Selasa, 13 Mei 2008

Unas Mendorong Tindak Kriminal

Ujian nasional (Unas) yang hari ini giliran dijalani oleh siswa SMP terus menjadi polemik pro kontra. Dari pelaksanaan ujian nasional SLTA pekan lalu, kondisinya masih tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ujian nasional telah menjadi hantu yang menakutkan bagi kalangan siswa, guru dan sekolah karena khawatir tidak lulus. Akibatnya ujian nasional telah mendorong perilaku kriminal di dunia pendidikan dengan berbagai macam cara.
Sekolah yang memiliki uang berperilaku elegan dengan mengundang pembuat soal untuk memberikan pencerahan. Sekolah yang tak cukup uang dengan berani mengambil soal lantas mengerjakan dengan cepat dan hasilnya diberikan kepada siswanya. Di kelas pun antar siswa saling contek menjadi lumrah bahkan dianjurkan.
Sebelum ujian nasional pun siswa dibuat sibuk dengan mengikuti rangkaian tryout yang diadakan sekolah atau lembaga bimbingan belajar yang sungkan-sungkan mengakui sebagai peluang bisnis tiap tahun.
Siswa pun dipaksa untuk mengikuti istigosah, salat tahajud massal, dan belajar bersama dengan bermalam di sekolah sebagai cerminan begitu panik dan ketakutan para guru dan siswa menghadapi ujian nasional. Perilaku ini juga menggambarkan ternyata mereka tidak percaya diri dengan proses belajar mengajar yang selama tiga tahun ini dilaksanakan.
Lantas pertanyaannya apa gunanya ujian nasional kalau mendorong perilaku buruk demikian? Dilihat dari sisi ini ujian nasional telah gagal mencapai tujuan.
Pemerintah menerapkan ujian nasional karena ingin memiliki standar kualitas pendidikan secara merata. Ukuran yang dipakai adalah kemampuan mengerjakan soal pilihan ganda untuk mata pelajaran tertentu yang diujikan.
Pemerintah agaknya lebih percaya dengan hasil tes ini daripada menyerahkan kelulusan siswa kepada sejumlah Dewan Guru Sekolah seperti yang diusulkan kalangan yang kontra ujian nasional. Kelulusan diserahkan Dewan Guru mungkin dinilai tidak memiliki standar nasional dan sangat subjektif karena membuka peluang suap.
Dari serangkaian tes ujian nasional yang telah berjalan beberapa tahun ini, semestinya pemerintah memiliki peta mutu pendidikan di seluruh pelosok negeri sekaligus dapat mengambil kesimpulan apakah pendidikan di Indonesia sudah sesuai standar yang diinginkan.
Tapi persoalannya adalah standar seperti apa yang diinginkan pemerintah. Apakah standar itu hanya berupa siswa mampu mengerjakan soal standar nasional ataukah standar yang merujuk kepada kualitas produk pendidikan.
Problem pendidikan kita sebenarnya terletak pada kualitas guru dan kelengkapan sarana dan prasarana yang belum standar secara merata di seluruh negeri. Fakta yang kita temui hari ini, siswa justru menjadi lebih pintar karena peran lembaga bimbingan belajar daripada peran guru.
Kondisi gedung sekolah dan kelengkapan prasarana untuk menunjang belajar pun masih kurang terutama di kota-kota pelosok. Akibatnya siswa yang tak memiliki cukup uang untuk ikut lembaga kursus, mereka belajar secara alamiah saja.
Memperhatikan ekses negatif yang muncul akibat ujian nasional model begini kiranya perlu pemerintah memperhatikan usulan kalangan yang menyarankan diterapkan ujian regional dengan memberikan peran guru lebih besar.
Ujian nasional boleh diteruskan kalau sudah ada peningkatan profesionalitas guru dan sarana prasarana sekolah. Tanpa itu semua yang terjadi adalah ujian nasional lebih berubah sebagai pendidikan kriminal bagi guru dan siswa. (*)
.

Tidak ada komentar: