Raja Spanyol, Witiza, curiga dengan Theodofredo Balthes, Duke of Cordova, yang diisukan hendak memberontak. Maka diundangnya penguasa Kordoba itu ke istana di ibukota Toledo. Tapi apa yang terjadi di luar dugaan. Balthes ditangkap. Kedua matanya ditusuk besi panas lantas dia dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah.
Putra penguasa Kordoba, Pangeran Rodrigo,
tidak terima tindakan raja terhadap bapaknya. Dia kumpulkan pasukan untuk menyerang
ibukota. Serangan balas dendam ini berhasil memorak-porandakan istana,
menangkap Raja Witiza dan membunuhnya. Rodrigo lantas mengumumkan dirinya
sebagai Raja Spanyol baru.
Sementara keluarga Witiza meloloskan diri
hingga ke selatan. Dari sini keluarga raja naik kapal menyeberang ke pesisir
Afrika Utara. Mendarat ke kota Ceuta atau Sabtah, menurut lidah Arab. Ceuta,
kota di ujung Afrika Utara itu masih dikuasai bangsa Goth dari Spanyol meskipun
daerah sekitarnya sudah ditaklukan pasukan muslim pimpinan Musa bin Nushair
dari Kekalifahan Umayah. Penguasa kota Ceuta adalah Pangeran Julian, kerabat
Raja Witiza.
Setahun setelah peristiwa itu yakni tahun
710 M, Pangeran Julian bersama keluarga Witiza mendatangi istana Gubernur
Afrika Utara, Musa bin Nushair, di kota Kairwan. Kedatangan bangsawan Goth ini
meminta bantuan penguasa Islam agar menyerang Spanyol untuk menurunkan Rodrigo dan menobatkan kembali keturunan Raja Witiza.
Di ujung tahun, Kalifah Walid I di Damaskus
menyetujui permintaan keluarga Witiza dan memerintahkan Musa bin Nushair memimpin
pasukan. Maka berangkatlah pasukan besar terdiri dari prajurit Arab dan Barbar menuju Ceuta,
kota yang berada di selat sempit berseberangan dengan Spanyol.
Puluhan kapal telah disiapkan untuk
menyeberang. Pimpinan pasukan armada laut ini diserahkan kepada prajurit Barbar,
Thariq bin Ziyad. Pangeran Julian dan pasukannya turut serta sebagai penunjuk
jalan. Awal tahun 711, armada laut ini mendarat di pantai berbukit batu di semenanjung Iberia itu.
Setelah pasukan muslim menguasai pantai
maka bukit batu di situ kemudian disebut
sebagai Jabal Thariq, Bukit Thariq. Orang Barat melafalkan dengan
Gibraltar. Sebutan itu sebagai tanda sejarah. Di tanah itulah titik pertama
pasukan muslim mendarat di benua Eropa.
Ketika semua pasukan telah mendarat dan
persiapan perang dimulai tanpa diduga Panglima Thariq memerintahkan membakar semua
kapal. Saat kapal-kapal hangus terbakar, Thariq berkata lantang kepada
pasukannya,”Musuh ada di depanmu, laut di belakangmu. Silakan pilih mana yang
kamu suka.”
Khutbah singkat itu menggelorakan semangat
jihad pasukan muslim. Mereka pun memilih
maju menantang musuh untuk menaklukan tanah dan bangsa asing ini. Rupanya pendaratan pasukan muslim dari Afrika
Utara ini sudah tersiar di ibukota Toledo. Raja Rodrigo langsung menggalang
pasukan besar untuk menghadapi perang di wilayah selatan.
Bertemulah dua pasukan ini di Guadalete di
dekat sungai Rio Barbete. Pertempuran berkecamuk seru. Bunuh membunuh.
Militansi pasukan muslim yang jumlahnya kecil mampu mengatasi prajurit Spanyol
hingga kocar-kacir. Sisa prajuritnya
lari menyelamatkan diri bersama Rodrigo dengan menyeberangi Rio Barbete. Namun
nahas, raja yang baru berkuasa dua tahun itu malah tenggelam dan mati.
Kemenangan ini menjadi titik penentu
sejarah. Pasukan muslim terus bergerak ke utara menaklukan kota-kota lainnya. Tak lama sesudah itu dikuasainya kota
Ecija, Kordoba, dan ibukota Toledo.
Jatuhnya istana raja Spanyol di ibukota menjadikan pasukan Thariq bin
Ziyad sangat gampang menguasai kota-kota berikutnya seperti Alcala de Henares, Guadalajara. Saragosa,
hingga wilayah Navarre di kaki pengunungan Pyrene. Setelah itu pasukan menuju barat memasuki
daerah Leon merebut kota Astorga, dekat Teluk Biscaye.
Serangan pasukan muslim ini menunjukkan
kekuasaan yang dibangun Raja Roderik hasil kudeta itu masih rapuh. Prajurit tidak sepenuh hati mendukungnya sehingga
semangat tempurnya kurang. Rakyat juga apatis dengan perang ini karena beban
pajak yang dikutip sangat besar untuk
mengisi kas negara. Pengusaha dan
intelektual Yahudi sebagai klas menengah di Spanyol lebih suka dengan
kedatangan pasukan Islam karena ingin bebas dari diskriminasi dan penindasan
rezim penguasa yang sejak Konsili Toledo memaksa warganya menganut Kristen.
Di sisi lain, di antara penduduk Spanyol
masih ada penganut Kristen Unitarian ajaran Uskup Arius yang mengesakan Allah
dan menganggap Yesus adalah manusia biasa yang menjadi nabi. Kelompok ini juga
ditindas penguasa yang beraliran Trinitas. Maka mereka pun menyambut pasukan
muslim yang agamanya senafas dengan keyakinan mereka.
Berita kemenangan pasukan Thariq ini
membuat Gubernur Musa bin Nushair bersemangat. Dia memimpin sendiri pasukan
bantuan menyeberang ke tanah Iberia tahun 712 M. Pasukannya menguasai wilayah
barat seperti Carmona, Sevila, Merida, Aragon dan merebut kembali kota
Guadalajara dan Saragosa.
Anak Gubernur Musa, Abdul Aziz, yang
ditempatkan di Sevila, memimpin pasukan menguasai daerah barat seperti Nieblo, Beja, Evora, Lisboa,
Santarem, Coimbro. Hingga tahun 714 semua kota besar sudah ditaklukan seperti
Malaga, Granada, Murcia, Orihuela, Valencia, kepulauan Balearik, pulau Mayorca,
dan Minorca
Inilah era awal Eropa dimuslimkan dengan
Abdul Aziz bin Musa dinobatkan sebagai penguasa mewakili Khalifah Walid I. Kawasan muslim ini kelak dikenal dengan
sebutan Andalusia, merujuk kepada suku Vandal, penduduk awal tanah itu.
Vandaluzia berarti tanah orang Vandal lantas populer dengan sebutan Andalusia. Di tanah inilah sinar Islam pernah menerangi
Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar