Oleh Sugeng Purwanto
Sekjen Forum Studi Islam
Ketika gelombang hijrah penduduk
muslim Mekkah kian meningkat menuju Kota Madinah, ada seorang lelaki yang
keberadaannya dipersoalkan oleh kaum muhajirin. Sebab lelaki itu turut hijrah karena
jatuh cinta dengan seorang janda muslim bernama Ummu Qais binti Mikhsan. Dia
ngebet ingin menikahinya.
Saat kasus muhajirin gelap ini
dilaporkan kepada Nabi Muhammad maka keluarlah hadits yang sangat populer
hingga kini: Sesungguhnya amal itu dengan
niat. Sebenarnya setiap orang mendapatkan apa yang diniatkan. Barangsiapa
berhijrah karena Allah dan Rasulnya maka hijrahnya sampai kepada Allah dan
Rasulnya. Dan barangsiapa berhijrah karena mencari keduniaan atau mengejar wanita
yang hendak dinikahi maka hijrahnya hanya mendapatkan apa yang diniatkan.
Penumpang gelap dalam perjuangan selalu
muncul di setiap zaman. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan keuntungan
pribadi dengan memanfaatkan susah payah perjuangan orang lain. Mereka adalah orang
yang bersikap pragmatis dan tega memainkan sikap militan dan idealis pejuang
sejati.
Dalam sejarah Islam, Abu Sufyan bin
Harb dan anaknya, Mu’awiyah, adalah penumpang gelap perjuangan. Suatu ketika musuh
besar umat muslim itu gentar menyaksikan
kekuatan pasukan Nabi Muhammad yang hendak menyerang Mekkah. Tidak ada pilihan
lain baginya kecuali masuk Islam supaya tetap hidup merdeka. Maka Abu Sufyan
minta bantuan Abbas bin Abdul Muththalib agar mempertemukan dengan Nabi untuk
bersyahadat.
Baru selesai mengikrarkan syahadat, dia
langsung meminta hak istimewa kepada Nabi agar orang Mekkah tetap hormat
kepadanya meski dia muslim. Dengan berat hati Nabi berfatwa: barangsiapa masuk
rumah Abu Sufyan dijamin mereka aman dari pasukan muslim yang masuk Mekkah.
Mu’awiyah juga masuk Islam saat
penaklukan Mekkah. Setelah itu kariernya terus meroket hingga ditunjuk menjadi
Gubernur Syam di zaman Khalifah Usman. Negeri Syam yang budayanya lebih
berwarna Rumawi memengaruhi kehidupan Mu’awiyah yang megah dan mewah. Sementara
khalifah di Madinah hidup sederhana tanpa istana. Di zaman Khalifah Ali,
Mu’awiyah melakukan pembangkangan hingga akhirnya dia mengangkat dirinya
menjadi khalifah yang melahirkan dinasti Umayah.
Masalah penumpang gelap juga sering
dibicarakan dalam perpolitikan di Indonesia. Reformasi politik tahun 1998 gagal
membawa kemakmuran negeri ini karena penumpang gelap reformasi dapat menerobos
masuk. Reformasi ini berjalan setengah hati karena tidak melakukan perubahan
radikal dengan menggusur orang-orang rezim Orde Baru.
Setelah Presiden Soeharto tumbang,
ternyata pendukung Soeharto maupun orang yang berkhianat kepadanya tetap
dipakai oleh pemerintah baru untuk menjabat menteri dengan atas nama
rekonsiliasi nasional. Pemandangan lucu terjadi karena orang-orang Soeharto ini
menyatakan dirinya sebagai reformis.
Hingga kini korupsi masih merajalela
karena reformasi sekadar dipahami sebagai kesempatan menikmati kue kekuasaan
yang tidak pernah kebagian di masa rezim Orde Baru. Dampak reformasi yang
paling terasa adalah perubahan politik kekuasaan yang katanya lebih demokratis
tapi kadang satu ketika membawa ke situasi anarkis.
Dalam masa pemerintahan Presiden Joko
Widodo sekarang ini juga muncul pergunjingan penumpang gelap yang bercokol
menjadi menteri. Orang yang tidak ikut bersusah payah membangun tangga
kekuasaan di masa kampanye pilpres tiba-tiba muncul dan menyingkirkan
orang-orang partai pendukung Joko Widodo. Maka ibarat api dalam sekam, suasana
pemerintahan Jokowi ini senantiasa panas dan gaduh akibat gesekan kepentingan
orang partai dan penumpang gelap.
Runyamnya yang menjadi kurban adalah
rakyat. Dalam setahun pemerintahan Jokowi ini rakyat belum dibuat aman tenteram
menikmati hidup. Rakyat suka terkejut dengan sentakan keputusan pemerintah yang
membuat harga sembako naik. Kini rakyat terkejut lagi ketika harga daging dan
dollar naik, ancaman PHK di depan mata.
Pemerintah masih suka melemparkan kesalahan kepada faktor eksternal yang
menjadi biang keladi.
Inilah karakter penumpang gelap. Hanya
suka menikmati fasilitas hidup. Jika situasi tidak menguntungkan gampang saja
meninggalkan gelanggang tanpa perlu pertanggungjawaban.
Said Hawa dalam bukunya Jundullah
merumuskan revolusi dapat berjalan sesuai tujuan lewat dua tahap perjuangan. Revolusi
pertama, menggulingkan kekuasaan dholim dan korup. Setelah ini berhasil dilanjutkan dengan revolusi
kedua, yaitu membasmi orang-orang munafik termasuk para penumpang gelap. Dengan
tahap revolusi seperti ini maka orang-orang yang memegang amanah kekuasaan
adalah mereka yang berjiwa revolusioner. Jiwa perubahan menuju perbaikan.
Itulah esensi makna hijrah yakni
pergerakan, perubahan. Pergerakan dari kegelapan menuju cahaya terang. Perubahan dari keterpurukan menuju
kebangkitan. Pergerakan dari kehinaan sampai tegaknya kemuliaan. Kemiskinan
hingga mencapai kemakmuran. Dari kebakilan menuju kedermawanan.
Hijrah Rasulullah yang membawa umat
muslim dari Mekkah menuju Madinah telah berhasil mewujudkan tujuan revolusi itu.
Dari masyarakat yang tidak berdaya akhirnya mampu membangun kekuatan
mengalahkan kekuasaan penindas. Setelah itu menyingkirkan para munafik yang
mendompleng menikmati kemenangan revolusi ini. Dengan kekuatan generasi baru
yang militan dan bersih, misi ajaran Islam menyebar ke seluruh negeri membawa
kedamaian dan kemakmuran.
Generasi baru yang dibentuk Rasulullah
adalah meleburkan kaum muhajirin dan anshar menjadi kesatuan masyarakat yang
egaliter berdasarkan Islam. Masyarakat tanpa
membedakan ras, keturunan, warna kulit, kaya dan miskin. Tatanan baru ini menjadi kekuatan besar yang
mampu mengubah wajah dunia.
Di negeri kita sekarang,
pemimpin memaparkan janji untuk mendapat suara rakyat. Ketika kekuasaan sudah
diraih, perubahan menuju kemakmuran yang ditawarkan belum pernah lewat. Rupanya rakyat harus berangkat hijrah sendiri
untuk mengubah nasibnya yang terpuruk tanpa mengandalkan pemimpin negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar