Senin, 19 Oktober 2015

POLISI TIDUR



Oleh Sugeng Purwanto



Suatu ketika Gus Dur pernah berkata, ada tiga polisi yang anti suap. Pertama, Jenderal  Hoegeng. Kedua, patung  polisi, dan ketiga, polisi tidur.
Polisi pun bakal tertawa mendengar gurauan yang agak berlebihan ini. Tapi tulisan ini tidak membahas kinerja polisi  kecuali yang disebut terakhir dalam anekdot itu. Polisi tidur atau yang sering juga dinamakan jendulan sudah lazim dipasang orang di jalan kampung,  kompleks realestat, bahkan kampus.
Sangat tidak nyaman berkendara memasuki jalan yang banyak dipasang jendulan. Apalagi kalau cara membuatnya asal menggunduk sehingga membuat kendaraan sering kejedok. Kita paham tujuannya adalah menghambat laju kendaraan, agar pengendara tidak ngebut, mencegah penghuni ditabrak.
Sebenarnya secara sosiologis,  keberadaan polisi tidur yang dipasang masyarakat  di jalan-jalan itu dapat menjelaskan gejala konflik kepentingan yang dipicu oleh perilaku suka menghadang, menghambat, dan menjegal.  Dari polisi tidur itu  bisa menerangkan kenapa perseteruan KPK-Polri belakangan ini terjadi lagi. Mengapa aparat birokrasi suka suap, atau main serobot kendaraan di  jalan raya.
Mungkin Anda meragukan hipotesis ini. Tapi  coba perhatikan. Ketika dulu jendulan belum banyak dipasang di jalan, frekuensi konflik juga rendah. Lalu semakin banyak orang membangun jendulan maka frekuensi dan intensitas konflik juga makin tinggi.
Bahkan sekarang ini pembuatan  jendulan  semakin ngawur  tanpa mempertimbangkan keamanan pengendara karena ada jalan dipasangi jendulan di setiap depan rumah. Ini menunjukkan gejala orang tidak mau lagi berempati, membayangkan perasaan orang lain, kecuali hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.
Semula niat membuat polisi tidur untuk mencegah pengendara mengebut. Sebab rambu jalan yang menganjurkan berkendara pelan-pelan  diabaikan. Bahkan rambu bernada ancaman seperti Ngebut Benjut tidak juga mempan melambatkan kendaraan.  Maka orang pun mendapat akal berupa  menghadang laju kendaraan dengan gundukan melintang di jalan.
Sukses di satu kampung, cara itu kemudian menular ke kampung lain sehingga sekarang ini mana ada kampung yang bebas dari jendulan. Bahkan ada ironi, sebuah jalan rusak parah dikeluhkan warga dan meminta pemerintah kota memperbaikinya. Setelah  pemerintah memperbaiki  jalan itu menjadi mulus, warga mengeluh lagi karena kendaraan melintas berkecepatan tinggi. Maka warga  pun memilih memasang jendulan di jalan mulus itu. Kalaulah ingin kendaraan berjalan pelan, bukankah lebih baik jalan dibiarkan rusak? Jalan rusak pasti memaksa kendaraan berjalan pelan.
Lama kelamaan cara berpikir ini sudah menginternalisasi ke diri individu menjadi sebuah pola bertindak yang memengaruhi perilakunya. Sudah menjadi watak kebiasaan. Orang secara insting akhirnya selalu berpikir untuk melambatkan laju kendaraan dengan membuat rintangan baik berupa jendulan, memasang portal,  membuntu jalan dengan terop waktu punya hajat mantu, atau  membakar ban waktu demonstrasi.
Orang sudah melupakan anjuran Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan menyingkirkan rintangan di jalan adalah sedekah.   Kini orang malah senang memasang rintangan agar mudah meminta sedekah dari pengendara dengan alasan untuk membangun masjid atau menolong korban banjir.
Di level birokrasi pemerintah, perilaku pejabat dengan menghadang setiap urusan publik sedapat mungkin dirintangi percepatannya sehingga membuka peluang tawar menawar. Maka muncullah yargon kalau urusan dapat diperlambat kenapa mesti dipercepat menjadi populer dalam budaya suap birokrasi.
Pada level politik muncullah persaingan dengan cara menghadang dan menjegal, dimulai dari tingkat bawah misalnya mencuri suara pesaing di daerah pemilihan dengan menyuap petugas penghitung. Mengganjal calon ketua partai terkuat sudah jamak dilakukan lawannya dengan membuat manuver pengurus partai kembar.
Untuk itulah dapat dipahami kalau kemudian polisi mencurigai pimpinan KPK sengaja menjegal calon Kapolri Komjen Budi Gunawan dengan dalih suap di masa lalu. Sebaliknya juga tidak sulit bagi polisi mencari-cari dalih untuk menjatuhkan posisi pimpinan KPK. Meskipun pejabat polisi selalu mengatakan kasus yang dijeratkan ke pimpinan KPK murni tindak pidana individual dan tidak berkaitan dengan kasus Komjen Budi Gunawan tapi rakyat awam pun paham dan mengerti perkara itu diada-adakan sebagai tindak balasan menjegal.
Paling gampang mengetahui perangai asli kita yang suka menghadang  itu adalah saat berlalu lintas di jalan.  Contohnya, suka membunyikan klakson agar kendaraan lain meminggir karena kita melaju cepat. Berhenti di belokan ketika lampu merah tanpa merasa bersalah padahal menghadang kendaraan yang hendak berbelok. 
Arak-arakan demonstrasi buruh yang merasa bangga dan hebat dengan kekuatannya karena mampu membuat  lalu lintas macet.  Atau konvoi pemilik motor gede yang pamer kegagahannya kepada pengendara lain yang dipaksa berjalan melambat.
Karena perilaku menghadang ini sudah diinternalisasi oleh individu kemudian menjadi perilaku jamak yang dilakukan banyak orang maka tidak berlebihan kalau disimpulkan bangsa kita mempunyai  berperilaku menghadang.  Situasi inilah yang mendorong terjadinya kegaduhan dan hiruk pikuk negeri ini tanpa henti.
Hampir-hampir susah kita mengalami situasi negeri yang tenang, menyenangkan, sepi dari  intrik dan konflik. Bahkan Presiden Joko Widodo terkesan bingung menghadapi intrik dan konflik para pejabat dan politikus di sekelilingnya karena telat berpikir dan lemah bertindak.
Kalau Jokowi benar-benar memiliki konsep revolusi mental yang pernah dia suarakan dalam kampanyenya maka inilah saatnya mengubah perilaku bangsa yang suka menghadang. Indikatornya gampang. Kalau polisi tidur menghilang di jalan-jalan perumahan maka revolusi itu berhasil. Sebaliknya kalau polisi tidur mulai dipasang di jalan protokol maka perilaku bangsa kita makin parah. (*)

Tidak ada komentar: