Oleh Sugeng Purwanto
Suatu ketika Gus Dur pernah
berkata, ada tiga polisi yang anti suap. Pertama, Jenderal Hoegeng. Kedua, patung polisi, dan ketiga, polisi tidur.
Polisi pun bakal tertawa
mendengar gurauan yang agak berlebihan ini. Tapi tulisan ini tidak membahas
kinerja polisi kecuali yang disebut
terakhir dalam anekdot itu. Polisi tidur atau yang sering juga dinamakan jendulan sudah lazim dipasang orang di
jalan kampung, kompleks realestat,
bahkan kampus.
Sangat tidak nyaman berkendara
memasuki jalan yang banyak dipasang jendulan. Apalagi kalau cara membuatnya
asal menggunduk sehingga membuat kendaraan sering kejedok. Kita paham tujuannya
adalah menghambat laju kendaraan, agar pengendara tidak ngebut, mencegah
penghuni ditabrak.
Sebenarnya secara sosiologis, keberadaan polisi tidur yang dipasang
masyarakat di jalan-jalan itu dapat
menjelaskan gejala konflik kepentingan yang dipicu oleh perilaku suka menghadang,
menghambat, dan menjegal. Dari polisi
tidur itu bisa menerangkan kenapa
perseteruan KPK-Polri belakangan ini terjadi lagi. Mengapa aparat birokrasi
suka suap, atau main serobot kendaraan di jalan raya.
Mungkin Anda meragukan
hipotesis ini. Tapi coba perhatikan.
Ketika dulu jendulan belum banyak dipasang di jalan, frekuensi konflik juga
rendah. Lalu semakin banyak orang membangun jendulan maka frekuensi dan
intensitas konflik juga makin tinggi.
Bahkan sekarang ini
pembuatan jendulan semakin ngawur tanpa mempertimbangkan keamanan pengendara karena
ada jalan dipasangi jendulan di setiap depan rumah. Ini menunjukkan gejala
orang tidak mau lagi berempati, membayangkan perasaan orang lain, kecuali hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri.
Semula niat membuat polisi
tidur untuk mencegah pengendara mengebut. Sebab rambu jalan yang menganjurkan
berkendara pelan-pelan diabaikan. Bahkan
rambu bernada ancaman seperti Ngebut Benjut tidak juga mempan melambatkan
kendaraan. Maka orang pun mendapat akal
berupa menghadang laju kendaraan dengan
gundukan melintang di jalan.
Sukses di satu kampung, cara
itu kemudian menular ke kampung lain sehingga sekarang ini mana ada kampung
yang bebas dari jendulan. Bahkan ada ironi, sebuah jalan rusak parah dikeluhkan
warga dan meminta pemerintah kota memperbaikinya. Setelah pemerintah memperbaiki jalan itu menjadi mulus, warga mengeluh lagi
karena kendaraan melintas berkecepatan tinggi. Maka warga pun memilih memasang jendulan di jalan mulus
itu. Kalaulah ingin kendaraan berjalan pelan, bukankah lebih baik jalan
dibiarkan rusak? Jalan rusak pasti memaksa kendaraan berjalan pelan.
Lama kelamaan cara berpikir ini
sudah menginternalisasi ke diri individu menjadi sebuah pola bertindak yang
memengaruhi perilakunya. Sudah menjadi watak kebiasaan. Orang secara insting
akhirnya selalu berpikir untuk melambatkan laju kendaraan dengan membuat
rintangan baik berupa jendulan, memasang portal, membuntu jalan dengan terop waktu punya hajat
mantu, atau membakar ban waktu
demonstrasi.
Orang sudah melupakan anjuran
Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan menyingkirkan rintangan di jalan adalah
sedekah. Kini orang malah senang
memasang rintangan agar mudah meminta sedekah dari pengendara dengan alasan untuk
membangun masjid atau menolong korban banjir.
Di level birokrasi pemerintah,
perilaku pejabat dengan menghadang setiap urusan publik sedapat mungkin
dirintangi percepatannya sehingga membuka peluang tawar menawar. Maka muncullah
yargon kalau urusan dapat diperlambat kenapa mesti dipercepat menjadi populer dalam
budaya suap birokrasi.
Pada level politik muncullah
persaingan dengan cara menghadang dan menjegal, dimulai dari tingkat bawah
misalnya mencuri suara pesaing di daerah pemilihan dengan menyuap petugas
penghitung. Mengganjal calon ketua partai terkuat sudah jamak dilakukan
lawannya dengan membuat manuver pengurus partai kembar.
Untuk itulah dapat dipahami
kalau kemudian polisi mencurigai pimpinan KPK sengaja menjegal calon Kapolri
Komjen Budi Gunawan dengan dalih suap di masa lalu. Sebaliknya juga tidak sulit
bagi polisi mencari-cari dalih untuk menjatuhkan posisi pimpinan KPK. Meskipun
pejabat polisi selalu mengatakan kasus yang dijeratkan ke pimpinan KPK murni
tindak pidana individual dan tidak berkaitan dengan kasus Komjen Budi Gunawan
tapi rakyat awam pun paham dan mengerti perkara itu diada-adakan sebagai tindak
balasan menjegal.
Paling gampang mengetahui
perangai asli kita yang suka menghadang itu
adalah saat berlalu lintas di jalan. Contohnya,
suka membunyikan klakson agar kendaraan lain meminggir karena kita melaju
cepat. Berhenti di belokan ketika lampu merah tanpa merasa bersalah padahal
menghadang kendaraan yang hendak berbelok.
Arak-arakan demonstrasi buruh
yang merasa bangga dan hebat dengan kekuatannya karena mampu membuat lalu lintas macet. Atau konvoi pemilik motor gede yang pamer
kegagahannya kepada pengendara lain yang dipaksa berjalan melambat.
Karena perilaku menghadang ini
sudah diinternalisasi oleh individu kemudian menjadi perilaku jamak yang
dilakukan banyak orang maka tidak berlebihan kalau disimpulkan bangsa kita
mempunyai berperilaku menghadang. Situasi inilah yang mendorong terjadinya
kegaduhan dan hiruk pikuk negeri ini tanpa henti.
Hampir-hampir susah kita
mengalami situasi negeri yang tenang, menyenangkan, sepi dari intrik dan konflik. Bahkan Presiden Joko
Widodo terkesan bingung menghadapi intrik dan konflik para pejabat dan
politikus di sekelilingnya karena telat berpikir dan lemah bertindak.
Kalau Jokowi benar-benar
memiliki konsep revolusi mental yang pernah dia suarakan dalam kampanyenya maka
inilah saatnya mengubah perilaku bangsa yang suka menghadang. Indikatornya
gampang. Kalau polisi tidur menghilang di jalan-jalan perumahan maka revolusi
itu berhasil. Sebaliknya kalau polisi tidur mulai dipasang di jalan protokol
maka perilaku bangsa kita makin parah. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar