Minggu, 18 November 2007

Pahlawan dan Pengkhianat

Keputusan pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Dr Ida Anak Agung Gde Agung terus diprotes pejuang Bali. Gelar itu dinilai tidak layak karena Ida Anak Agung Gde Agung selain punya jasa pada perjalanan negara ini tapi juga menyimpan sisi gelap sebagai pengkhianat bangsa karena berpihak kepada penjajah Belanda dan menindas rakyat.
Sebutan pahlawan memang relatif tergantung dari sisi mana melihatnya. Diponegoro bagi kita adalah pahlawan namun bagi pemerintah kolonial Belanda dia pemberontak. Amrozi dan Imam Samudera menganggap dirinya mujahid tapi bagi polisi dan George W. Bush tak lebih dari kumpulan teroris.
Paulus semula adalah musuh yang kejam bagi para pengikut Yesus. Tapi setelah taubat kemudian dianggap pahlawan dan pembaharu dalam agama Kristen. Begitu juga Umar bin Khattab semula adalah musuh yang menakutkan bagi pengikut Nabi Muhammad tapi setelah taubat diakui sebagai pahlawan Islam.
Bung Tomo bagi orang Surabaya adalah pahlawan yang identik dengan 10 November tapi oleh rezim Orde Baru dia dianggap pemberontak, pembangkang, tukang kritik kebijakan Soeharto sehingga gelar pahlawan tak junjung diberikan hingga kini.
Pada peringatan Hari Pahlawan lalu pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh yaitu Mayjen TNI (Pur) dr Adnan Kapau Gani, Mayjen TNI (Pur) Prof. Dr. Moestopo, dan Brigjen TNI (Anumerta) Ignatius Slamet Rijadi dan Dr Ida Anak Agung Gde Agung.
Sebagai manusia, empat orang yang dipahlawankan oleh pemerintah ini dalam kehidupannya pasti ada sisi baik dan buruk. Namun sebagai pahlawan, sisi baik harus sangat dominan sehingga pantas dijadikan teladan dan simbol yang memberi spirit bangsa. Kalau pun punya kehidupan gelap harus tidak bertentangan dengan simbol kepahlawanan. Karena itu pahlawan yang punya kehidupan gelap yang bersifat pribadi dan tidak berpengaruh kepada kehidupan publik masih dapat ditoleran.
Dari empat pahlawan nasional baru itu hanya kepahlawanan Ida Anak Agung Gde Agung menjadi kontroversial karena pejuang Bali mengenalnya justru sebagai pengkhianat.
Pemerintah memberi gelar pahlawan kepada Ida Anak Agung Gde Agung sebatas pada jasanya pada 1948 mendirikan dan menjadi penggerak utama Pertemuan Musyawarah Federal (PMF), paguyuban negara-negara dan wilayah federal di Indonesia yang ditujukan untuk menghimpun kekuatan politik guna menanggulangi berbagai perundingan Belanda-RI.
Anak Agung Gde Agung, pada 1949 memimpin delegasi Negara Indonesia Timur dan PMF ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag, juga merupakan pemrakarsa Pertemuan Antar Indonesia untuk menyatukan presepsi unsur federal dengan pemerintah RI dalam menghadapi langkah politik lawan di Konferensi Meja Bundar.
Tapi saksi sejarah Bali menyebutkan Raja Gianyar itu orang yang memihak penjajah Belanda. Dia mendirikan Pemuda Pembela Negara yang berhadap dengan pejuang kemerdekaan di Bali. Organisasi itulah yang menangkapi pejuang, menyiksa, dan membunuh.
Dengan data-data baru itu sudah sepatutnya pemerintah mengevaluasi lagi keputusannya agar nilai pahlawan tidak menjadi cemar dan menjadi sinisme. Sebab sisi gelap Ida Anak Agung Gde Agung bertentangan dengan sifat kepahlawanan.
Pemerintah harus dapat mengungkapkan perbuatan kepahlawanan Ida Anak Agung Gde Agung itu sebagai pertaubatan di masa lalunya yang memihak penjajah ataukah sebuah sikap oportunis. Bila sikap oportunis lebih mengedepan maka tidak layak menyandang pahlawan. Sebab oportunis bertentangan dengan kepahlawanan. (*)
.

Tidak ada komentar: