” jawab Al Hur.
”Jika kalian sudah berubah kesetiaan maka kami pun akan balik dari sini.”
”Tapi kami dapat perintah mengiringkan tuan ke Kufah menemui Gubernur Abdullah bin Zayyad.”
”Mati lebih ringan daripada menuruti perintahmu,” jawab Husain.
Perundingan deadlock. Pasukan Al Hur lantas bergerak maju mendesak pasukan Husain  hingga ke Padang Karbala. Kekuatan makin tidak seimbang ketika datang bala bantuan empat ribu prajurit dari Kufah pimpinan Panglima Umar bin Saad.
Melihat posisinya makin terjepit, Husain mengajukan tiga penawaran kepada Panglima Umar bin Saad. Pertama, pasukannya balik ke Mekkah dengan aman. Kedua, pasukannya langsung menemui Yazid di Damaskus. Ketiga, pilihan terakhir, perang.
Tiga tawaran Husain itu segera dikirimkan Panglima Umar bin Saad kepada Gubernur Abdullah bin Zayyad. Tapi Gubernur Ibnu Zayyad malah marah dan menilai Panglima Umar tidak dapat mengambil keputusan tegas sesuai perintah. Kemudian dia mengirim prajurit Syamar bin Ziljausan membawa pesannya: Pilih satu di antara dua, kamu perangi Husain sampai pasukannya hancur atau serahkan pimpinan pasukan kepada Syamar.
 Tidak ada pilihan lain bagi Panglima Umar kecuali perang. Maka pecahlah pertempuran yang tidak seimbang pada 2 Muharram 61H (682 M). Pasukan Husain cepat sekali ditumpas. Husain sendiri terluka parah kena panah, sabetan pedang di tangan, leher, dan dada tertusuk tombak hingga terjatuh dari kuda.
Melihat Husain terkapar di tanah, Syammar bin Ziljausan mendekati langsung memenggal kepalanya. Kepala itu lalu ditancapkan di mata tombak dan dipamerkan kepada pasukannya bahwa Husain telah kalah dan mati.
Tragedi Karbala memperlihatkan dalam kepentingan politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik itu sendiri. Tidak melihat lagi siapa orang yang dihadapi. (*)    

Tidak ada komentar: