Selasa, 20 Oktober 2015

GAYA BICARA JOKOWI



Setahun masa pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla banyak diulas pakar dan masyarakat. Kebanyakan bernada pesimistis karena beberapa janji kampanye tidak terwujud. Bahkan situasinya dinilai terus memburuk.
Paling dirasakan dampaknya oleh masyarakat adalah harga sembako, daging, dan BBM naik. Janji penyediaan lapangan kerja tidak terwujud justru yang terjadi adalah PHK massal akibat turunnya nilai rupiah terhadap dollar. Pengangguran pun bertambah sekitar 60.000 orang pada Oktober ini. Bencana asap kebakaran lahan Kalimantan dan Sumatra sampai menelan nyawa. Belum lagi janji pembangunan infrastruktur yang sangat lambat.
Pendukung Jokowi pun berkilah, setahun merupakan waktu yang pendek. Mana mungkin mewujudkan semua janji kampanye dalam tempo secepat itu? Apalagi ada faktor krisis ekonomi dunia yang memengaruhi perdagangan dan industri Indonesia.
Kita pun dapat memahami situasi itu. Namun yang tampak nyata di depan mata adalah Presiden Joko Widodo terkesan tidak mampu menjadi dirijen yang baik untuk mengendalikan irama kerja  kabinetnya menjadi suara rancak yang enak dinikmati. Justru yang terdengar adalah suara gaduh para menteri. Nada sumbang yang dimainkan anggota kabinet itu membisingkan telinga rakyat yang sudah lelah mendengar kenaikan harga barang.   
Kinerja pemerintah sebenarnya sudah dapat dibaca dari gaya bicara Jokowi. Intonasinya lambat dan selalu ada jeda lama. Jeda itu sekitar 30 detik, karena dia kesulitan menemukan kata yang ingin diucapkan. Gaya bicara  itu membuatnya tampak tidak berwibawa dan terkesan telat mikir.
                Gaya bicara bisa jadi mencerminkan kecepatan berpikir. Orang yang berbicaranya cepat, sistematis, dan jelas menunjukkan cara berpikirnya yang cepat, tangkas, dan sistematis. Sebaliknya, orang yang gaya bicaranya pelan, lama, apalagi ada jeda, menunjukkan cara berpikirnya lambat, berhati-hati, atau pelupa.
                Gaya bicara memang lebih terbentuk dari bakat. Pembawaan dari lahir. Meskipun begitu gaya bicara yang baik dapat dibentuk dari belajar. Di zaman Yunani kuno, ada sekolah berpidato, tempat para politikus senat belajar menjadi orator ulung. Dari guru-guru sekolah inilah muncul buku-buku teknik berpidato dan beragitasi.
                Rupanya Jokowi menyadari kelemahannya soal gaya bicara ini. Sebuah berita di TV pernah menayangkan seorang guru pidato menceritakan, Jokowi pernah belajar teknik berbicara kepadanya saat menjadi walikota Solo. Jadi gaya bicara Jokowi sudah banyak berubah dari masa belajar itu. Semestinya gaya yang sekarang ini sudah lebih baik dibandingkan sebelum ikut kursus berpidato di Solo.
                Pertanyaannya, adakah korelasi antara gaya berpikir Presiden Jokowi yang lambat, berjeda lama dengan cara berpikirnya?  Jawaban ini dapat dibandingkan dengan gaya bicara Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Wakil Presiden Muhammad Yusuf Kalla dan korelasinya  dengan kecepatan membuat keputusan.
                Presiden SBY dinilai pengamat mempunyai sifat peragu. Itu diukur dari pernyataan-pernyataannya terhadap suatu masalah perlu ditimbang-timbang. Dipelajari dulu dan meminta masukan. Implikasinya keputusan yang dibuat lama. Bahkan ada yang menyebut sudah basi.
Ini selaras dengan gaya bicara SBY yang berhati-hati sekali dengan intonasi datar, formal, dan kaku untuk mengesankan kewibawaan. Setiap kata yang diucapkan seolah-olah sudah dipilih untuk membangun argumentasi yang tepat. Suka mengulang kata yang dianggap penting untuk meyakinkan audiens.
                Beda dengan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang gaya bicaranya cepat, spontan, bersemangat, argumentatif, tapi santai dengan senyum. Ini terbawa kepada gaya kepemimpinannya yang cepat merespon, berpendapat, bertindak dan membuat keputusan. Tidak peduli dengan kritikan karena berani menanggung risiko.
                Presiden Jokowi sangat berbeda dari dua orang ini. Selain gaya bicaranya lambat, ada jeda panjang  juga santai, ada gurauan, enteng, kadang ndakik, kadang terkesan nglewes seperti gaya bicara orang kampung.
                Gaya ini ternyata tidak tercermin dalam pembuatan keputusan Jokowi yang cenderung cepat. Belum sebulan sejak dilantik sudah mengeluarkan dua keputusan yang kontroversial. Pertama, merilis Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera yang pernah dijanjikan saat kampanye.
Rakyat pun senang karena mendapat bantuan. Hanya politikus dan pengamat yang ribut mempertanyakan dasar hukum dan asal pembiayaannya tiga kartu sakti itu sebab nomenklaturnya tidak tercantum dalam APBN. Kartu sakti ini, menurut politikus dan pengamat, dapat dianggap menyimpang dari prosedur anggaran meskipun tujuannya baik dan tidak ada korupsi.
Para menteri yang berkaitan dengan program ini pun saling mengeluarkan pembelaan berbeda. Ada yang menyebut biayanya dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan negara, ada yang menyebut dari APBN. Dan Jokowi nglewes saja sambil tersenyum ringan.
Contoh kedua, sebulan setelah dilantik menjadi Presiden Jokowi membuat keputusan menaikkan harga BBM. Premium menjadi Rp 8.500 dan solar Rp 7.500. Keputusan tidak populer ini dengan berani dia buat karena, katanya, ingin memanfaatkan dana subsidi BBM yang sekarang menjadi Rp 746 triliun  untuk proyek produktif seperti pembangunan infrastruktur daripada habis terbakar.
Tapi kecepatan membuat keputusan menaikkan BBM ini tidak berkorelasi positif dengan gaya blusukan yang membuat citra Jokowi terkenal dan merakyat. Blusukan sebenarnya adalah metode menggali informasi langsung dari rakyat lapisan rendah. Jokowi tidak sekadar mengandalkan laporan anak buah.
Jika benar blusukan Jokowi itu untuk  mengumpulkan aspirasi rakyat, dipastikan tidak akan ada keputusan kenaikan harga BBM. Sebab semua rakyat tidak menginginkan harga BBM naik. Semua rakyat sudah paham kenaikan harga BBM membuat harga barang melambung yang membuat penghasilannya kian menyusut nilainya.
Dengan demikian gaya blusukan Jokowi kontradiktif dengan keputusan yang dibuat. Sebab keputusan harga BBM itu tidak mencerminkan aspirasi rakyat.  Tak ayal, Joko Widodo pun dituding tidak ada bedanya Jusuf Kalla dan presiden sebelumnya yang menganut ekonomi pro pasar.
                Setelah berjalan beberapa bulan dan tahu dampaknya makin menyengsarakan rakyat akhirnya pemerintah mengoreksi harga BBM dengan menurunkannya lagi. Runyamnya, harga kebutuhan pokok yang telanjur naik tidak mau turun mengikuti. Rakyat pun tetap sengsara.
                Jokowi memang populer karena penampilannya yang sederhana. Tapi menjadi presiden tidak cukup bermodal populer saja tapi juga pintar dan cakap memerintah. Karena sudah telanjur terpilih kita ikuti saja sisa empat tahun mendatang. Semoga ada perubahan yang menyenangkan. (*)

Senin, 19 Oktober 2015

POLISI TIDUR



Oleh Sugeng Purwanto



Suatu ketika Gus Dur pernah berkata, ada tiga polisi yang anti suap. Pertama, Jenderal  Hoegeng. Kedua, patung  polisi, dan ketiga, polisi tidur.
Polisi pun bakal tertawa mendengar gurauan yang agak berlebihan ini. Tapi tulisan ini tidak membahas kinerja polisi  kecuali yang disebut terakhir dalam anekdot itu. Polisi tidur atau yang sering juga dinamakan jendulan sudah lazim dipasang orang di jalan kampung,  kompleks realestat, bahkan kampus.
Sangat tidak nyaman berkendara memasuki jalan yang banyak dipasang jendulan. Apalagi kalau cara membuatnya asal menggunduk sehingga membuat kendaraan sering kejedok. Kita paham tujuannya adalah menghambat laju kendaraan, agar pengendara tidak ngebut, mencegah penghuni ditabrak.
Sebenarnya secara sosiologis,  keberadaan polisi tidur yang dipasang masyarakat  di jalan-jalan itu dapat menjelaskan gejala konflik kepentingan yang dipicu oleh perilaku suka menghadang, menghambat, dan menjegal.  Dari polisi tidur itu  bisa menerangkan kenapa perseteruan KPK-Polri belakangan ini terjadi lagi. Mengapa aparat birokrasi suka suap, atau main serobot kendaraan di  jalan raya.
Mungkin Anda meragukan hipotesis ini. Tapi  coba perhatikan. Ketika dulu jendulan belum banyak dipasang di jalan, frekuensi konflik juga rendah. Lalu semakin banyak orang membangun jendulan maka frekuensi dan intensitas konflik juga makin tinggi.
Bahkan sekarang ini pembuatan  jendulan  semakin ngawur  tanpa mempertimbangkan keamanan pengendara karena ada jalan dipasangi jendulan di setiap depan rumah. Ini menunjukkan gejala orang tidak mau lagi berempati, membayangkan perasaan orang lain, kecuali hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.
Semula niat membuat polisi tidur untuk mencegah pengendara mengebut. Sebab rambu jalan yang menganjurkan berkendara pelan-pelan  diabaikan. Bahkan rambu bernada ancaman seperti Ngebut Benjut tidak juga mempan melambatkan kendaraan.  Maka orang pun mendapat akal berupa  menghadang laju kendaraan dengan gundukan melintang di jalan.
Sukses di satu kampung, cara itu kemudian menular ke kampung lain sehingga sekarang ini mana ada kampung yang bebas dari jendulan. Bahkan ada ironi, sebuah jalan rusak parah dikeluhkan warga dan meminta pemerintah kota memperbaikinya. Setelah  pemerintah memperbaiki  jalan itu menjadi mulus, warga mengeluh lagi karena kendaraan melintas berkecepatan tinggi. Maka warga  pun memilih memasang jendulan di jalan mulus itu. Kalaulah ingin kendaraan berjalan pelan, bukankah lebih baik jalan dibiarkan rusak? Jalan rusak pasti memaksa kendaraan berjalan pelan.
Lama kelamaan cara berpikir ini sudah menginternalisasi ke diri individu menjadi sebuah pola bertindak yang memengaruhi perilakunya. Sudah menjadi watak kebiasaan. Orang secara insting akhirnya selalu berpikir untuk melambatkan laju kendaraan dengan membuat rintangan baik berupa jendulan, memasang portal,  membuntu jalan dengan terop waktu punya hajat mantu, atau  membakar ban waktu demonstrasi.
Orang sudah melupakan anjuran Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan menyingkirkan rintangan di jalan adalah sedekah.   Kini orang malah senang memasang rintangan agar mudah meminta sedekah dari pengendara dengan alasan untuk membangun masjid atau menolong korban banjir.
Di level birokrasi pemerintah, perilaku pejabat dengan menghadang setiap urusan publik sedapat mungkin dirintangi percepatannya sehingga membuka peluang tawar menawar. Maka muncullah yargon kalau urusan dapat diperlambat kenapa mesti dipercepat menjadi populer dalam budaya suap birokrasi.
Pada level politik muncullah persaingan dengan cara menghadang dan menjegal, dimulai dari tingkat bawah misalnya mencuri suara pesaing di daerah pemilihan dengan menyuap petugas penghitung. Mengganjal calon ketua partai terkuat sudah jamak dilakukan lawannya dengan membuat manuver pengurus partai kembar.
Untuk itulah dapat dipahami kalau kemudian polisi mencurigai pimpinan KPK sengaja menjegal calon Kapolri Komjen Budi Gunawan dengan dalih suap di masa lalu. Sebaliknya juga tidak sulit bagi polisi mencari-cari dalih untuk menjatuhkan posisi pimpinan KPK. Meskipun pejabat polisi selalu mengatakan kasus yang dijeratkan ke pimpinan KPK murni tindak pidana individual dan tidak berkaitan dengan kasus Komjen Budi Gunawan tapi rakyat awam pun paham dan mengerti perkara itu diada-adakan sebagai tindak balasan menjegal.
Paling gampang mengetahui perangai asli kita yang suka menghadang  itu adalah saat berlalu lintas di jalan.  Contohnya, suka membunyikan klakson agar kendaraan lain meminggir karena kita melaju cepat. Berhenti di belokan ketika lampu merah tanpa merasa bersalah padahal menghadang kendaraan yang hendak berbelok. 
Arak-arakan demonstrasi buruh yang merasa bangga dan hebat dengan kekuatannya karena mampu membuat  lalu lintas macet.  Atau konvoi pemilik motor gede yang pamer kegagahannya kepada pengendara lain yang dipaksa berjalan melambat.
Karena perilaku menghadang ini sudah diinternalisasi oleh individu kemudian menjadi perilaku jamak yang dilakukan banyak orang maka tidak berlebihan kalau disimpulkan bangsa kita mempunyai  berperilaku menghadang.  Situasi inilah yang mendorong terjadinya kegaduhan dan hiruk pikuk negeri ini tanpa henti.
Hampir-hampir susah kita mengalami situasi negeri yang tenang, menyenangkan, sepi dari  intrik dan konflik. Bahkan Presiden Joko Widodo terkesan bingung menghadapi intrik dan konflik para pejabat dan politikus di sekelilingnya karena telat berpikir dan lemah bertindak.
Kalau Jokowi benar-benar memiliki konsep revolusi mental yang pernah dia suarakan dalam kampanyenya maka inilah saatnya mengubah perilaku bangsa yang suka menghadang. Indikatornya gampang. Kalau polisi tidur menghilang di jalan-jalan perumahan maka revolusi itu berhasil. Sebaliknya kalau polisi tidur mulai dipasang di jalan protokol maka perilaku bangsa kita makin parah. (*)

ANDALUSIA


     Raja Spanyol, Witiza, curiga dengan Theodofredo Balthes, Duke of  Cordova, yang diisukan hendak memberontak. Maka diundangnya penguasa Kordoba itu ke istana di ibukota Toledo. Tapi apa yang terjadi di luar dugaan. Balthes ditangkap. Kedua matanya ditusuk besi panas lantas dia dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah.
     Putra penguasa Kordoba, Pangeran Rodrigo, tidak terima tindakan raja terhadap bapaknya. Dia kumpulkan pasukan untuk menyerang ibukota. Serangan balas dendam ini berhasil memorak-porandakan istana, menangkap Raja Witiza dan membunuhnya. Rodrigo lantas mengumumkan dirinya sebagai Raja Spanyol baru.
     Sementara keluarga Witiza meloloskan diri hingga ke selatan. Dari sini keluarga raja naik kapal menyeberang ke pesisir Afrika Utara. Mendarat ke kota Ceuta atau Sabtah, menurut lidah Arab. Ceuta, kota di ujung Afrika Utara itu masih dikuasai bangsa Goth dari Spanyol meskipun daerah sekitarnya sudah ditaklukan pasukan muslim pimpinan Musa bin Nushair dari Kekalifahan Umayah. Penguasa kota Ceuta adalah Pangeran Julian, kerabat Raja Witiza.
     Setahun setelah peristiwa itu yakni tahun 710 M, Pangeran Julian bersama keluarga Witiza mendatangi istana Gubernur Afrika Utara, Musa bin Nushair, di kota Kairwan. Kedatangan bangsawan Goth ini meminta bantuan penguasa Islam agar menyerang Spanyol untuk menurunkan Rodrigo  dan menobatkan kembali keturunan Raja Witiza.   
     Di ujung tahun, Kalifah Walid I di Damaskus menyetujui permintaan keluarga Witiza dan memerintahkan Musa bin Nushair memimpin pasukan. Maka berangkatlah pasukan besar terdiri  dari prajurit Arab dan Barbar menuju Ceuta, kota yang berada di selat sempit berseberangan dengan Spanyol.
     Puluhan kapal telah disiapkan untuk menyeberang. Pimpinan pasukan armada laut ini diserahkan kepada prajurit Barbar, Thariq bin Ziyad. Pangeran Julian dan pasukannya turut serta sebagai penunjuk jalan. Awal tahun 711, armada laut ini mendarat di pantai  berbukit batu di semenanjung Iberia itu.
     Setelah pasukan muslim menguasai pantai maka bukit batu di situ kemudian disebut  sebagai Jabal Thariq, Bukit Thariq. Orang Barat melafalkan dengan Gibraltar. Sebutan itu sebagai tanda sejarah. Di tanah itulah titik pertama pasukan muslim mendarat di benua Eropa.
     Ketika semua pasukan telah mendarat dan persiapan perang dimulai tanpa diduga Panglima Thariq memerintahkan membakar semua kapal. Saat kapal-kapal hangus terbakar, Thariq berkata lantang kepada pasukannya,”Musuh ada di depanmu, laut di belakangmu. Silakan pilih mana yang kamu suka.”
     Khutbah singkat itu menggelorakan semangat jihad pasukan muslim. Mereka  pun memilih maju menantang musuh untuk menaklukan tanah dan bangsa asing ini.  Rupanya pendaratan pasukan muslim dari Afrika Utara ini sudah tersiar di ibukota Toledo. Raja Rodrigo langsung menggalang pasukan besar untuk menghadapi perang di wilayah selatan.
     Bertemulah dua pasukan ini di Guadalete di dekat sungai Rio Barbete. Pertempuran berkecamuk seru. Bunuh membunuh. Militansi pasukan muslim yang jumlahnya kecil mampu mengatasi prajurit Spanyol hingga kocar-kacir.  Sisa prajuritnya lari menyelamatkan diri bersama Rodrigo dengan menyeberangi Rio Barbete. Namun nahas, raja yang baru berkuasa dua tahun itu malah tenggelam dan mati.
     Kemenangan ini menjadi titik penentu sejarah. Pasukan muslim terus bergerak ke utara menaklukan kota-kota  lainnya. Tak lama sesudah itu dikuasainya kota Ecija, Kordoba, dan ibukota Toledo.  Jatuhnya istana raja Spanyol di ibukota menjadikan pasukan Thariq bin Ziyad sangat gampang menguasai kota-kota berikutnya seperti  Alcala de Henares, Guadalajara. Saragosa, hingga wilayah Navarre di kaki pengunungan Pyrene.  Setelah itu pasukan menuju barat memasuki daerah Leon merebut kota Astorga, dekat Teluk Biscaye.
     Serangan pasukan muslim ini menunjukkan kekuasaan yang dibangun Raja Roderik hasil kudeta itu masih rapuh.   Prajurit  tidak sepenuh hati mendukungnya sehingga semangat tempurnya kurang. Rakyat juga apatis dengan perang ini karena beban pajak yang dikutip  sangat besar untuk mengisi kas negara.  Pengusaha dan intelektual Yahudi sebagai klas menengah di Spanyol lebih suka dengan kedatangan pasukan Islam karena ingin bebas dari diskriminasi dan penindasan rezim penguasa yang sejak Konsili Toledo memaksa warganya menganut Kristen.
     Di sisi lain, di antara penduduk Spanyol masih ada penganut Kristen Unitarian ajaran Uskup Arius yang mengesakan Allah dan menganggap Yesus adalah manusia biasa yang menjadi nabi. Kelompok ini juga ditindas penguasa yang beraliran Trinitas. Maka mereka pun menyambut pasukan muslim yang agamanya senafas dengan keyakinan mereka.
     Berita kemenangan pasukan Thariq ini membuat Gubernur Musa bin Nushair bersemangat. Dia memimpin sendiri pasukan bantuan menyeberang ke tanah Iberia tahun 712 M. Pasukannya menguasai wilayah barat seperti Carmona, Sevila, Merida, Aragon dan merebut kembali kota Guadalajara dan Saragosa.
     Anak Gubernur Musa, Abdul Aziz, yang ditempatkan di Sevila, memimpin pasukan menguasai daerah barat  seperti Nieblo, Beja, Evora, Lisboa, Santarem, Coimbro. Hingga tahun 714 semua kota besar sudah ditaklukan seperti Malaga, Granada, Murcia, Orihuela, Valencia, kepulauan Balearik, pulau Mayorca, dan Minorca
     Inilah era awal Eropa dimuslimkan dengan Abdul Aziz bin Musa dinobatkan sebagai penguasa mewakili Khalifah Walid I.  Kawasan muslim ini kelak dikenal dengan sebutan Andalusia, merujuk kepada suku Vandal, penduduk awal tanah itu. Vandaluzia berarti tanah orang Vandal lantas populer dengan sebutan Andalusia.    Di tanah inilah sinar Islam pernah menerangi Eropa.

PENUMPANG GELAP



Oleh Sugeng Purwanto
Sekjen Forum Studi Islam


Ketika gelombang hijrah penduduk muslim Mekkah kian meningkat menuju Kota Madinah, ada seorang lelaki yang keberadaannya dipersoalkan oleh kaum muhajirin. Sebab lelaki itu turut hijrah karena jatuh cinta dengan seorang janda muslim bernama Ummu Qais binti Mikhsan. Dia ngebet ingin menikahinya.
Saat kasus muhajirin gelap ini dilaporkan kepada Nabi Muhammad maka keluarlah hadits yang sangat populer hingga kini:  Sesungguhnya amal itu dengan niat. Sebenarnya setiap orang mendapatkan apa yang diniatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasulnya maka hijrahnya sampai kepada Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa berhijrah karena mencari keduniaan atau mengejar wanita yang hendak dinikahi maka hijrahnya hanya mendapatkan apa yang diniatkan.
            Penumpang gelap dalam perjuangan selalu muncul di setiap zaman. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan keuntungan pribadi dengan memanfaatkan susah payah perjuangan orang lain. Mereka adalah orang yang bersikap pragmatis dan tega memainkan sikap militan dan idealis pejuang sejati.
            Dalam sejarah Islam, Abu Sufyan bin Harb dan anaknya, Mu’awiyah, adalah penumpang gelap perjuangan. Suatu ketika musuh besar  umat muslim itu gentar menyaksikan kekuatan pasukan Nabi Muhammad yang hendak menyerang Mekkah. Tidak ada pilihan lain baginya kecuali masuk Islam supaya tetap hidup merdeka. Maka Abu Sufyan minta bantuan Abbas bin Abdul Muththalib agar mempertemukan dengan Nabi untuk bersyahadat.
            Baru selesai mengikrarkan syahadat, dia langsung meminta hak istimewa kepada Nabi agar orang Mekkah tetap hormat kepadanya meski dia muslim. Dengan berat hati Nabi berfatwa: barangsiapa masuk rumah Abu Sufyan dijamin mereka aman dari pasukan muslim yang masuk Mekkah.
            Mu’awiyah juga masuk Islam saat penaklukan Mekkah. Setelah itu kariernya terus meroket hingga ditunjuk menjadi Gubernur Syam di zaman Khalifah Usman. Negeri Syam yang budayanya lebih berwarna Rumawi memengaruhi kehidupan Mu’awiyah yang megah dan mewah. Sementara khalifah di Madinah hidup sederhana tanpa istana. Di zaman Khalifah Ali, Mu’awiyah melakukan pembangkangan hingga akhirnya dia mengangkat dirinya menjadi khalifah yang melahirkan dinasti Umayah.
            Masalah penumpang gelap juga sering dibicarakan dalam perpolitikan di Indonesia. Reformasi politik tahun 1998 gagal membawa kemakmuran negeri ini karena penumpang gelap reformasi dapat menerobos masuk. Reformasi ini berjalan setengah hati karena tidak melakukan perubahan radikal dengan menggusur orang-orang rezim Orde Baru.
Setelah Presiden Soeharto tumbang, ternyata pendukung Soeharto maupun orang yang berkhianat kepadanya tetap dipakai oleh pemerintah baru untuk menjabat menteri dengan atas nama rekonsiliasi nasional. Pemandangan lucu terjadi karena orang-orang Soeharto ini menyatakan dirinya sebagai reformis.
Hingga kini korupsi masih merajalela karena reformasi sekadar dipahami sebagai kesempatan menikmati kue kekuasaan yang tidak pernah kebagian di masa rezim Orde Baru. Dampak reformasi yang paling terasa adalah perubahan politik kekuasaan yang katanya lebih demokratis tapi kadang satu ketika membawa ke situasi anarkis.
Dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang ini juga muncul pergunjingan penumpang gelap yang bercokol menjadi menteri. Orang yang tidak ikut bersusah payah membangun tangga kekuasaan di masa kampanye pilpres tiba-tiba muncul dan menyingkirkan orang-orang partai pendukung Joko Widodo. Maka ibarat api dalam sekam, suasana pemerintahan Jokowi ini senantiasa panas dan gaduh akibat gesekan kepentingan orang partai dan penumpang gelap.
Runyamnya yang menjadi kurban adalah rakyat. Dalam setahun pemerintahan Jokowi ini rakyat belum dibuat aman tenteram menikmati hidup. Rakyat suka terkejut dengan sentakan keputusan pemerintah yang membuat harga sembako naik. Kini rakyat terkejut lagi ketika harga daging dan dollar naik, ancaman PHK di depan mata.  Pemerintah masih suka melemparkan kesalahan kepada faktor eksternal yang menjadi biang keladi.
Inilah karakter penumpang gelap. Hanya suka menikmati fasilitas hidup. Jika situasi tidak menguntungkan gampang saja meninggalkan gelanggang tanpa perlu pertanggungjawaban.
Said Hawa dalam bukunya Jundullah merumuskan revolusi dapat berjalan sesuai tujuan lewat dua tahap perjuangan. Revolusi pertama, menggulingkan kekuasaan dholim dan korup.   Setelah ini berhasil dilanjutkan dengan revolusi kedua, yaitu membasmi orang-orang munafik termasuk para penumpang gelap. Dengan tahap revolusi seperti ini maka orang-orang yang memegang amanah kekuasaan adalah mereka yang berjiwa revolusioner. Jiwa perubahan menuju perbaikan.
Itulah esensi makna hijrah yakni pergerakan, perubahan. Pergerakan dari kegelapan menuju cahaya terang.   Perubahan dari keterpurukan menuju kebangkitan. Pergerakan dari kehinaan sampai tegaknya kemuliaan. Kemiskinan hingga mencapai kemakmuran. Dari kebakilan menuju kedermawanan.
Hijrah Rasulullah yang membawa umat muslim dari Mekkah menuju Madinah telah berhasil mewujudkan tujuan revolusi itu. Dari masyarakat yang tidak berdaya akhirnya mampu membangun kekuatan mengalahkan kekuasaan penindas. Setelah itu menyingkirkan para munafik yang mendompleng menikmati kemenangan revolusi ini. Dengan kekuatan generasi baru yang militan dan bersih, misi ajaran Islam menyebar ke seluruh negeri membawa kedamaian dan kemakmuran.
Generasi baru yang dibentuk Rasulullah adalah meleburkan kaum muhajirin dan anshar menjadi kesatuan masyarakat yang egaliter berdasarkan Islam. Masyarakat tanpa membedakan ras, keturunan, warna kulit, kaya dan miskin.  Tatanan baru ini menjadi kekuatan besar yang mampu mengubah wajah dunia.
Di negeri kita sekarang, pemimpin memaparkan janji untuk mendapat suara rakyat. Ketika kekuasaan sudah diraih, perubahan menuju kemakmuran yang ditawarkan belum pernah lewat.  Rupanya rakyat harus berangkat hijrah sendiri untuk mengubah nasibnya yang terpuruk tanpa mengandalkan pemimpin negeri ini.