Senin, 19 Oktober 2015

PENUMPANG GELAP



Oleh Sugeng Purwanto
Sekjen Forum Studi Islam


Ketika gelombang hijrah penduduk muslim Mekkah kian meningkat menuju Kota Madinah, ada seorang lelaki yang keberadaannya dipersoalkan oleh kaum muhajirin. Sebab lelaki itu turut hijrah karena jatuh cinta dengan seorang janda muslim bernama Ummu Qais binti Mikhsan. Dia ngebet ingin menikahinya.
Saat kasus muhajirin gelap ini dilaporkan kepada Nabi Muhammad maka keluarlah hadits yang sangat populer hingga kini:  Sesungguhnya amal itu dengan niat. Sebenarnya setiap orang mendapatkan apa yang diniatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasulnya maka hijrahnya sampai kepada Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa berhijrah karena mencari keduniaan atau mengejar wanita yang hendak dinikahi maka hijrahnya hanya mendapatkan apa yang diniatkan.
            Penumpang gelap dalam perjuangan selalu muncul di setiap zaman. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan keuntungan pribadi dengan memanfaatkan susah payah perjuangan orang lain. Mereka adalah orang yang bersikap pragmatis dan tega memainkan sikap militan dan idealis pejuang sejati.
            Dalam sejarah Islam, Abu Sufyan bin Harb dan anaknya, Mu’awiyah, adalah penumpang gelap perjuangan. Suatu ketika musuh besar  umat muslim itu gentar menyaksikan kekuatan pasukan Nabi Muhammad yang hendak menyerang Mekkah. Tidak ada pilihan lain baginya kecuali masuk Islam supaya tetap hidup merdeka. Maka Abu Sufyan minta bantuan Abbas bin Abdul Muththalib agar mempertemukan dengan Nabi untuk bersyahadat.
            Baru selesai mengikrarkan syahadat, dia langsung meminta hak istimewa kepada Nabi agar orang Mekkah tetap hormat kepadanya meski dia muslim. Dengan berat hati Nabi berfatwa: barangsiapa masuk rumah Abu Sufyan dijamin mereka aman dari pasukan muslim yang masuk Mekkah.
            Mu’awiyah juga masuk Islam saat penaklukan Mekkah. Setelah itu kariernya terus meroket hingga ditunjuk menjadi Gubernur Syam di zaman Khalifah Usman. Negeri Syam yang budayanya lebih berwarna Rumawi memengaruhi kehidupan Mu’awiyah yang megah dan mewah. Sementara khalifah di Madinah hidup sederhana tanpa istana. Di zaman Khalifah Ali, Mu’awiyah melakukan pembangkangan hingga akhirnya dia mengangkat dirinya menjadi khalifah yang melahirkan dinasti Umayah.
            Masalah penumpang gelap juga sering dibicarakan dalam perpolitikan di Indonesia. Reformasi politik tahun 1998 gagal membawa kemakmuran negeri ini karena penumpang gelap reformasi dapat menerobos masuk. Reformasi ini berjalan setengah hati karena tidak melakukan perubahan radikal dengan menggusur orang-orang rezim Orde Baru.
Setelah Presiden Soeharto tumbang, ternyata pendukung Soeharto maupun orang yang berkhianat kepadanya tetap dipakai oleh pemerintah baru untuk menjabat menteri dengan atas nama rekonsiliasi nasional. Pemandangan lucu terjadi karena orang-orang Soeharto ini menyatakan dirinya sebagai reformis.
Hingga kini korupsi masih merajalela karena reformasi sekadar dipahami sebagai kesempatan menikmati kue kekuasaan yang tidak pernah kebagian di masa rezim Orde Baru. Dampak reformasi yang paling terasa adalah perubahan politik kekuasaan yang katanya lebih demokratis tapi kadang satu ketika membawa ke situasi anarkis.
Dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang ini juga muncul pergunjingan penumpang gelap yang bercokol menjadi menteri. Orang yang tidak ikut bersusah payah membangun tangga kekuasaan di masa kampanye pilpres tiba-tiba muncul dan menyingkirkan orang-orang partai pendukung Joko Widodo. Maka ibarat api dalam sekam, suasana pemerintahan Jokowi ini senantiasa panas dan gaduh akibat gesekan kepentingan orang partai dan penumpang gelap.
Runyamnya yang menjadi kurban adalah rakyat. Dalam setahun pemerintahan Jokowi ini rakyat belum dibuat aman tenteram menikmati hidup. Rakyat suka terkejut dengan sentakan keputusan pemerintah yang membuat harga sembako naik. Kini rakyat terkejut lagi ketika harga daging dan dollar naik, ancaman PHK di depan mata.  Pemerintah masih suka melemparkan kesalahan kepada faktor eksternal yang menjadi biang keladi.
Inilah karakter penumpang gelap. Hanya suka menikmati fasilitas hidup. Jika situasi tidak menguntungkan gampang saja meninggalkan gelanggang tanpa perlu pertanggungjawaban.
Said Hawa dalam bukunya Jundullah merumuskan revolusi dapat berjalan sesuai tujuan lewat dua tahap perjuangan. Revolusi pertama, menggulingkan kekuasaan dholim dan korup.   Setelah ini berhasil dilanjutkan dengan revolusi kedua, yaitu membasmi orang-orang munafik termasuk para penumpang gelap. Dengan tahap revolusi seperti ini maka orang-orang yang memegang amanah kekuasaan adalah mereka yang berjiwa revolusioner. Jiwa perubahan menuju perbaikan.
Itulah esensi makna hijrah yakni pergerakan, perubahan. Pergerakan dari kegelapan menuju cahaya terang.   Perubahan dari keterpurukan menuju kebangkitan. Pergerakan dari kehinaan sampai tegaknya kemuliaan. Kemiskinan hingga mencapai kemakmuran. Dari kebakilan menuju kedermawanan.
Hijrah Rasulullah yang membawa umat muslim dari Mekkah menuju Madinah telah berhasil mewujudkan tujuan revolusi itu. Dari masyarakat yang tidak berdaya akhirnya mampu membangun kekuatan mengalahkan kekuasaan penindas. Setelah itu menyingkirkan para munafik yang mendompleng menikmati kemenangan revolusi ini. Dengan kekuatan generasi baru yang militan dan bersih, misi ajaran Islam menyebar ke seluruh negeri membawa kedamaian dan kemakmuran.
Generasi baru yang dibentuk Rasulullah adalah meleburkan kaum muhajirin dan anshar menjadi kesatuan masyarakat yang egaliter berdasarkan Islam. Masyarakat tanpa membedakan ras, keturunan, warna kulit, kaya dan miskin.  Tatanan baru ini menjadi kekuatan besar yang mampu mengubah wajah dunia.
Di negeri kita sekarang, pemimpin memaparkan janji untuk mendapat suara rakyat. Ketika kekuasaan sudah diraih, perubahan menuju kemakmuran yang ditawarkan belum pernah lewat.  Rupanya rakyat harus berangkat hijrah sendiri untuk mengubah nasibnya yang terpuruk tanpa mengandalkan pemimpin negeri ini.

Tidak ada komentar: