Rabu, 20 April 2016

MUJAHIDIN





Penyanderaan awak kapal  Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan, 26 Maret lalu, membuat kita bertanya, mungkinkah kelompok pejuang muslim atau mujahidin melakukan kejahatan itu? Abu Sayyaf adalah kelompok milisi  muslim yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa Moro di Filipina. Kelompok ini adalah pecahan dari MILF (Moro Islamic Liberation Front).
                Ketika membuka file tentang  Abu Sayyaf ternyata pembajakan kapal dan penyanderaan bukan kali pertama ini saja terjadi. Hampir sepanjang tahun mereka melakukan itu di Selat Filipina di wilayah Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Mereka memang bangsa pelaut yang menguasai perairan itu.
                Kita buka file lagi ternyata penyanderaan juga dilakukan oleh kelompok pejuang muslim di negara  lain yang sedang berjuang untuk merdeka. Misalnya kelompok Boko Haram di Afrika, ISIS di Suriah, pejuang Somalia, Taliban di Afghanistan. Mereka minta tebusan uang atas sandera itu kalau tidak dipenuhi maka sandera dihukum mati. Ada yang menyebut uang tebusan itu untuk membiayai operasional kelompok mereka.
                Mungkin ada yang berdalih bahwa sandera itu statusnya adalah tawanan perang sehingga sah saja itu dilakukan. Tapi faktanya, sandera itu diperoleh dengan cara menyerang warga sipil yang tidak terlibat dengan perang. Sandera itu bisa saja pejabat setempat, pekerja asing, turis, atau wartawan. Sangat jauh sekali sandera ini disebut sebagai tawanan perang apalagi budak.     
                Tawanan perang adalah orang yang terlibat perang yang kalah atau tertangkap. Di zaman dahulu kala status mereka sama seperti ghanimah atau harta rampasan perang. Kalau kerabatnya ingin menyelamatkan maka tawanan ini ditebus dengan sejumlah uang. Jika tidak maka statusnya menjadi budak. Tidak peduli  kedudukannya setinggi apa di masyarakatnya, ketika menjadi budak bisa diperjualbelikan di pasar budak. Semua hak sosial dan kemanusiannya lenyap.
                Perlakuan tawanan perang sebagai budak sudah lama dihapus karena tidak manusiawi. Negara-negara di dunia lewat kesepakatan PBB dalam Perjanjian Jenewa sepakat memperlakukan tawanan perang secara baik.  Ini demi penghargaan harkat martabat sebagai manusia.
                Lantas kalau kemudian ada kelompok pejuang yang menyebut berjihad demi Islam lantas merampok dan menyandera warga sipil bisakah perbuatan itu dibenarkan? Memang ada dalil tentang fa’i. Yakni perampasan harta benda orang-orang kafir yang memusuhi  Islam. Atas dasar dalil fa’i  inilah ada kelompok yang membenarkan merampok toko mas atau rumah orang kaya untuk membiayai jihad.
Kelompok ini berdalih, sekarang ini dalam situasi perang melawan pemerintah kafir dan thagut. Negara yang diatur tidak berdasar Alquran, mereka hukumi kafir dan thagut dan wajib diperangi. Karena itulah mereka membenarkan berlakunya hukum perang meskipun secara fakta negara itu dalam kondisi damai.
Kelompok pejuang ini pun melancarkan serangan secara sporadis di tempat strategis untuk mengacaukan keamanan negara. Mereka sebut ini perang gerilya sebagai taktik melawan kekuatan besar. Tapi pemerintah menyebut sebagai kelompok teroris sebab mereka menebar teror di masyarakat.
Terlepas dari dalil-dalil tadi ada baiknya kita melihat efek maslahat dan mudaharat yang ditimbulkan dari perbuatan itu. Efek maslahat dari perbuatan itu hanya dinikmati oleh kelompok itu sendiri  berupa uang tebusan atau eksistensinya yang harus diperhitungkan.  Efek mudharatnya justru lebih besar menimpah Islam dan kaum muslimin.
Dengan perbuatan itu Islam dikenal sebagai agama yang keras, radikal, dan teror.  Islamofobia makin meluas di negara kafir. Sekeras apa pun suara pembelaan bahwa kekerasan itu hanya dilakukan oleh oknum, bukan cerminan ajaran Islam yang sebenarnya tapi cap Islam sebagai agama teror telanjur  melekat. 
   Dalam Sirah Nabawi, ada situasi yang mirip-mirip seperti ini tapi harus ditelaah dengan cermat agar tidak salah tafsir. Penyebab pecah Perang Badar adalah penghadangan kafilah dagang Quraisy dari Syam yang dipimpin Abu Sufyan oleh pasukan muslim Madinah.
                Bagi saudagar Quraisy, penghadangan itu adalah perampokan. Namun bagi kelompok muslim, tindakan itu sebagai balasan atas serangan orang Quraisy terhadap ternak orang Madinah. Lebih jauh lagi, penghadangan itu juga balasan kepada kafir Quraisy atas pengusiran kaum muslimin dari Mekkah.
                Selain itu situasi antara orang Mekkah dan Madinah sejak masa hijrah memang dalam kondisi perang.  Secara sporadis antara dua kota ini sudah terjadi perang kecil hingga peristiwa penghadangan kafilah Quraisy itu  menyulut perang besar ketika kedua pihak mengerahkan pasukannya. Kasus Perang Badar tidak pas untuk membenarkan tindakan penyanderaan oleh kelompok  mujahid.
                Peristiwa yang mungkin agak cocok untuk menjelaskan perbuatan kelompok pejuang garis keras ini adalah terbentuknya kelompok Abu Bashir. Setelah perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, konsekuensinya kaum muslim Mekkah tidak bisa lagi hijrah ke Madinah. Kalau ada muhajirin yang nekat  maka Nabi Muhammad harus mengembalikan ke  Mekkah. Masalahnya mereka tidak bersedia lagi hidup di Mekkah bersama orang kafir.
Muhajirin telantar ini seperti Abu Bashir dan Abu Jandal bin Amr kemudian lari ke daerah Al Ish. Di dekat situ adalah jalur pesisir pantai tempat para kafilah berlalu lalang antara Syam dan Mekkah. Di sinilah Abu Bashir menetap dan memulai petualangannya. Untuk memenuhi hidup dia mencegat kafilah yang lewat dan merampas hartanya.
                Kabar tentang Abu Bashir sebagai perampok di jalur pesisir langsung tersebar ke mana-mana.
Abu Bashir menjadi terkenal. Orang-orang Islam Mekkah yang tidak dapat hijrah ke Madinah tertarik dengan kisah Abu Bashir.  Satu demi satu mereka pergi menuju Al Ish bergabung dengannya.
                Lambat laun kelompok Abu Bashir makin kuat. Banyak orang telantar bergabung dengan kelompok ini. Pasukannya mencapai jumlah tujuh puluh orang menjadi kelompok paling ditakuti para kafilah di jalur pesisir. Gangguan di jalur itu meresahkan pemimpin Mekkah yang bertanggung jawab atas keselamatan para kafilah.
                Pemimpin Quraisy kemudian berkirim surat kepada Rasulullah untuk melindungi para kafilah dan mengatasi orang-orang Islam yang menjadi perampok di jalur itu. Rasulullah menyanggupi dengan syarat Abu Bashir dan anggota kelompoknya dibolehkan ditarik ke Madinah.
Orang Quraisy tidak mau pusing lagi dengan Abu Bashir dan isi perjanjian Hudaibiyah. Bagi mereka yang penting jalur dagang itu aman. Maka Rasulullah mengirim utusan ke Abu Bashir.  Dia dan anggota kelompoknya diminta segera tinggal di Madinah dan mengakhiri aksinya.
                Bisa jadi kelompok Abu Sayyaf dan sejenisnya adalah orang-orang telantar yang perjuangannya tidak kunjung selesai. Solusinya adalah perundingan damai  antara semua kelompok pejuang dengan pemerintah. Seperti  perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah. (*)