Anggaran Pemilu 2009 dipangkas menjadi hanya Rp 10,4 triliun dari usulan semula Rp 49,7 triliun. Dengan anggaran sejumlah itu diharapkan terjadi penghematan dalam penyelenggaraan pemilu tanpa mengurangi kualitasnya.
Sejumlah efisiensi anggaran sudah dirancangkan antara lain meniadakan pengadaan kotak suara, mengurangi jumlah TPS dengan asumsi satu TPS menampung seribu pemilih, meniadakan kendaraan dinas, meniadakan anggaran keamanan, kartu pemilih, dan mengganti surat suara dengan kertas koran, serta mengubah format dari mencoblos dengan menulis nama caleg dan partai.
Dengan efisiensi ini diharapkan birokrat mengubah kebiasaan menyusun anggaran secara boros. Anggaran harus disusun berdasarkan patokan harga pasar dan barang yang sesungguhnya sehingga tidak terjadi pembengkakan harga. Sering terjadi nilai anggaran belanja negara besar tapi barang yang didapat tidak setara. Artinya angaran kita terdapat mark up atau pembengkakan. Inilah korupsi namanya yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Maka dengan pemangkasan anggaran pemilu kali ini harus benar-benar mulai diubah perilaku koruptif menyusun anggaran. Kebiasaan menghambur-hamburkan anggaran itu misalnya selalu menyediakan pengadaan barang baru padahal barang lama masih ada. Kenapa itu dilakukan? Karena dengan ada anggaran baru ada peluang untuk menikmatinya padahal itu korupsi.
Efisiensi anggaran sekaligus mengubah perilaku kita agar menjaga barang negara dengan baik meskipun itu barang sederhana yang harganya murah. Misalnya kotak suara. Sebenarnya barang itu tahan lama karena dibuat dari logam tapi di beberapa daerah banyak kotak suara yang hilang atau sengaja dilenyapkan karena tidak benar-benar dijaga untuk Pemilu berikutnya.
Selalu yang terpikir di pikiran orang adalah barang itu sudah tidak dipakai, pemilu berikutnya dapat membeli lagi. Bayangkan berapa uang dihamburkan untuk menuruti pikiran seperti itu.
Penghematan anggaran pemilu akan memaksa penyelenggaranya untuk berpikir kreatif, praktis, dan rasional. Misalnya tentang kartu pemilih yang menghabiskan dana miliaran untuk membuatnya. Padahal penduduk sudah memiliki KTP atau SIM. Bukankah lebih praktis menggunakan kartu identitas yang dimiliki penduduk itu?
Orang mempunyai KTP berarti sudah terdata dalam sistem kependudukan dan kartu itu sah dipakai untuk keperluan apa pun termasuk ikut pemilu. Dengan demikian orang tinggal datang ke TPS dengan menunjukkan KTP lalu diberi kartu suara dan mencoblos.
Banyak yang dihemat dengan cara ini. Selain tidak perlu membuat kartu pemilih juga tidak ada biaya survei.
Survei data pemilih dalam praktiknya selama ini justru menimbulkan masalah karena ternyata banyak pemilih yang tidak terdata. Survei jumlah pemilih malah tidak akurat sehingga menimbulkan protes karena warga yang tidak terdata maka tidak dibuatkan kartu pemilih sehingga hilang hak memilih. Survei pemilih yang asal-asalan selama ini telah memotong hak pilih rakyat.
Dengan memakai KTP maka semuanya bergantung kepada rakyat sendiri. Mau ikut pemilu boleh, tidak mau pakai hak pilih juga silakan. Kalau KTP mati maka segeralah memperbarui. Kalau malas memperbarui maka risiko tidak bisa memilih sudah diketahui. Dengan demikian tidak ada lagi protes karena semua berdasarkan kesadaran rakyat sendiri.
Kekhawatiran terhadap orang yang memiliki KTP ganda yang dimungkinkan berlaku curang mencoblos dua kali, itu dapat dicegah dengan tinta pemilu berkualitas baik, tidak mudah luntur menempel di jari sedikitnya selama enam jam. Karena itu proses tender pengadaan tinta harus dilakukan dengan benar jangan seperti pemilu lalu yang bermasalah karena ada kolusi.
Mencoblos gambar diganti dengan melingkari dengan pulpen juga patut diberlakukan karena selain efisiensi juga mengatasi perdebatan soal surat suara berlubang. Dalam pemilu sebelumnya selalu timbul masalah sejumlah surat suara yang sudah diterima kertasnya rusak berlubang. Akhirnya surat suara itu dimusnahkan dan diganti baru sehingga melambatkan pelaksanaan pemilu. Begitu juga kasus coblosan dobel akibat lipatan surat suara tidak dibuka sempurna bisa menjadi perselisihan tajam. Bila mencoblos gambar diganti melingkari dengan pulpen maka kertas berlubang tidak menjadi masalah lagi.
Demokrasi memang berbiaya mahal. Salah satu ukurannya adalah biaya pemilu. Tapi mahalnya biaya itu memberikan pencerahan bagi rakyat dan pemimpin negeri ini kalau semuanya dilakukan dengan benar. Bukan diniatnya sebagai proyek pemilu yang mendatangkan keuntungan untuk kantong pribadi. Apalagi kalau pemilu menghasilkan pemimpin yang dapat memakmurkan rakyat. Mahalnya anggaran pemilu menjadi tidak sia-sia. (*).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar