Selasa, 20 Oktober 2015

GAYA BICARA JOKOWI



Setahun masa pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla banyak diulas pakar dan masyarakat. Kebanyakan bernada pesimistis karena beberapa janji kampanye tidak terwujud. Bahkan situasinya dinilai terus memburuk.
Paling dirasakan dampaknya oleh masyarakat adalah harga sembako, daging, dan BBM naik. Janji penyediaan lapangan kerja tidak terwujud justru yang terjadi adalah PHK massal akibat turunnya nilai rupiah terhadap dollar. Pengangguran pun bertambah sekitar 60.000 orang pada Oktober ini. Bencana asap kebakaran lahan Kalimantan dan Sumatra sampai menelan nyawa. Belum lagi janji pembangunan infrastruktur yang sangat lambat.
Pendukung Jokowi pun berkilah, setahun merupakan waktu yang pendek. Mana mungkin mewujudkan semua janji kampanye dalam tempo secepat itu? Apalagi ada faktor krisis ekonomi dunia yang memengaruhi perdagangan dan industri Indonesia.
Kita pun dapat memahami situasi itu. Namun yang tampak nyata di depan mata adalah Presiden Joko Widodo terkesan tidak mampu menjadi dirijen yang baik untuk mengendalikan irama kerja  kabinetnya menjadi suara rancak yang enak dinikmati. Justru yang terdengar adalah suara gaduh para menteri. Nada sumbang yang dimainkan anggota kabinet itu membisingkan telinga rakyat yang sudah lelah mendengar kenaikan harga barang.   
Kinerja pemerintah sebenarnya sudah dapat dibaca dari gaya bicara Jokowi. Intonasinya lambat dan selalu ada jeda lama. Jeda itu sekitar 30 detik, karena dia kesulitan menemukan kata yang ingin diucapkan. Gaya bicara  itu membuatnya tampak tidak berwibawa dan terkesan telat mikir.
                Gaya bicara bisa jadi mencerminkan kecepatan berpikir. Orang yang berbicaranya cepat, sistematis, dan jelas menunjukkan cara berpikirnya yang cepat, tangkas, dan sistematis. Sebaliknya, orang yang gaya bicaranya pelan, lama, apalagi ada jeda, menunjukkan cara berpikirnya lambat, berhati-hati, atau pelupa.
                Gaya bicara memang lebih terbentuk dari bakat. Pembawaan dari lahir. Meskipun begitu gaya bicara yang baik dapat dibentuk dari belajar. Di zaman Yunani kuno, ada sekolah berpidato, tempat para politikus senat belajar menjadi orator ulung. Dari guru-guru sekolah inilah muncul buku-buku teknik berpidato dan beragitasi.
                Rupanya Jokowi menyadari kelemahannya soal gaya bicara ini. Sebuah berita di TV pernah menayangkan seorang guru pidato menceritakan, Jokowi pernah belajar teknik berbicara kepadanya saat menjadi walikota Solo. Jadi gaya bicara Jokowi sudah banyak berubah dari masa belajar itu. Semestinya gaya yang sekarang ini sudah lebih baik dibandingkan sebelum ikut kursus berpidato di Solo.
                Pertanyaannya, adakah korelasi antara gaya berpikir Presiden Jokowi yang lambat, berjeda lama dengan cara berpikirnya?  Jawaban ini dapat dibandingkan dengan gaya bicara Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Wakil Presiden Muhammad Yusuf Kalla dan korelasinya  dengan kecepatan membuat keputusan.
                Presiden SBY dinilai pengamat mempunyai sifat peragu. Itu diukur dari pernyataan-pernyataannya terhadap suatu masalah perlu ditimbang-timbang. Dipelajari dulu dan meminta masukan. Implikasinya keputusan yang dibuat lama. Bahkan ada yang menyebut sudah basi.
Ini selaras dengan gaya bicara SBY yang berhati-hati sekali dengan intonasi datar, formal, dan kaku untuk mengesankan kewibawaan. Setiap kata yang diucapkan seolah-olah sudah dipilih untuk membangun argumentasi yang tepat. Suka mengulang kata yang dianggap penting untuk meyakinkan audiens.
                Beda dengan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang gaya bicaranya cepat, spontan, bersemangat, argumentatif, tapi santai dengan senyum. Ini terbawa kepada gaya kepemimpinannya yang cepat merespon, berpendapat, bertindak dan membuat keputusan. Tidak peduli dengan kritikan karena berani menanggung risiko.
                Presiden Jokowi sangat berbeda dari dua orang ini. Selain gaya bicaranya lambat, ada jeda panjang  juga santai, ada gurauan, enteng, kadang ndakik, kadang terkesan nglewes seperti gaya bicara orang kampung.
                Gaya ini ternyata tidak tercermin dalam pembuatan keputusan Jokowi yang cenderung cepat. Belum sebulan sejak dilantik sudah mengeluarkan dua keputusan yang kontroversial. Pertama, merilis Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera yang pernah dijanjikan saat kampanye.
Rakyat pun senang karena mendapat bantuan. Hanya politikus dan pengamat yang ribut mempertanyakan dasar hukum dan asal pembiayaannya tiga kartu sakti itu sebab nomenklaturnya tidak tercantum dalam APBN. Kartu sakti ini, menurut politikus dan pengamat, dapat dianggap menyimpang dari prosedur anggaran meskipun tujuannya baik dan tidak ada korupsi.
Para menteri yang berkaitan dengan program ini pun saling mengeluarkan pembelaan berbeda. Ada yang menyebut biayanya dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan negara, ada yang menyebut dari APBN. Dan Jokowi nglewes saja sambil tersenyum ringan.
Contoh kedua, sebulan setelah dilantik menjadi Presiden Jokowi membuat keputusan menaikkan harga BBM. Premium menjadi Rp 8.500 dan solar Rp 7.500. Keputusan tidak populer ini dengan berani dia buat karena, katanya, ingin memanfaatkan dana subsidi BBM yang sekarang menjadi Rp 746 triliun  untuk proyek produktif seperti pembangunan infrastruktur daripada habis terbakar.
Tapi kecepatan membuat keputusan menaikkan BBM ini tidak berkorelasi positif dengan gaya blusukan yang membuat citra Jokowi terkenal dan merakyat. Blusukan sebenarnya adalah metode menggali informasi langsung dari rakyat lapisan rendah. Jokowi tidak sekadar mengandalkan laporan anak buah.
Jika benar blusukan Jokowi itu untuk  mengumpulkan aspirasi rakyat, dipastikan tidak akan ada keputusan kenaikan harga BBM. Sebab semua rakyat tidak menginginkan harga BBM naik. Semua rakyat sudah paham kenaikan harga BBM membuat harga barang melambung yang membuat penghasilannya kian menyusut nilainya.
Dengan demikian gaya blusukan Jokowi kontradiktif dengan keputusan yang dibuat. Sebab keputusan harga BBM itu tidak mencerminkan aspirasi rakyat.  Tak ayal, Joko Widodo pun dituding tidak ada bedanya Jusuf Kalla dan presiden sebelumnya yang menganut ekonomi pro pasar.
                Setelah berjalan beberapa bulan dan tahu dampaknya makin menyengsarakan rakyat akhirnya pemerintah mengoreksi harga BBM dengan menurunkannya lagi. Runyamnya, harga kebutuhan pokok yang telanjur naik tidak mau turun mengikuti. Rakyat pun tetap sengsara.
                Jokowi memang populer karena penampilannya yang sederhana. Tapi menjadi presiden tidak cukup bermodal populer saja tapi juga pintar dan cakap memerintah. Karena sudah telanjur terpilih kita ikuti saja sisa empat tahun mendatang. Semoga ada perubahan yang menyenangkan. (*)

Tidak ada komentar: