Kamis, 22 Desember 2016

Semangat Baru 2017



Menginjak tahun baru 2017, setidaknya umat Islam Indonesia membawa  modal  yang bagus.  Yaitu ukhuwah Islamiyah dan ghirah mandiri. Dua modal  itu merupakan efek dari Aksi Bela Islam di Jakarta. Berkumpulnya jutaan umat Islam untuk shalat Jumat dan berdoa di Monas sungguh mengharukan karena peristiwa itu jarang terjadi.  Efek lain adalah menumbuhkan kepercayaan diri.
Terpanggilnya jutaan kaum muslim dari seluruh penjuru tanah air menunjukkan kemauan dan kekuatan umat untuk membela agamanya dari hinaan orang sangat besar. Begitu ada komando maka jutaan umat berduyun-duyun ke Jakarta dengan modal sendiri. Mereka melepaskan atribut  kelompok kemudian menyatu dalam satu kekuatan Islam.
Ketika ada halangan dari polisi yang mencegah kedatangan umat ke Jakarta dengan mengancam perusahaan bus agar tidak mengangkut mereka, umat pun tidak lantas menyerah.  Umat Islam Ciamis memutuskan berjalan kaki long march ke Monas menempuh jarak 200 km. Gerakan ini menginspirasi kota-kota lain yang akhirnya turut berjalan kaki ketika sulit mendapatkan bus. Polisi pun dibuat repot dengan aksi balasan ini.
Efek peristiwa itu juga membangkitkan kesadaran umat untuk mandiri demi menegakkan harga diri sebagai umat dan bangsa. Ghirah ini muncul tidak lepas dari situasi politik dan ekonomi  negeri yang semakin melemahkan ekonomi rakyat dan menyudutkan posisi umat Islam.
Melemahnya ekonomi rakyat karena pemerintah lebih suka berpihak kepada praktik kapitalisasi dan liberalisasi. Rakyat miskin digusur karena kumuh dapat merusak harga kawasan mewah yang dibangun lewat modal kapitalis asing.
Minimarket tanpa izin menjamur di perkampungan mematikan usaha toko pracangan. Minimarket itu simbol konglomerasi pengusaha besar yang ikut menjarah bisnis recehan.  Pemerintah tidak berani secara tegas membatasi gerak bisnis konglomerasi ini dengan alasan kebebasan berusaha.
Dipicu oleh pengumuman pabrik Sari Roti yang menyudutkan Aksi Bela Islam sehingga memunculkan gerakan boikot terhadap produk roti itu. Boikot juga melebar dengan anjuran tidak berbelanja di minimarket  keras disuarakan. Gerakan boikot ini bertujuan menyadarkan para kapiltalis bahwa pasar produk mereka  tergantung dari konsumen besar muslim.
Aksi ini berdampak positif. Pertama, memunculkan perusahaan roti  di kalangan umat untuk mengisi pasar sehingga ada pilihan produk yang berpihak kepada rakyat. Kedua, mendirikan minimarket sendiri dan menghidupkan toko dan pasar tradisional.
Memang ada suara nyinyir dan sinis mencoba melemahkan. Dikatakan, pabrik roti umat dan minimarket itu tidak bisa lepas dari menjual produk kapitalis dan konglomerat yang sudah menguasai pasar. Pada langkah pertama, ketergantungan dengan produk kapitalis memang belum bisa dielakkan.  Penguasaan pasar mereka saat ini sukar dilawan.
Setahap demi setahap dalam jangka panjang bila bisnis umat ini konsisten dan berkembang niscaya kemandirian itu bakal terwujud untuk memenuhi produk di pasar umat Islam. Setidaknya ada bargaining position dengan para kapitalis ketika produk-produk umat juga menjadi pilihan. Tentu saja semangat boikot produk kapitalis dan anjuran membeli  di toko pribumi harus terus dilantangkan.
Membangkitkan ekonomi rakyat ini bukan pilihan gampang. Sebab yang dilawan adalah kapitalis. Ibaratnya seperti  cecek nguntal dingklik, kata arek Surabaya. Apalagi pemerintah juga tidak berniat menumbuhkan pengusaha pribumi. Maka gerakan ini berhasil harus dari umat sendiri tanpa mengandalkan pemerintah.
Kita tengok saja ke belakang becermin kepada sejarah. Islam berkembang ke nusantara karena perdagangan. Melahirkan saudagar-saudagar pribumi di kawasan pesisir dan pelabuhan ketika bertemu dengan pedagang dari Timur Tengah. Bisnis yang dibentuk adalah saling menguntungkan. Maka tersebarlah penganut Islam di kalangan rakyat sekaligus menumbuhkan perekonomiannya.
Tapi pelajari sejarahnya juga, perkembangan ekonomi rakyat ini akhirnya dirusak oleh kedatangan orang-orang asing dari Eropa yang rakus ingin menguasai  kekayaan alam dan manusianya. Kapitalis asing inilah sejak masa dulu yang merusak kehidupan rakyat kita.
Sekarang kapitalis asing pun berdatangan dengan gaya ramah tamah. Bahkan mereka diundang. Namun pengalaman menunjukkan kenyataan, ketika ekonomi dikuasai mereka, bangsa pribumi hanyalah menjadi kuli dan buruh. Pemerintah tertawa-tawa bangga karena mampu membuka lowongan kerja bagi rakyatnya. Bangga rakyatnya sebagai buruh dan kuli.
Alquran menuliskan dalam surat Ali Imron : 110, kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan kepada manusia. Kalian menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran dan kalian orang yang beriman kepada Allah.
Gambaran  ideal umat Islam seperti itu pernah terjadi di zaman Rasulullah yang akhirnya menguasai jazirah Arab. Kemudian diteruskan penggantinya hingga menyebar ke separo dunia.  Menciptakan tatanan masyarakat tauhid, egaliter, makmur, dan militan.
Kemakmuran dan kekayaan pada akhirnya memang melenakan dan melemahkan militansi sehingga tatanan ini gampang dihancurkan lagi oleh kedatangan orang-orang asing dari Eropa. Umat tercerai berai  dalam kepentingan politik yang berbeda.
 Dalam situasi lemah ini posisi umat Islam menjadi serba salah. Berusaha bangkit dituduh teroris. Membangun perekonomian ditertawakan sebagai kemuskilan. Menuntut  keadilan dianggap rasialis, intoleran, dan merusak kebinekaan.
Kasus terbaru, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram memakai atribut non muslim malah dinilai pemerintah meresahkan masyarakat dan mengabaikan toleransi. Pejabat kita seperti menutup mata dikeluarkannya fatwa itu disebabkan pengusaha memaksakan buruh muslim mengenakan atribut Kristen saat perayaan natal.
Dalam situasi yang tidak menguntungkan seperti ini tidak ada kata lain selain: lawan ketidakadilan. Bila diserukan baik-baik malah dilecehkan maka pilihanya adalah revolusi. (*)