Minggu, 18 November 2007

Pahlawan dan Pengkhianat

Keputusan pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Dr Ida Anak Agung Gde Agung terus diprotes pejuang Bali. Gelar itu dinilai tidak layak karena Ida Anak Agung Gde Agung selain punya jasa pada perjalanan negara ini tapi juga menyimpan sisi gelap sebagai pengkhianat bangsa karena berpihak kepada penjajah Belanda dan menindas rakyat.
Sebutan pahlawan memang relatif tergantung dari sisi mana melihatnya. Diponegoro bagi kita adalah pahlawan namun bagi pemerintah kolonial Belanda dia pemberontak. Amrozi dan Imam Samudera menganggap dirinya mujahid tapi bagi polisi dan George W. Bush tak lebih dari kumpulan teroris.
Paulus semula adalah musuh yang kejam bagi para pengikut Yesus. Tapi setelah taubat kemudian dianggap pahlawan dan pembaharu dalam agama Kristen. Begitu juga Umar bin Khattab semula adalah musuh yang menakutkan bagi pengikut Nabi Muhammad tapi setelah taubat diakui sebagai pahlawan Islam.
Bung Tomo bagi orang Surabaya adalah pahlawan yang identik dengan 10 November tapi oleh rezim Orde Baru dia dianggap pemberontak, pembangkang, tukang kritik kebijakan Soeharto sehingga gelar pahlawan tak junjung diberikan hingga kini.
Pada peringatan Hari Pahlawan lalu pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh yaitu Mayjen TNI (Pur) dr Adnan Kapau Gani, Mayjen TNI (Pur) Prof. Dr. Moestopo, dan Brigjen TNI (Anumerta) Ignatius Slamet Rijadi dan Dr Ida Anak Agung Gde Agung.
Sebagai manusia, empat orang yang dipahlawankan oleh pemerintah ini dalam kehidupannya pasti ada sisi baik dan buruk. Namun sebagai pahlawan, sisi baik harus sangat dominan sehingga pantas dijadikan teladan dan simbol yang memberi spirit bangsa. Kalau pun punya kehidupan gelap harus tidak bertentangan dengan simbol kepahlawanan. Karena itu pahlawan yang punya kehidupan gelap yang bersifat pribadi dan tidak berpengaruh kepada kehidupan publik masih dapat ditoleran.
Dari empat pahlawan nasional baru itu hanya kepahlawanan Ida Anak Agung Gde Agung menjadi kontroversial karena pejuang Bali mengenalnya justru sebagai pengkhianat.
Pemerintah memberi gelar pahlawan kepada Ida Anak Agung Gde Agung sebatas pada jasanya pada 1948 mendirikan dan menjadi penggerak utama Pertemuan Musyawarah Federal (PMF), paguyuban negara-negara dan wilayah federal di Indonesia yang ditujukan untuk menghimpun kekuatan politik guna menanggulangi berbagai perundingan Belanda-RI.
Anak Agung Gde Agung, pada 1949 memimpin delegasi Negara Indonesia Timur dan PMF ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag, juga merupakan pemrakarsa Pertemuan Antar Indonesia untuk menyatukan presepsi unsur federal dengan pemerintah RI dalam menghadapi langkah politik lawan di Konferensi Meja Bundar.
Tapi saksi sejarah Bali menyebutkan Raja Gianyar itu orang yang memihak penjajah Belanda. Dia mendirikan Pemuda Pembela Negara yang berhadap dengan pejuang kemerdekaan di Bali. Organisasi itulah yang menangkapi pejuang, menyiksa, dan membunuh.
Dengan data-data baru itu sudah sepatutnya pemerintah mengevaluasi lagi keputusannya agar nilai pahlawan tidak menjadi cemar dan menjadi sinisme. Sebab sisi gelap Ida Anak Agung Gde Agung bertentangan dengan sifat kepahlawanan.
Pemerintah harus dapat mengungkapkan perbuatan kepahlawanan Ida Anak Agung Gde Agung itu sebagai pertaubatan di masa lalunya yang memihak penjajah ataukah sebuah sikap oportunis. Bila sikap oportunis lebih mengedepan maka tidak layak menyandang pahlawan. Sebab oportunis bertentangan dengan kepahlawanan. (*)
.

Jumat, 09 November 2007

Anggaran Demokrasi

Anggaran Pemilu 2009 dipangkas menjadi hanya Rp 10,4 triliun dari usulan semula Rp 49,7 triliun. Dengan anggaran sejumlah itu diharapkan terjadi penghematan dalam penyelenggaraan pemilu tanpa mengurangi kualitasnya.
Sejumlah efisiensi anggaran sudah dirancangkan antara lain meniadakan pengadaan kotak suara, mengurangi jumlah TPS dengan asumsi satu TPS menampung seribu pemilih, meniadakan kendaraan dinas, meniadakan anggaran keamanan, kartu pemilih, dan mengganti surat suara dengan kertas koran, serta mengubah format dari mencoblos dengan menulis nama caleg dan partai.
Dengan efisiensi ini diharapkan birokrat mengubah kebiasaan menyusun anggaran secara boros. Anggaran harus disusun berdasarkan patokan harga pasar dan barang yang sesungguhnya sehingga tidak terjadi pembengkakan harga. Sering terjadi nilai anggaran belanja negara besar tapi barang yang didapat tidak setara. Artinya angaran kita terdapat mark up atau pembengkakan. Inilah korupsi namanya yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Maka dengan pemangkasan anggaran pemilu kali ini harus benar-benar mulai diubah perilaku koruptif menyusun anggaran. Kebiasaan menghambur-hamburkan anggaran itu misalnya selalu menyediakan pengadaan barang baru padahal barang lama masih ada. Kenapa itu dilakukan? Karena dengan ada anggaran baru ada peluang untuk menikmatinya padahal itu korupsi.
Efisiensi anggaran sekaligus mengubah perilaku kita agar menjaga barang negara dengan baik meskipun itu barang sederhana yang harganya murah. Misalnya kotak suara. Sebenarnya barang itu tahan lama karena dibuat dari logam tapi di beberapa daerah banyak kotak suara yang hilang atau sengaja dilenyapkan karena tidak benar-benar dijaga untuk Pemilu berikutnya.
Selalu yang terpikir di pikiran orang adalah barang itu sudah tidak dipakai, pemilu berikutnya dapat membeli lagi. Bayangkan berapa uang dihamburkan untuk menuruti pikiran seperti itu.
Penghematan anggaran pemilu akan memaksa penyelenggaranya untuk berpikir kreatif, praktis, dan rasional. Misalnya tentang kartu pemilih yang menghabiskan dana miliaran untuk membuatnya. Padahal penduduk sudah memiliki KTP atau SIM. Bukankah lebih praktis menggunakan kartu identitas yang dimiliki penduduk itu?
Orang mempunyai KTP berarti sudah terdata dalam sistem kependudukan dan kartu itu sah dipakai untuk keperluan apa pun termasuk ikut pemilu. Dengan demikian orang tinggal datang ke TPS dengan menunjukkan KTP lalu diberi kartu suara dan mencoblos.
Banyak yang dihemat dengan cara ini. Selain tidak perlu membuat kartu pemilih juga tidak ada biaya survei.
Survei data pemilih dalam praktiknya selama ini justru menimbulkan masalah karena ternyata banyak pemilih yang tidak terdata. Survei jumlah pemilih malah tidak akurat sehingga menimbulkan protes karena warga yang tidak terdata maka tidak dibuatkan kartu pemilih sehingga hilang hak memilih. Survei pemilih yang asal-asalan selama ini telah memotong hak pilih rakyat.
Dengan memakai KTP maka semuanya bergantung kepada rakyat sendiri. Mau ikut pemilu boleh, tidak mau pakai hak pilih juga silakan. Kalau KTP mati maka segeralah memperbarui. Kalau malas memperbarui maka risiko tidak bisa memilih sudah diketahui. Dengan demikian tidak ada lagi protes karena semua berdasarkan kesadaran rakyat sendiri.
Kekhawatiran terhadap orang yang memiliki KTP ganda yang dimungkinkan berlaku curang mencoblos dua kali, itu dapat dicegah dengan tinta pemilu berkualitas baik, tidak mudah luntur menempel di jari sedikitnya selama enam jam. Karena itu proses tender pengadaan tinta harus dilakukan dengan benar jangan seperti pemilu lalu yang bermasalah karena ada kolusi.
Mencoblos gambar diganti dengan melingkari dengan pulpen juga patut diberlakukan karena selain efisiensi juga mengatasi perdebatan soal surat suara berlubang. Dalam pemilu sebelumnya selalu timbul masalah sejumlah surat suara yang sudah diterima kertasnya rusak berlubang. Akhirnya surat suara itu dimusnahkan dan diganti baru sehingga melambatkan pelaksanaan pemilu. Begitu juga kasus coblosan dobel akibat lipatan surat suara tidak dibuka sempurna bisa menjadi perselisihan tajam. Bila mencoblos gambar diganti melingkari dengan pulpen maka kertas berlubang tidak menjadi masalah lagi.
Demokrasi memang berbiaya mahal. Salah satu ukurannya adalah biaya pemilu. Tapi mahalnya biaya itu memberikan pencerahan bagi rakyat dan pemimpin negeri ini kalau semuanya dilakukan dengan benar. Bukan diniatnya sebagai proyek pemilu yang mendatangkan keuntungan untuk kantong pribadi. Apalagi kalau pemilu menghasilkan pemimpin yang dapat memakmurkan rakyat. Mahalnya anggaran pemilu menjadi tidak sia-sia. (*)
.

Senin, 05 November 2007

Memaknai Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda yang diikrarkan 79 tahun lalu perlu kembali disegarkan untuk meredam gejolak tuntutan otonomi daerah yang kini cenderung menimbulkan konflik bahkan mengarah disintegrasi.
Peristiwa pada 28 Oktober 1928 itu telah melahirkan identitas nasional Indonesia pada wilayah nusantara Hindia Belanda yang beranekaragam suku bangsa ini. Dari keragaman itu mampu disatukan untuk mencapai kemerdekaan.
Berbalik dengan peristiwa itu kecenderungan yang terjadi hari ini justru kesatuan bangsa itu mulai mengkotak-kotak lagi dengan menonjolkan primordialisme suku bangsa. Memang ini risiko perubahan politik yang kini menekankan aliranaspirasi bawah ke atas.
Reformasi yang kita jalankan memang telah mengubah sistem politik yang sentralistik menjadi demokrasi. Sudah banyak perubahan terjadi mulai pemilihan pemimpin yang langsung oleh rakyat dan pemberian otonomi daerah.
Tapi di sejumlah daerah nafsu untuk memecahkan diri dari induk kabupaten atau propinsi seperti menjadi euforia dengan banyaknya permintaan menjadi pemerintah daerah sendiri. Bila niat itu benar-benar untuk kepentingan pelayanan rakyat dapat dipahami tapi yang terjadi adalah keinginan itu adalah nafsu para elite daerah ingin mendapat kekuasaan.
Bila gejala ini terus dibiarkan dikhawatirkan yang terjadi justru kerusakan sebab beberapa di antara daerah yang ingin mandiri itu terjadi konflik antar kelompok rakyat. Apalagi beberapa pemerintah daerah baru terbukti belum dapat mandiri sepenuhnya karena sangat bergantung kepada pemerintah pusat terutama anggaran.
Karena itu permintaan pembentukan pemerintah daerah baru harus dihentikan dulu sebelum evaluasi menyeluruh. Pembentukan daerah baru selama ini malah menghabiskan anggaran dan energi untuk berkonflik.
Kita sungguh menyayangkan ikatan nasionalisme yang dibentuk semasa Orde Baru itu semu sehingga gampang terurai ketika terjadi gejolak politik. Ibarat menarik sehelai benang dari kain maka terurailah tenunan itu.
Karena itu sekarang kita perlu merajut kembali agar ikatan yang longgar itu menyatu dengan membuat nasionalisme baru yang mengikat, dengan bersikap mengedepankan kepentingan nasional. Kita harus mampu untuk mengendalikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah melenceng dari spirit dasar nasionalisme.
Memang untuk mencapai tujuan itu pemerintah pusat dan daerah harus konsisten dan konsekuen agar tidak menimbulkan saling iri. Sebab euforia primordialisme sekarang ini muncul karena selama Orde Baru, pemerintah pusat mengisap potensi ekonomi daeri daerah dan sebagian besar dipakai untuk kepentingan pusat. Daerah ditelantarkan.
Kita saatnya semuanya berikrar untuk satu bahasa yakni kemakmuran bersama. (*)
.

Spekulasi Aliran Sesat

Munculnya beberapa aliran menyimpang dari Agama Islam belakangan ini seperti Al Qiyadah Al Islamiyah dan Quran Suci memunculkan spekulasi bahwa semua itu merupakan rekayasa dari kelompok tertentu dengan target tertentu pula. Tak kurang tuduhan itu muncul dari Ketua PBNU, Hasyim Muzadi dan Said Agil Siradj serta Sekjen MUI, Ichwan Syam.

Tuduhan itu bisa benar tapi dapat juga salah. Bagi penggemar teori konspirasi tentu langsung berkesimpulan semua peristiwa itu bukan kebetulan semata tapi masih satu rangkaian dari kasus lain dalam grand design yang dibuat pihak tertentu untuk tujuan tertentu pula.
Munculnya dugaan adanya konspirasi dalam perkara aliran menyimpang ini dapat dibenarkan berdasarkan pengalaman politik di masa Orde Baru, ada fakta pihak intelijen menciptakan kelompok-kelompok ekstrem dan menyimpang untuk memberangus aktivis muslim yang mengritik pemerintah.
Komando Jihad misalnya yang dijadikan senjata Orde Baru untuk menangkapi aktivis dai dan menyudutkan gerakan militansi muslim, menurut data ternyata pimpinannya seperti Dodo Muhammad Darda (putra Kartosuwiryo), Tahmid Rahmad Basuki, juga Adah Djaelani Tirtapraja (Ma'had Al Zaitun), Rahmat Basuki (pelaku pengeboman BCA), Amir Fatah, H Ismail Pranoto, Danu Muhammad Hasan adalah binaan Ali Moertopo yang sengaja merekrut tahanan anggota DI/TII.
Kelompok radikal walaupun berbahaya tapi justru menjadi sangat mudah dikendalikan dan dapat dimainkan untuk kepentingan orang. Sebab psikologi kaum radikal adalah psikologi orang marah dan kebencian yang sangat mudah dihasut dan dibohongi lalu dijadikan pion untuk mengikuti apa saja kemauan dan arahan penyuruhnya sekaligus bisa dikorbankan dengan mudah tanpa menimbulkan kerugian yang berarti.
Setelah dibina lantas mereka dibebaskan bergerak dengan idealismenya maka muncullah peristiwa teror seperti pemboman BCA, penyerbuan kantor polisi di Cicendo, pembajakan pesawat Woyla, peledakan Borobudur. Ketika semua pelakunya ditangkap semua ketahuan mereka mantan anggota DI/TII binaan Opsus Ali Murtopo. Tapi pemerintah sudah berhasil menciptakan stigma adanya kelompok radikal Islam yang perlu dibasmi dan dapat dibenarkan orang-orang yang dicurigai harus dikejar dan ditangkap.
Tidak cukup hanya menciptakan kelompok radikal, gerakan intelijen juga masuk ke wilayah partai politik dan organisasi masyarakat untuk menempatkan orang yang mendapat restu pemerintah ataumenempatkan orang untuk mengadu domba. Tujuannya satu agar semua partai dan organisasi dalam kendali pemerintah.
Kasus Bom Bali yang melibatkan Amrozi, Ali Gufron, Ali Imron, dan Imam Samudera juga tak lepas dari praduga konspirasi pihak intelijen seperti ini. Sebab bermula dari bom itulah lantas semua aktivis muslim dikejar dan ditangkapi dengan alasan perang terhadap terorisme. Padahal ada keganjilan yang patut dipertanyakan seputar kemampuan pelakunya membuat bom sedahsyat itu.
Kali ini pihak yang dicurigai memainkan gerakan intelijen adalah Amerika Serikat (AS) yang memimpin perang anti terorisme di seluruh dunia setelah terkejut menara kembar WTC di New York runtuh. Sejak peristiwa yang dikenal sebagai 11 September (9/11) itulah AS mulai memberangus gerakan Islam radikal sekaligus menjinakkan Islam.
Maka negara yang kemudian menjadi korban adalah Afghanistan, Irak dan kini mengincar Iran.
Indonesia setelah kasus Bom Bali malah mendapatkan bantuan besar untuk pendidikan Islam baik dari AS maupun sekutunya, Australia. Pesantren, madrasah, sekolah muslim, dan LSM mendapatkan bantuan dana sangat besar untuk program memoderatkan pandangan kaum muslim. Guru dan murid sekolah Islam menikmati program muhibah setahun hidup di AS. LSM yang menyebarkan paham pluralisme agama pun disokong biaya.
Selain kegiatan-kegiatan resmi dan tampak intelek seperti itu, orang juga menduga tentu ada program tak resmi yang tak perlu tampak intelek sebagai gerakan intelijen dengan memasang orang, menggerakkan pion-pion untuk mengadu domba, membingungkan dan pendangkalan akidah umat.
Misalnya saja dengan memunculkan kelompok penganut aliran menyimpang dari Islam seperti Al Qiyadah Islamiyah atau Quran Suci. Dari penelusuran yang dilakukan Forum Umat Islam ada data sumber dana dari negara tertentu. Maka bertambahlah kecurigaan bahwa kelompok ini memang sengaja dibuat oleh pihak tertentu. Apa tujuannya? Untuk menjelekkan Islam, mengadu domba, dan mendangkalkan akidah.
Logika ini ada benarnya sebab setelah muncul kelompok menyimpang ini di masyarakat akhirnya terjadi perdebatan antara kelompok pembela yang mengatasnamakan hak asasi manusia dan penentangnya yang mendasarkan pada asasi ajaran agama. Targetnya boleh jadi adalah untuk menciptakan wacana hak orang boleh meyakini agamanya menurut tafsirannya sendiri.
Kalau merujuk sejarah, berkembangnya aliran Ahmadiyah dari Lahore, Pakistan, ternyata juga tidak lepas dari peran kolonial Inggris yang memakai pemimpin kelompok itu untuk menjinakkan dan mengadu domba kaum muslim yang memberontak.
Spekulasi lain atas munculnya aliran menyimpang adalah sekadar test case untuk rakyat menjelang Pemilu 2009. Setelah peristiwa itu dimunculkan diharapkan mendapatkan umpan balik reaksi masyarakat. Data ini diperlukan untuk menganalisis sejauh mana kestabilan masyarakat menghadapi pemilu.
Model test case seperti ini umum terjadi menjelang peristiwa besar seperti isu dukun santet di Banyuwangi menjelang reformasi. Bahkan isu hantu kolor ijo dicurigai bagian dari konspirasi intelijen.
Al Qiyadah Al Islamiyah dicurigai bagian dari rencana ini karena ada keganjilan seperti nama Ahmad Moshadeq yang tiba-tiba muncul, lalu sebagai gerakan baru tiga tahun sudah mengklaim jumlah jamaahnya banyak dan menyebar di penjuru kota. Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang punya karisma dan kapasitas kepemimpinan luar biasa atau dibantu orang tertentu yang sudah punya jaringan.

Ratu Adil
Memang tidak selalu penganut teori konspirasi benar. Sebab ada kalanya sebuah peristiwa aliran menyimpang muncul spontan, berdiri sendiri, tanpa kaitan atau rekayasa pihak lain. Namun kasus itu menjadi makin rumit ketika ditafsiri oleh pengamat lalu dikait-kaitan dengan masalah tertentu dan dipolitisasi.
Munculnya kelompok ajaran agama menyimpang dalam kaca mata sosiologi berkaitan dengan kondisi orang atau masyarakat yang merasa sengsara, terhina, baik dari segi ekonomi, sosial dan politik dan berharap ada pemimpinan luar biasa yang mampu membebaskan. Pemimpin yang ditunggu kedatangannya itulah kemudian disebut Ratu Adil, Imam Mahdi, atau Satria Piningit.
Sebetulnya ini hanya pelarian orang karena tidak mampu mengubah kondisinya untuk mendapatkan sesuatu yang ideal. Dulu Soekarno disebut-sebut juga sebagai Ratu Adil yang ditunggu-tunggu itu membebaskan rakyat dari penjajah. Soeharto berusaha membangun karisma Ratu Adil dengan sistem politik totaliternya. Dan dulu juga ada yang percaya Susilo Bambang Yudhoyono adalah Satria Piningit yang dinantikan itu untuk memimpin bangsa ini dari keterpurukan setelah reformasi. Tapi satria itu kini malah dicaci-maki, dituduh tidak tegas, dan hanya tebar pesona saja.
Melihat apa yang diajarkan Al Qiyadah Al Islamiyah boleh jadi ini sekadar ulah Ahmad Mushadeq yang setelah laku spiritual lantas mengklaim dirinya Al Mahdi. Kisahnya menjadi makin menyakinkan ketika dibalut dengan tafsir-tafsir Alquran sehingga ada rujukan pembenar.
Ajarannya yang sangat ringan menjalankan ibadah dibandingkan ajaran Islam aslinya tentu saja menarik minat orang-orang yang ingin tetap Islam tapi terbebas dari kewajiban ibadah. Mungkin boleh dikatakan pengikut kelompok ini adalah orang yang ingin tetap dianggap Islam tapi boleh tidak menjalankan salat, puasa dan haji dan Ahmad Mushadeq mampu memainkan kebutuhan itu dengan tafsir agama dan pengakuan dia sebagai rasul yang menerima wahyu Tuhan.
Jadi dengan kondisi demikian jangan dikira hanya orang awam yang bodoh saja yang mau jadi pengikutnya. Justru kaum terpelajar dan kaya banyak mengikuti karena memang tujuannya ingin bebas dari kewajiban agama. Mereka adalah orang-orang yang nyentrik.
Kondisi ini sama dengan pengikut kelompok Salamullah Lia Aminuddin yang sudah bosan melihat kekerasan dan pertikaian antar agama lantas mengaku sebagai jibril yang mengajarkan kedamaian dengan menggabungkan ritual semua agama. Di kelompok ini anggotanya mendapat kedamaian yang tidak didapatkan di dunia luar. (*)
.

Kasus Satu Calon Anggota KPU

Keberadaan Syamsul Bahri, calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), akhirnya menyulitkan posisi pemerintah. Syamsul Bahri yang lolos seleksi anggota KPU ternyata masih dalam status diperiksa Kejaksaan Negeri Malang dalam perkara korupsi pembangunan pabrik gula.
Karena status tersangka korupsi itu Syamsul lalu tidak dilantik sbagai anggota KPU dan kini Kejaksaan Negeri Malang pun tampak bersemangat memeriksa kembali dia bahkan disertai tindakan menahannya dengan alasan untuk memudahkan proses pemeriksaan.
Tak ayal sikap Kejaksaan ini menimbulkan pertanyaan. Kenapa kasus yang sudah berlangsung setahun itu baru sekarang membuat keputusan menahan Syamsul Bahri? Maka tak salahlah kalau ada yang berpendapat sekarang ini Syamsul Bahri menjadi korban politik dan korban ketidakjelasan hukum di Indonesia.
Masalah Syamsul Bahri ini menjadi batu sandungan bagi kerja pemerintah dan KPU yang dikejar waktu untuk menyelenggarakan Pemilu 2009. Dalam masalah ini dapat dirasakan ada ketidakjujuran, kerja aparat yang tidak beres, dan permainan politik.
Ketidakjujuran dilakukan oleh Syamsul Bahri yang tidak menceritakan dalam riwayat hidupnya soal status dalam pemeriksaan kejaksaan ini. Perkara ini baru mencuat ketika ada LSM yang mengungkapkan lantas Kejaksaan yang mungkin sudah melupakan kasus ini lalu mulai beraksi lagi.
Tidak tuntasnya pemeriksaan Kejaksaan atas kasus ini juga menimbulkan kecurigaan mengapa setelah pemeriksaan setahun lalu hingga sekarang tidak tuntas. Hanya satu saja tersangka yang diproses pengadilan yaitu Kepala Dinas Perkebunan sedangkan lainnya tidak jelas sampai tiba-tiba Syamsul Bahri lolos seleksi KPU.
Dari masalah ini, reformasi lembaga peradilan patut diperhatikan untuk menciptakan kejelasan hukum. Jangan sampai lembaga peradilan menjadi tempat praktik suap dan jual beli hukum sehingga banyak perkara yang tidak tuntas bahkan tiba-tiba menghilang.
Kasus Syamsul juga beraroma ada permainan politik untuk saling menjatuhkan antara pemerintah dan DPR. Pemerintah yang menerima tujuh calon anggota KPU dari panitia seleksi tetap mencantumkan Syamsul Bahri dengan alasan belum ada keputusan hukum tetap yang menguatkan dia bersalah.
DPR yang sudah mengetahui persoalan Syamsul bahkan mempersoalkan dengan sengit ternyata akhirnya tidak mencoret nama Syamsul. Meskipun pemerintah berkali-kali lobi DPR untuk mengatasi status Syamsul ini DPR tetap meloloskan. Padahal kalau DPR mau konsisten dengan suara yang selama ini dikritikkan kepada pemerintah semestinya nama Syamsul sudah harus dicoret agar tidak menimbulkan persoalan.
Tapi karena DPR tidak mau bermasalah maka nama itu diloloskan saja agar pemerintah yang membuat keputusan sendiri. Kesannya DPR mau melempar persoalan kepada eksekutif kembali. Akhirnya dengan keputusan Syamsul tidak dilantik kini menjadi perdebatan terus apakah perlu dicarikan pengganti untuk melengkapi anggota KPU menjadi tujuh orang sesuai amanat undang-undang. Semestinya soal KPU sudah tuntas dan bekerja untuk menyiapkan Pemilu.
Belajar dari kasus ini, marilah kita bekerja dengan baik dan tulus untuk negara ini. Singkirkan kepentingan politik dan saling menjatuhkan. Sebab masih banyak kerusakan negeri yang harus diperbaiki. Kalau gagal maka rusaklah kembali negeri ini. (*)
.