Senin, 05 November 2007

Memaknai Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda yang diikrarkan 79 tahun lalu perlu kembali disegarkan untuk meredam gejolak tuntutan otonomi daerah yang kini cenderung menimbulkan konflik bahkan mengarah disintegrasi.
Peristiwa pada 28 Oktober 1928 itu telah melahirkan identitas nasional Indonesia pada wilayah nusantara Hindia Belanda yang beranekaragam suku bangsa ini. Dari keragaman itu mampu disatukan untuk mencapai kemerdekaan.
Berbalik dengan peristiwa itu kecenderungan yang terjadi hari ini justru kesatuan bangsa itu mulai mengkotak-kotak lagi dengan menonjolkan primordialisme suku bangsa. Memang ini risiko perubahan politik yang kini menekankan aliranaspirasi bawah ke atas.
Reformasi yang kita jalankan memang telah mengubah sistem politik yang sentralistik menjadi demokrasi. Sudah banyak perubahan terjadi mulai pemilihan pemimpin yang langsung oleh rakyat dan pemberian otonomi daerah.
Tapi di sejumlah daerah nafsu untuk memecahkan diri dari induk kabupaten atau propinsi seperti menjadi euforia dengan banyaknya permintaan menjadi pemerintah daerah sendiri. Bila niat itu benar-benar untuk kepentingan pelayanan rakyat dapat dipahami tapi yang terjadi adalah keinginan itu adalah nafsu para elite daerah ingin mendapat kekuasaan.
Bila gejala ini terus dibiarkan dikhawatirkan yang terjadi justru kerusakan sebab beberapa di antara daerah yang ingin mandiri itu terjadi konflik antar kelompok rakyat. Apalagi beberapa pemerintah daerah baru terbukti belum dapat mandiri sepenuhnya karena sangat bergantung kepada pemerintah pusat terutama anggaran.
Karena itu permintaan pembentukan pemerintah daerah baru harus dihentikan dulu sebelum evaluasi menyeluruh. Pembentukan daerah baru selama ini malah menghabiskan anggaran dan energi untuk berkonflik.
Kita sungguh menyayangkan ikatan nasionalisme yang dibentuk semasa Orde Baru itu semu sehingga gampang terurai ketika terjadi gejolak politik. Ibarat menarik sehelai benang dari kain maka terurailah tenunan itu.
Karena itu sekarang kita perlu merajut kembali agar ikatan yang longgar itu menyatu dengan membuat nasionalisme baru yang mengikat, dengan bersikap mengedepankan kepentingan nasional. Kita harus mampu untuk mengendalikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah melenceng dari spirit dasar nasionalisme.
Memang untuk mencapai tujuan itu pemerintah pusat dan daerah harus konsisten dan konsekuen agar tidak menimbulkan saling iri. Sebab euforia primordialisme sekarang ini muncul karena selama Orde Baru, pemerintah pusat mengisap potensi ekonomi daeri daerah dan sebagian besar dipakai untuk kepentingan pusat. Daerah ditelantarkan.
Kita saatnya semuanya berikrar untuk satu bahasa yakni kemakmuran bersama. (*)
.

Tidak ada komentar: