Senin, 25 Februari 2008

Pemekaran Wilayah

Pemekaran wilayah menjadi propinsi, kabupaten, dan kota otonom baru harus mendapat perhatian pemerintah dengan serius. Jika tidak terkendali, pemekaran wilayah makin jauh dari harapan memberikan kesejahteraan dan layanan yang baik bagi rakyat. Sebab motif pemekaran itu kian kabur antara ambisi elite daerah untuk menjadi pejabat dengan niat membangun daerah dan memakmurkan rakyatnya.
Usulan pemekaran daerah menjadi-jadi sejak reformasi bergulir. Mulai 1999 sampai 4 Januari 2008, sudah ada 179 pembentukan daerah otonom baru. Dari jumlah tersebut, yang diusulkan pemerintah 117 dan inisiatif DPR 62.
Pemerintah mempunyai aturan tentang syarat pembentukan pemerintah daerah baru yaitu PP Nomor 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Peraturan tersebut antara lain mencantumkan syarat pembentukan daerah baru yakni usia penyelenggaraan pemerintahan daerah yang akan dimekarkan, syarat administratif, fisik kewilayahan, dan teknis. Dari 11 faktor syarat teknis, ada empat faktor yang dominan yakni, faktor kependudukan, kemampuan ekonomi, keuangan daerah, dan potensi daerah harus nilai lebih.
Syarat penyelenggaraan pemerintahan untuk propinsi minimal sudah dalam masa pemerintahan 10 tahun, kabupaten/kota dapat dimekarkan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan tujuh tahun. Namun dalam praktiknya aturan itu diabaikan oleh kelompok yang mengajukan pemekaran.
Misalnya usulan untuk daerah baru Propinsi Papua Barat Daya yang ingin pisah dari Propinsi Papua Barat. Padahal Propinsi Papua Barat ini resmi dibentuk pada 2003 dan punya gubernur definitif hasil Pilkada pada 2006. Lama rentang waktu itu karena terus terjadi konflik sehingga menunda hasil Pilkada. Selain itu propinsi ini hanya berpenduduk 2,3 juta orang. Bila dipecah lagi maka jumlah penduduk menjadi tidak memenuhi syarat.
Di lapangan, pemekaran wilayah di beberapa daerah telah menyulut konflik horizontal antar rakyat akibat perebutan batas wilayah, penentuan pejabat daerah, atau kepentingan politik lainnya.
Dari begitu banyaknya pemekaran wilayah hanya dalam rentang waktu delapan tahun hingga kini belum ada evaluasi yang menunjukkan mana saja daerah otonom baru yang berhasil maupun gagal.
Menurut laporan Departemen Dalam Negeri semua daerah otonom baru itu masih bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang dibuat untuk peningkatan pendapatan asli daerah dinilai malah membebani rakyat karena banyak sekali retribusi dan pajak diberlakukan.
Dari kondisi ini, pemerintah dan DPR sudah seharusnya menghentikan pemekaran wilayah yang tampak tidak sehat karena motifnya lebih banyak kepentingan politik elite daerah yang ingin menjadi kepala daerah. Jika dibiarkan beban keuangan pemerintah pusat makin besar untuk membiayai daerah baru. Uang negara itu akan habis hanya untuk membiayai elite daerah yang ingin berkuasa karena tidak puas dengan pemerintah daerah yang dimekarkan atau kalah dalam Pilkada.
Selain itu segera diadakan evaluasi untuk daerah-daerah baru yang sudah diresmikan. Bila hasilnya ternyata daerah otonomi baru tidak mampu berdiri sendiri maka lebih baik dilebur kembali ke pemerintah daerah induknya karena ternyata rakyat dan elite politik daerah baru tidak mampu melaksanakan janji untuk mandiri, mandiri dan melayani rakyat.
Memang setidaknya ada tiga alasan untuk membentuk daerah baru. Pertama, tidak pernah diperhatikan pemerintah induk. Kedua, ingin pengembangan karena padatnya aktivitas perekonomian, dan ketiga alasan elite daerah ingin menjadi kepala daerah. Dari tiga alasan ini alasan pertama dan ketiga yang paling menonjol sehingga wajar saja kalau praktik di lapangan jauh dari harapan.
Pemekaran wilayah harusnya disetujui berdasarkan padatnya kegiatan perekonomian di daerah sehingga memungkinkan dipecah untuk meringankan beban pemerintah induknya. Contohnya adalah pemekaran Propinsi Banten dari Jawa Barat dan pemisahan Kota Batu dari Kabupaten Malang. Dua daerah itu relatif sudah terbangun infrastruktur, kegiatan ekonomi, maupun sumber daya manusia sehingga begitu diresmikan dapat berjalan baik. Bila alasan politik dan kekecewaan yang dijadikan dasar pemekaran wilayah maka konflik horizontal menjadi ancaman perpecahan bangsa ini. (*)
.

Krisis Listrik

PLN pada Maret 2008 menerapkan insentif dan disinsentif dalam tarif listrik. Insentif diberikan berupa diskon sebesar 20 persen untuk pelanggan yang bisa berhemat memakai listrik diukur dari rata-rata pemakaian nasional untuk tiap golongan. Sebaliknya disinsentif atau denda dikenakan kepada pelanggan listrik yang melebihi pemakaian rata-rata nasional juga untuk tiap golongan.
Kebijakan itu dipakai PLN karena sekarang kewalahan menghadapi defisit listrik yang tak kunjung mampu diselesaikan. Pasokan listrik dari pembangkit yang dikelola PLN tak mampu lagi mengimbangi konsumsi listrik masyarakat.
Defisit sumber listrik ini menjadi kian parah lagi ketika terjadi kasus darurat seperti terlambatnya pasokan batu bara akibat cuaca buruk yang menyebabkan kapal tak dapat merapat ke pelabuhan. Tentu saja yang menjadi korban adalah pelanggan listrik industri maupun rumah tangga yang mendapat giliran pemadaman listrik di Jakarta dan sekitarnya. Bagi kalangan industri, padamnya listrik merugikan bisnis yang cukup besar dan untuk ini PLN tak mau tahu meskipun kalau industri terlambat membayar listrik langsung mendapat sanksi.
Keputusan menerapkan insentif dan disinsentif tarif listrik ini juga tak sejalan lagi dengan upaya PLN untuk menerangi segenap pelosok negeri. Program pelistrikan ini tentu mengakibatkan jumlah konsumsi listrik meningkat. Selain itu listrik juga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi masyarakat. Semakin baik pendapat masyarakat menyebabkan kebutuhan listrik juga meningkat terkait dengan pemakaian barang-barang elektronik.
Menurut data, negara dengan konsumsi tinggi terhadap listrik adalah negara yang ekonominya kuat. Misalnya Malaysia konsumsi listriknya 600 watt per orang, Jepang 1.874 watt per orang. Indonesia hanya 108 watt per orang. Itu pun kini menjadi ironis sebab di tengah kian naiknya kebutuhan listrik ternyata PLN memangkasnya dengan pemberlakuan insentif dan disinsentif .
Apakah cara ini dapat mempengaruhi pelanggan menghemat listrik? Tentu masih perlu menunggu buktinya. Sebab di lapangan masih ada kondisi yang tak mendukung target itu. Pertama, masyarakat belum tahu cara penghematan listrik yang benar-benar efisien dapat mengurangi laju meter listrik. Masyarakat tahunya menghemat listrik dengan cara mematikan lampu sesuai kampanye PLN. Kalau hanya dengan mematikan lampu punya pengaruh besar terhadap hemat listrik, boleh jadi itu efektif.
Kedua, petugas pencatat meter listrik seringkali bekerja serampangan dengan memukul rata-rata pemakaian listrik tiap rumah. Itu dilakukan karena petugas tidak datang setiap bulan. Bila ini terjadi maka pelanggan listrik yang dirugikan.
Ketiga, batasan pemakaian listrik rata-rata nasional apakah sudah rasional? Contohnya pelanggan rumah tangga dengan golongan kapasitas terpasang 450 VA rata-rata pemakaian 75 kilowatt per jam (kWh) per bulan. Mungkinkah batas ini dapat ditekan kalau ternyata konsumsi listrik di Pulau Jawa saat ini di atas angka itu. Langkah itu bisa terjadi kalau masyarakat mau mengorbankan diri meninggalkan memakai peralatan elektronik.
Sebagai perusahaan energi milik negara sebenarnya PLN dimanja. Perusahaan ini mendapatkan subsidi dari APBN sebesar Rp 42 triliun meskipun selalu merugi. Tahun 2007 kerugian mencapai Rp 1,3 triliun.
Pejabat PLN boleh saja berdalih, perusahaan itu tidak berorientasi pada keuntungan namun lebih banyak mengemban amanah sosial dengan melayani rakyat sehingga wajar kalau masih perlu subsidi. Tapi PLN saat ini adalah perusahaan listrik tunggal yang tidak ada pesaingnya. Sebagai perusahaan tunggal yang dirasakan pelanggan adalah cara kerja PLN yang belum sepenuhnya benar. Misalnya, terlambatnya pasokan batu bara tidak diantisipasi sebelumnya, pemberian bonus kepada direksi dan komisaris. Kasus lain juga terjadi tampak dari masalah korupsi yang membelit direktur dan pegawainya.
Padahal dengan 50 juta pelanggan dan subsidi pemerintah bisa jadi modal yang besar bagi PLN untuk meraih keuntungan bila diimbangi dengan perbaikan manajemen dan pelayanan. Contohnya PT Telkom. Dulu perusahaan itu juga tunggal tanpa kompetitor. Kini seiring banyak muncul kompetitor dari operator telepon selular sehingga masyarakat punya alternatif memilih fasilitas telepon, PT Telkom banyak berbenah untuk dapat meraih pelanggan. (*)
.

Senin, 11 Februari 2008

Timor Timur Bergolak

Timor Timur, negara kecil yang baru merdeka setelah memisahkan diri dari Indonesia itu bergolak lagi. Militer pemberontak pimpinan Mayor Alfredo Reinado menyerang kediaman Presiden Ramos Horta. Baku tembak menyebabkan Horta tertembak dan Alfredo dikabarkan tewas.
Sebagai negara muda, konflik memang wajar terjadi karena stabilitas belum mapan. PBB mengawasi transisi kemerdekaan Timor Timur pada 2002 setelah jajak pendapat pada 1999 rakyat menginginkan merdeka. Tapi sudah enam tahun merdeka, elite politik negara itu belum mampu mengorganisasi diri bersama-sama menuju kemapanan negara dan menyejahterakan rakyat. Padahal negara itu mendapat fasilitas dari PBB berupa bantuan pasukan keamanan dan dana internasional. Dengan bantuan itu kalau elite politik Timor Timur berkeinginan bersama menyetabilkan negara sejak kemerdekaan peluang itu cukup besar. Namun elite ternyata masih menonjolkan kepentingan sendiri sehingga pemerintah diwarnai konflik yang belum tuntas. Akibatnya negara itu hampir-hampir menjadi negara yang gagal secara ekonomi, politik maupun keamanan.
Pertikaian elite politik merebutkan kekuasaan menjadikan rakyat telantar dalam kemiskinan. Tidak ada pembangunan, perbaikan infrastruktur, maupun pelayanan kepada rakyat. Kondisi ini makin menunjukkan cita-cita kemerdekaan untuk hidup lebih makmur hanya menjadi angan-angan kosong. Ketika kemerdekaan didapat penguasa sibuk berebut kekuasaan dan melupakan rakyat.
Konflik di negara itu tak lepas dari berlarut-larutnya penyelesaian konflik bersenjata kelompok tentara desertir sejak 2006 lalu pimpinan Mayor Alfredo. Pertikaian itu sudah menewaskan 35 orang dan 155.000 warga terusir dari rumahnya. Konflik politik juga terjadi antara Fretilin dengan partai-partai lain di parlemen yang ditandai jatuhnya Perdana Menteri Mari Alkatiri dan naiknya PM Xanana Gusmao.
Potensi konflik menjadi keras karena polisi dan angkatan bersenjata masih memungkinkan ditunggangi kepentingan elite politik sehingga kekuatan bersenjata itu dapat dipolitisasi. Belum lagi bibit perpecahan antara warga pro kemerdekaan dan integrasi dengan RI belum hilang dan menjadikan masyarakat terbelah.
Tentu semua kalangan berharap kasus penyerangan terhadap Presiden Ramos Horta dan kematian Mayor Alfredo dapat mengakhiri konflik bersenjata di Timor Timur. Pemerintah harus segera mengambil kebijakan cepat dengan momentum ini berupa rekonsiliasi dengan kekuatan-kekuatan lain demi masa depan negara.
Presiden Jose Ramos Horta dan Xanana Gusmao, dua orang kuat yang diharapkan menjadi penggerak stabilitas dan memerintah negara dengan baik rupanya masih kedodoran. Ramos Horta yang tampak hebat ketika propaganda kemerdekaan Timtim di luar negeri dulu sehingga menerima Hadiah Nobel bersama Uskup Belo ternyata tak menjadi jaminan mampu menjadi pemimpin yang andal untuk Timor Timur.
Keadaan ini harus diakui mau tidak mau Horta dan Xanana dianjurkan merangkul semua teman-teman seperjuangannya meskipun kini berseberangan politik dan kepentingan. Harus ada rekonsiliasi nasional demi stabilitas negara. Setelah itu dapat dicapai maka langkah pembangunan dapat berjalan.
Rekonsiliasi itu seperti memberi amnesti kepada militer pemberontak yang kini pimpinannya sudah tewas. Bila tentara-tentara desertir ini tidak segera diamnesti malah menyulitkan pemerintah karena dapat terus menjadi gerombolan liar yang terus mengacau negara. Selain itu warga yang terbelah karena pertikaian masa lalu dianjurkan untuk saling memaafkan dan menyimpan masa lalu sebagai sejarah.
Bagaimana pun ketenangan Timor Timur diperlukan agar kawasan itu tidak selalu menjadi duri dalam daging di pemerintahan Indonesia. Sebab gejolak apa pun yang terjadi di negara itu ada pengaruhnya bagi Indonesia. (*)