Minggu, 25 Mei 2008

Demonstrasi Anarkis

Demonstrasi mahasiswa Universitas Nasional Jakarta yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mencoreng kembali proses demokrasi negeri ini karena terjadi bentrok dengan polisi dan mengakibatkan kerusakan di kampus. Peristiwa itu juga membuat pertanyaan besar kenapa ada bom molotov, pelemparan batu, ganja, dan granat.
Polisi pun menjadi pihak tertuduh yang dihujat berbagai kalangan dengan sebutan telah menyerbu kampus. Bahkan Komnas HAM langsung menuduh polisi telah melanggar hak asasi manusia dengan melakukan kekerasan pada mahasiswa. Polisi juga disudutkan dengan tuduhan telah merekayasa adanya bom molotov, pelemparan batu, ganja dan granat untuk mencederai citra mahasiswa.
Tentu saja segala tuduhan itu dibantah polisi. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Abubakar Nataprawira mengatakan, polisi semula berjaga di depan kampus. Ketika polisi dilempari batu, botol, dan bom molotov barulah polisi bergerak memburu penyerang yang masuk kampus sebab demonstrasi berubah menjadi anarkis.
Saat menangkapi mahasiswa itu polisi menemukan ganja. Beberapa mahasiswa yang ditangkap ternyata sebagai pengedar dan setelah tes urin, menurut polisi, terbukti memakai ganja. Namun diakui ada polisi yang tak terkendali sehingga terjadi sejumlah pengrusakan di kampus.
Dua argumentasi dari dua pihak yang bertentangan ini tak bakal selesai kalau sebatas perdebatan saja. Karena sudah ada tersangka maka lewat pengadilan, peristiwa sebenarnya dari kerusuhan demonstrasi itu bakal terungkap berdasarkan segala bukti dan saksi yang diajukan kedua pihak. Kita berharap sidang pengadilan dapat menunjukkan kebenaran, siapa yang memicu kerusuhan.
Sejak reformasi bergulir, aksi demonstrasi menjadi sangat lazim terjadi di penjuru kota dilakukan oleh siapa saja dengan tuntutan yang sangat beragam. Tapi yang juga patut diperhatikan setiap demonstrasi terutama yang dilakukan mahasiswa dan buruh hampir selalu diwarnai bentrok dengan polisi.
Padahal kalau demonstrasi dilakukan sesuai koridor hukum bentrok itu tidak bakal terjadi. Aturan demonstrasi itu misalnya memberitahukan ke polisi, berlangsung dengan tertib, dan tidak mengganggu kepentingan umum. Polisi yang bertugas menjaga pun pasti tenang dan juga senang kalau tidak ada bentrok.
Tapi kenapa bentrok kemudian menjadi semacam kelaziman dalam demonstrasi? Sangat disayangkan kalau alasannya sekadar untuk gagah-gagahan berani melawan polisi yang direpresentasikan sebagai penguasa. Sebab memang sangat mudah untuk mencari gara-gara agar terjadi bentrok.
Juga sangat naïf alasan para demonstran yang menganggap hambar bila demonstrasi tanpa bentrokan. Lebih buruk lagi kalau alasan bentrok itu agar dipotret wartawan untuk memenuhi nilai layak muat berita di media massa.
Bila alasan-alasan ini memang benar yang menjadi landasan maka proses demokrasi di negara ini telah kehilangan substansi karena hanya menjadi permainan sekelompok orang yang ingin gagah-gagahan. Demokrasi yang dibentuk pun cuma bungkus tanpa isi dan tentu saja tidak bakal menyelesaikan masalah negara ini untuk menuju kemakmuran rakyat.
Tentu saja kalau ini yang terjadi sangat disayangkan sebab mahasiswa dikenal dengan idealisme yang menjadi motor gerakan moral untuk melawan kesalahan penguasa. Kalau demonstrasi hanya untuk gagah-gagahan itu artinya telah terjadi penurunan nilai. (*)
.

Selasa, 20 Mei 2008

Satu Abad Kebangkitan Nasional

KEBANGKITAN Nasional yang diperingati setiap 20 Mei, tahun ini genap berusia seratus tahun atau satu abad. Tapi panjangnya usia itu tidak selalu selaras dengan pencapaian pembangunan di lapangan sehingga Kebangkitan Nasional sekarang ini tidak lebih dari sekadar slogan.
Meningkatnya kedaulatan dan semangat kebangsaan yang menjadi cita-cita Kebangkitan Nasional masih rapuh dideru ketimpangan jurang kaya-miskin, naiknya konflik antar golongan dan kepentingan politik, korupsi merajalela, hukum diperjualbelikan, serta menjual negara untuk kepentingan asing.
Kondisi itu masih jauh dengan keinginan mewujudkan kemandirian ekonomi, sosial dan budaya. Reformasi yang telah menginjak sepuluh tahun berjalan belum sepenuhnya menguatkan kembali kondisi negara yang tercabik-cabik akibat badai krisis ekonomi, politik, dan kemanusiaan.
Sebelum krisis ekonomi pada 1997, menurut data jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan 22,5 juta jiwa. Kini jumlah itu malah bertambah menjadi 37,17 juta jiwa. Padahal anggaran pembangunan selalu naik.
Bandingkan dengan Vietnam, negeri yang juga tercabik-cabik akibat perang, kini dapat memperbaiki struktur ekonomi maka krisis cepat berlalu. Dalam sepuluh tahun terakhir pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 persen, sementara Indonesia di kisaran enam persen. Perbaikan struktur ekonomi itu membuat kemiskinan di Vietnam menurun hingga 75 persen. Bukan hanya itu negara itu lantas bangkit menjadi produsen pertanian besar dan eksportir beras.
Peringatan Kebangkitan Indonesia hanya hangat di awalnya sedikit mendorong kemajuan. Tapi di dalamnya pengangguran belum teratasi, rakyat terpuruk akibat stabilitas ekonomi yang rapuh, apalagi secara eksternal juga ada krisis minyak yang berpengaruh besar pada ketahanan pangan. Rakyat pun menerima akibatnya dengan melonjaknya harga pangan.
Rakyat yang belum sempat bangkit dari krisis, sekarang siap-siap menghadapi guncangan lagi dengan rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM yang berakibat harga-harga barang naik. Memang ada bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada rakyat miskin sebagai kompensasi tapi program itu bukan membangkitkan rakyat secara substansial tapi hanya pelipur lara.
BLT sudah dikritik banyak kalangan tidak mendorong rakyat menjadi mandiri bahkan membentuk mental pengiba, pengemis. Yang dibutuhkan adalah kebijakan perbaikan struktur ekonomi yang terarah dalam jangka panjang yang menguntungkan
semuanya.
Kedaulatan negara pun makin terancam dengan paham negara tidak perlu memegang perusahaan. Akibatnya sejumlah perusahaan vital dijual ke asing. Lebih-lebih terbitnya Perpres No. 7/2007 yang memberi peluang kepada kepemilikan asing terhadap beberapa sektor dapat mencapai 99 persen. Misalnya lahan pertanian di atas 25 hektare dapat dimiliki asing hingga 99 persen, nuklir hingga 95 persen, pendidikan hingga 49 persen mulai dari SD sampai PT.
Biaya pendidikan pun kini menjadi sangat mahal seolah lupa bahwa amanat konstitusi menyebutkan negara punya kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi peluang rakyat miskin yang masih mayoritas di negara ini untuk menempuh sekolah kian sempit.
Sekali lagi kita berharap peringatan satu abad Kebangkitan Nasional jangan sekadar slogan tapi harus diikuti kemauan yang sungguh-sungguh untuk mengarahkan seluruh uang dan tenaga untuk kepentingan rakyat. (*)
.

Selasa, 13 Mei 2008

Unas Mendorong Tindak Kriminal

Ujian nasional (Unas) yang hari ini giliran dijalani oleh siswa SMP terus menjadi polemik pro kontra. Dari pelaksanaan ujian nasional SLTA pekan lalu, kondisinya masih tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ujian nasional telah menjadi hantu yang menakutkan bagi kalangan siswa, guru dan sekolah karena khawatir tidak lulus. Akibatnya ujian nasional telah mendorong perilaku kriminal di dunia pendidikan dengan berbagai macam cara.
Sekolah yang memiliki uang berperilaku elegan dengan mengundang pembuat soal untuk memberikan pencerahan. Sekolah yang tak cukup uang dengan berani mengambil soal lantas mengerjakan dengan cepat dan hasilnya diberikan kepada siswanya. Di kelas pun antar siswa saling contek menjadi lumrah bahkan dianjurkan.
Sebelum ujian nasional pun siswa dibuat sibuk dengan mengikuti rangkaian tryout yang diadakan sekolah atau lembaga bimbingan belajar yang sungkan-sungkan mengakui sebagai peluang bisnis tiap tahun.
Siswa pun dipaksa untuk mengikuti istigosah, salat tahajud massal, dan belajar bersama dengan bermalam di sekolah sebagai cerminan begitu panik dan ketakutan para guru dan siswa menghadapi ujian nasional. Perilaku ini juga menggambarkan ternyata mereka tidak percaya diri dengan proses belajar mengajar yang selama tiga tahun ini dilaksanakan.
Lantas pertanyaannya apa gunanya ujian nasional kalau mendorong perilaku buruk demikian? Dilihat dari sisi ini ujian nasional telah gagal mencapai tujuan.
Pemerintah menerapkan ujian nasional karena ingin memiliki standar kualitas pendidikan secara merata. Ukuran yang dipakai adalah kemampuan mengerjakan soal pilihan ganda untuk mata pelajaran tertentu yang diujikan.
Pemerintah agaknya lebih percaya dengan hasil tes ini daripada menyerahkan kelulusan siswa kepada sejumlah Dewan Guru Sekolah seperti yang diusulkan kalangan yang kontra ujian nasional. Kelulusan diserahkan Dewan Guru mungkin dinilai tidak memiliki standar nasional dan sangat subjektif karena membuka peluang suap.
Dari serangkaian tes ujian nasional yang telah berjalan beberapa tahun ini, semestinya pemerintah memiliki peta mutu pendidikan di seluruh pelosok negeri sekaligus dapat mengambil kesimpulan apakah pendidikan di Indonesia sudah sesuai standar yang diinginkan.
Tapi persoalannya adalah standar seperti apa yang diinginkan pemerintah. Apakah standar itu hanya berupa siswa mampu mengerjakan soal standar nasional ataukah standar yang merujuk kepada kualitas produk pendidikan.
Problem pendidikan kita sebenarnya terletak pada kualitas guru dan kelengkapan sarana dan prasarana yang belum standar secara merata di seluruh negeri. Fakta yang kita temui hari ini, siswa justru menjadi lebih pintar karena peran lembaga bimbingan belajar daripada peran guru.
Kondisi gedung sekolah dan kelengkapan prasarana untuk menunjang belajar pun masih kurang terutama di kota-kota pelosok. Akibatnya siswa yang tak memiliki cukup uang untuk ikut lembaga kursus, mereka belajar secara alamiah saja.
Memperhatikan ekses negatif yang muncul akibat ujian nasional model begini kiranya perlu pemerintah memperhatikan usulan kalangan yang menyarankan diterapkan ujian regional dengan memberikan peran guru lebih besar.
Ujian nasional boleh diteruskan kalau sudah ada peningkatan profesionalitas guru dan sarana prasarana sekolah. Tanpa itu semua yang terjadi adalah ujian nasional lebih berubah sebagai pendidikan kriminal bagi guru dan siswa. (*)
.

Kenaikan BBM

NAIKNYA harga minyak dunia sebenarnya dapat menjadi berkah bagi Indonesia yang memiliki beberapa sumber minyak mentah. Tapi peluang itu malah menjadi bencana akibat kita juga pengimpor bahan bakar minyak (BBM) yang penjualannya di dalam negeri disubsidi negara.
Melonjaknya harga minyak dunia menjadikan subsidi BBM juga meningkat yang berakibat membebani APBN. Untuk mengatasi itu pilihan pemerintah mengambil keputusan menaikkan harga BBM Juni mendatang agar beban subsidi tidak terlalu besar.
Pilihan itulah yang menjadi bencana bagi rakyat sebab pasti kenaikan harga BBM diikuti naiknya harga semua barang kebutuhan.

Kenaikan harga barang bakal membuat rakyat makin sengsara karena penghasilannya makin tidak cukup untuk memenuhi hidup.
Memang kenaikan BBM itu diimbangi dengan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) plus sembako bagi orang miskin. Namun bantuan itu ibarat setetes air di tengah kehausan rakyat miskin sepanjang tahun.
Dengan alasan inilah kini demonstrasi dan suara menentang kenaikan BBM makin gencar disampaikan ke pemerintah agar membatalkan rencana itu. Namun kita lihat apakah kecaman itu bakal menggoyahkan keputusan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal peragu itu ataukah dia tetap melaksanakannya.
Kenaikan harga BBM saat ini memang dalam situasi dunia yang pelik. Bukan hanya harga minyak bumi yang naik tapi juga harga pangan melonjak tajam akibat adanya konversi tanaman menjadi bahan bakar ramah lingkungan alias biofuel. Beras, minyak goreng, dan harga sembako lain sebelumnya sudah berlomba naik.
BBM yang diperoleh dari penyulingan minyak bumi merupakan barang langka seiring dengan ekspolitasi terus menerus sehingga di masa depan harus dapat dicarikan penggantinya.
Subsidi BBM yang diberikan pemerintah sekarang ini juga lebih banyak dinikmati orang kaya. Perbandingannya 10% orang kaya menikmati 45% BBM subsidi, sementara 10% orang miskin yang menikmati BBM subsidi kurang dari 1%.
Dengan alasan inilah Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan keputusan menaikkan harga BBM dapat diterima sebab subsidi itu justru dinikmati orang kaya. Pemerintah lantas memakai uang subsidi itu langsung diberikan kepada orang miskin berupa BLT. Dengan BLT itu penghasilan rakyat miskin bertambah untuk mengimbangi kenaikan harga barang.
Menurut pertimbangan itu memang seharusnya BBM tidak perlu subsidi. Harus dijual sesuai dengan harga produksi. Kondisi itu dapat terjadi kalau pemerintah berhasil mengatasi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki sektor pertanian yang sekarang ini makin rusak padahal negara kita adalah agraris.
Pemerintah harus mampu membenahi kerusakan sektor kehidupan yang sudah salah urus ini sejak zaman Orde Baru dan makin parah ketika reformasi bergulir. Bila pilihan menaikkan harga BBM memang harus dilakukan maka pemerintah harus komitmen berusaha meningkatkan penghasilan rakyat dengan membuka peluang kerja makin besar.
Kalau pemerintah tidak mampu meningkatkan penghasilan rakyat maka saran untuk membatalkan kenaikan harga BBM dengan mengambil langkah kebijakan efisiensi dapat dilakukan. Misalnya menunda pembayaran pinjaman luar negeri, efisiensi ekspor-impor minyak mentah Indonesia dan pengenaaan pajak atas kenaikan harga minyak mentah (winffall profit tax) kepada perusahaan pemegang konsensi pengeboran.
Jangan cuma berpikir rakyat kita sudah tahan banting menghadapi situasi sulit. Buktinya kenaikan BBM sudah beberapa kali dilakukan ternyata rakyat dapat menyesuaikan hidupnya dengan baik dan ramalan para pengamat tidak terjadi. (*)
.