Minggu, 30 September 2007

Komisi Yudisial

KOMISI Yudisial (KY), lembaga pengawas para hakim itu tersandung masalah. Salah satu anggotanya, Irawady Joenoes, diduga menerima suap atau fee pembelian tanah untuk kantor lembaga itu sendiri. Lantas orang pun berpikir kalau lembaga pengawas hakim pun terlibat suap apakah lantas diperlukan lembaga pengawas para pengawas?
Itu memang pertanyaan lucu dan kalau dituruti tidak akan menyelesaikan perkara suap dan korupsi di negeri ini. Kasus ini menggambarkan sudah begitu parahnya perkara suap di sini. Sudah mengakar mulai lapisan atas hingga ke rakyat jelata.
Meskipun kita tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah atas kasus Iraway Joenoes ini, tapi kejanggalan tetap membuat kita bertanya-tanya kenapa Irawady Joenoes menerima sejumlah uang dari pemilik tanah yang dibeli. Boleh jadi itu uang fee makelar yang biasa dipraktikkan dalam jual beli tanah.
Kalau benar dugaan itu sebetulnya uang itu sah tapi tidak etis untuk seorang anggota Komisi Yudisial menerimanya. Di sinilah letak ujian terberat bagi aparat penegak keadilan di Indonesia. Berat agar tidak tersentuh iming-iming duit yang banyak tersebar di dunia makelar. Makelar tanah maupun makelar peradilan.
Kejanggalan lain adalah informasi yang disampaikan kepada KPK soal penyerahan uang kepada Irawady. Kemungkinan besar informasi itu berasal dari orang KY sendiri. Kalau itu benar maka ada persaingan tidak sehat untuk saling menjatuhkan.
Kasus ini juga membuat masyarakat kian pesimistis. Kalau anggota KY saja bisa menerima uang suap, apalagi para hakim, jaksa, polisi yang selama ini dinilai punya reputasi paling buruk di dunia perdagangan keadilan. Ini merupakan tamparan keras bagi KY untuk menjalankan fungsi dan tugasnya mengawasi para hakim.
Dengan kasus ini tentu bakal banyak cemoohan dan ledekan terhadap KY ketika berusaha mengoreksi sejumlah keputusan hakim yang janggal. Rupanya inilah ujian dan tantangan bagi anggota KY agar bersungguh-sungguh menegakkan keadilan. Rupanya selama ini mereka masih bermain-main saja dalam menjalankan fungsi pengawasan. Atau jangan-jangan ada anggota KY selama bertugas berlagak bersih, anti suap, dan aji mumpun. Maka kali ini dibongkar untuk diberi peringatan.
Kita cuma berharap terkuaknya kasus ini harus menjadi pelajaran bagi pejabat negara agar tidak mempermainkan tugas dan kewenangannya untuk bersentuhan dengan uang.
Sekaligus dari kasus ini menjadi pelajaran bagi DPR selektif menyeleksi pejabat negara yang dibebankan kepadanya. Jangan karena kedekatan dengan partai dan perorangan lantas dipilih sehingga terbukti orang-orang yang terseleksi tidak bertanggung jawab.
Kita memang kecewa dengan Irawady Joenoes namun bukan berarti setuju KY lebih baik dibubarkan. Lembaga itu memang sudah cacat tapi tetap diperlukan untuk mengontrol proses peradilan yang sudah sangat buruk di negara ini. Yang cacat diamputasi saja sebab masih ada anggota lain masih yang berfungsi baik. (*)
.

Senin, 24 September 2007

Solusi MA-BPK

Konflik antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) tentang audit biaya perkara di pengadilan menemukan penyelesaian. MA akhirnya bersedia biaya perkara diaudit. Dengan demikian laporan BPK ke polisi karena MA dianggap menghalangi pemeriksaan juga dicabut.
Tiga solusi untuk menyelesaikan konflik antar lembaga tinggi negara yang ditengahi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini adalah, pertama, pemerintah menjalankan kewajibannya menyusun PP tentang tata cara pengelolaan biaya perkara dengan waktu sekitar 1 bulan, dengan memberikan kategori, ketentuan, proses, dan sebagainya yang merujuk pada UU Keuangan Negara dan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Kedua, diharapkan MA melakukan pengaturan dan penataan internal untuk segera bisa dilakukan audit keuangan. Ketiga, diharapkan MA bisa melakukan pengaturan dan penataan ini dengan waktu dua bulan, sehingga BPK awal tahun depan sudah bisa melakukan audit.
Dicapainya kata sepakat untuk masalah ini diharapkan konflik antar lembaga negara ini tidak terulang lagi. Sebab ini konflik kedua yang dialami MA. Dulu lembaga ini pernah otot-ototan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena Ketua MA, Bagir Manan, menolak diperiksa berkaitan dengan kasus suap pengacara Probosutedjo yang menyebut-nyebut namanya. Konflik ini pun dulu ditengahi oleh presiden.
MA sebagai lembaga peradilan tertinggi semestinya menghindari masalah-masalah yang dapat membuatnya menjadi sorotan dan menjatuhkan wibawa. Sebab kalau MA jatuh wibawa dan terkesan buruk maka itu mencerminkan kondisi peradilan di negara ini yang sekarang ini masih dikategorikan buruk karena uang suap masih dominan.
Konflik MA-BPK terjadi karena dua-duanya mempunyai dasar hukum yang sama-sama kuat. MA berkeyakinan biaya perkara bukan uang negara karena hanya titipan untuk digunakan selama bersidang sehingga tidak termasuk yang diaudit. Ini berdasar hukum acara perdata (HIR) dan peraturan MA. Tapi BPK menganggap uang itu tergolong penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sehingga BPK bisa mengaudit. Dasarnya adalah UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara. Institusi yang tidak bersedia memberikan data dapat dilaporkan BPK ke aparat penegak hukum. Lalu UU No 25 tahun 2006 tentang BPK
Atas perselisihan ini BPK mendapat tuduhan berusahan mencemarkan MA dengan memberi tafsiran sendiri atas biaya perkara. Menurut kalangan praktisi hukum biaya perkara adalah uang titipan yang dipergunakan apabila pengadilan memanggil para saksi, saksi ahli, biaya pembuatan berkas, dan biaya-biaya lainnya yang terkait dalam perkara tersebut. Bila dalam penggunaannya ternyata terjadi kekurangan maka biaya perkara tersebut akan ditagih lagi kepada orang yang mendaftarkan perkara tersebut. Kalau dana tersebut terdapat kelebihan maka akan dikembalikan kepada orang yang mendaftarkan perkara (penggugat) setelah perkara selesai di tingkat pengadilan.
Boleh saja orang beralasan demikian. Tapi kita juga tahu Ketua BPK bukan orang bodoh yang tidak tahu definisi biaya perkara. Dalam kasus ini kita mengambil substansinya yaitu BPK ingin mencegah terjadinya peluang korupsi atau suap di lembaga peradilan.
Apalagi uang itu jumlah besar dan disimpan di sembilan rekening atas nama MA cq Bagir Manan dalam LKPP 2005 sejumlah Rp 7,45 miliar, terdiri atas empat rekening giro sejumlah Rp 4,87 miliar dan lima rekening deposito sejumlah Rp 2,58 miliar. Sebenarnya masalah ini sudah setahun ini dipersoalkan BPK yang hanya disikapi MA pada tahun 2006 dengan mengubah rekening-rekening itu tidak lagi atas nama Bagir Manan, namun atas nama Sekretaris MA dan Kepala Biro Keuangan MA.
Biaya perkara ini kalau tidak ada yang mengontrol sangat terbuka menjadi ajang suap dalam dunia peradilan. Apalagi menurut pengakuan beberapa pengacara tidak pernah mengambil kelebihan biaya perkara dan seringkali menyetor lebih di atas ketentuan.
Untuk itulah diperlukan audit sebagai pertanggungjawaban kepada publik terhadap pemakaian biaya perkara.
Jika MA jujur dan bersih, sebetulnya audit terhadap biaya perkara tidak merugikan lembaga itu. Sebab uang itu juga bukan miliknya kalau kemudian diaudit oleh BPK semestinya berterima kasih sudah membantu mempertanggungjawabkan pemakaian uang itu. Ini juga menegakkan prisip transparansi peradilan kepada masyarakat.
Karena itu ketika MA menolak audit itu, masyarakat malah mempunyai prasangka terhadap lembaga peradilan yang sudah dikenal sering memainkan uang suap.
Kini MA yang mau menerima diaudit diharapkan menggambarkan keterbukaan lembaga itu dalam menegakkan keadilan. Keadilan berdasarkan objektivitas perkara bukan besar-kecilnya uang suap. (*)
.

Selasa, 18 September 2007

Membangun Ibukota Baru

Pemerintah Malaysia menyadari Kuala Lumpur yang makin padat, macet, dan banjir tak selamanya dipertahankan menjadi ibukota negara. Salah satu cara mengurangi kepadatan kota itu dengan memindahkan ibukota ke Putrajaya.

Ketika awal tahun lalu Jakarta kebanjiran, muncul lagi gagasan untuk memindahkan ibukota Indonesia itu ke tempat lain yang lebih aman. Pikiran membangun ibukota baru itu bukan yang pertama memang. Presiden Soekarno dulu pernah berpikir ibukota negara semestinya terletak di titik tengah agar mudah menjangkau seluruh negeri. Pilihannya waktu itu di Kalimantan. Tapi ide itu tidak terwujud, Soekarno keburu lengser.
Di zaman Presiden Soeharto gagasan membuat ibukota hampir direalisasi dengan dipilihnya daerah Jonggol, Bogor. Tapi gagasan ini diributkan banyak orang karena investornya melibatkan keluarga Cendana akhirnya menjadi telantar.
Malaysia lebih beruntung karena tanpa ribut-ribut kini sudah mempunyai ibukota baru yakni Putrajaya. Ibukota baru ini terletak 25 km di selatan Kuala Lumpur yang dihubungkan dengan jalan tol. Ibukota baru ini masih terletak di negara bagian Selangor sekarang menjadi pusat administrasi pemerintah federal. Sedangkan Kuala Lumpur diarahkan menjadi kota bisnis dan keuangan.
Dari Kuala Lumpur International Airport (KLIA) Sepang, selain lewat jalan tol, juga dapat dicapai dengan kereta cepat yang butuh waktu tak kurang dari 15 menit. Jalur kereta KLIA Transit ini dibangun sejak 2002.
Gagasan membangun ibukota baru ini muncul akhir 1980-an semasa Perdana Menteri Mahathir Mohammad. Secara bertahap perencanaan kota dibuat dan gedung-gedung pemerintahan mulai dibangun. Hingga pada 1995 ibukota ini diresmikan dengan membentuk Perbadanan Putrajaya, semacam badan otorita, yang mengurusi kota ini.
Kini kantor perdana menteri dan semua kementerian sudah pindah di sini termasuk rumah dinas pejabatnya. Ada kemungkinan seluruh kantor kedutaan negara asing juga bakal dipindah di sini.
Putrajaya yang dibangun di atas tanah kosong dirancang sebagai kota modern, canggih, dan nyaman dengan pengendalian dari Perbadanan Putrajaya. Kota ini juga bagian dari Multimedia Super Corridor dengan kota Cyberjaya yang terletak di sebelah barat dengan peralatan teknologi multimedia. Semua data administrasi antar departemen sudah dikomputerisasi sehingga memungkinkan interaksi dan komunikasi antar departemen terhubung lewat jaringan elektronik saja.
Sebesar 40% wilayahnya merupakan ruang terbuka hijau berupa taman, kebun botani, dan danau sehingga ibukota ini mempunyai motto sebagai Garden City, Intellegent City.
Nama Putrajaya itu merujuk kepada nama akhir perdana menteri pertama Tunku Abdul Rahman Putra. Maka Putrajaya kurang lebih bermakna kemenangan sang pangeran.
Luas kota sekarang ini 4.581 hektare atau 45 km persegi. Dirancang untuk ditinggali 350.000 orang tapi jumlah penduduk sekarang ini baru 54.000 orang.

Dua Wilayah
Kawasan Putrajaya dibagi menjadi dua area yakni wilayah inti dan pinggiran yang dipisahkan oleh danau (tasik). Wilayah inti seluas 1.069 hektares dimana berdiri gedung pemerintahan, pusat bisnis, pusat budaya, dan rekreasi. Daerah pinggiran lebih banyak berisi permukiman berupa apartemen dan rumah berbagai ukuran. Sekarang sudah terbangun 67.000 rumah.
Menurut Mukhtar Mahyat, pengusaha biro travel di Kuala Lumpur, harga rumah paling murah di Putrajaya sekitar 200.000 ringgit atau Rp 520 juta. Sedangkan sewa apartemen mencapai 600 ringgit (sekitar Rp 1,5 juta) per bulan. Sekarang ini sedang dibangun beberapa rumah mewah di pinggiran danau.
Kota ini dibangun dengan citarasa tinggi. Bergaya Eropa dan Mediteranian. Jalan-jalan yang lebar seperti landskap kota di Eropa. Arsitektur bangunan ada yang bergaya mediteranian dengan kubah besar seperti di gedung Perdana Putra, Gedung Pengadilan, dan Masjid Putra.
Gedung Perdana Putra adalah kantor Perdana Menteri Ahmad Badawi. Gedung ini dibangun mirip kantor lama di Kuala Lumpur. Kubahnya berwarna hijau polos. Sangat gagah kalau dipandang dari Lapangan Putra di depannya. Kompleks ini menjadi pintu gerbang memasuki kota Putra Jaya. Rumah dinas perdana menteri berada di utaranya menyeberangi danau di kompleks Sri Perdana. Rumah dinas ini dibuka untuk turis pada siang hari.
Cara paling cepat menikmati kota ini dengan naik perahu wisata menyusuri tasik (danau). Dermaga Cruise Tasik berada dekat Masjid Putra, persis di bawah Jembatan Putra. Masjid dan jembatan ini bergaya Persia. Ada dua perahu yang dapat dipilih perahu boat dengan 20 penumpang atau menyewa perahu kayu kecil yang romantis seperti di Venesia.
Tasik ini sepertinya berfungsi penampung air hujan. Dibuat besar mengitari beberapa dataran. Pemandangan dari tasik memang lebih indah seperti kubah dan menara masjid menjulang berwarna pink. Beberapa bangunan menarik dapat dinikmati dari sini. Seperti jembatan Seri Wawasan yang mirip jembatan Point du Normadi di Prancis, kantor PM, Millenium Monument, gedung kementerian, rumah, apartemen, hingga Putrajaya International Convention Center (PICC) yang atapnya mirip Gedung DPR kita. Tapi orang setempat menyebutnya gedung topi koboi. Setidaknya sudah ada enam hotel berbintang berdiri seperti Shangri-La dan Marriot.
Di antara penduduk Putrajaya ternyata ada TKW kita. Mereka ini bekerja di beberapa restoran di dermaga Cruise Tasik. Ada yang dari Lampung, Blitar, dan Jawa Barat. Mereka tinggal di rumah majikannya. (*)
.

Senin, 17 September 2007

Nurdin Halid

KASUS Nurdin Halid telah menampar presiden, DPR, KPU, dan Partai Golkar. Ini gambaran bagaimana tidak cermatnya sistem administrasi negara yang dijalankan oleh para politikus. Sebab sehari setelah dilantik menjadi anggota DPR menggantikan Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalata, lantas terbit vonis Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 30 juta terhadap Nurdin Halid atas kasus korupsi pengadaan minyak goreng yang merugikan negara Rp 169 miliar.
Akibatnya kasus itu sekarang menjadi isu politik yang rumit. Sebab seseorang yang telah divonis pengadilan bersalah atas tindak pidana maka tidak boleh menjabat anggota DPR. Karena itu harus dicari jalan keluar yang cepat dan tidak memalukan untuk mengatasi kondisi ini.

Tidak perlu ada perdebatan sengit untuk menarik Nurdin Halid dari anggota DPR yang hanya berumur sehari itu harus ada izin dari presiden. Sebab semua sudah dipermalukan. Perdebatan hanya menambah malu karena hal itu dapat dinilai sebagai upaya cuci tangan dan mencari orang yang paling bersalah dalam proses pergantian antar waktu ini.
Sebelum dilantik menjadi anggota DPR pergantian antar waktu, kasus Nurdin Halid dalam kapasitas Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia yang mendapat tender pengadaan minyak goreng pada bulan puasa tahun lalu sebetulnya masih dalam proses kasasi ke MA. Pengurus Partai Golkar, pimpinan DPR, maupun pejabat pemerintah tentu mempunyai catatan ini.
Bila memakai akal sehat semestinya pengurus Partai Golkar tidak harus terburu-buru mengusulkan nama Nurdin Halid untuk segera dilantik walaupun berdasarkan nomor urut calon legislatif di daerah pemilihannya dia paling berhak menggantikan Andi Mattalata. Seharusnya pengurus Partai Golkar mempertimbangkan kasus yang sedang berjalan ini.
Mungkin saja pengurus Partai Golkar sangat yakin Nurdin Halid lolos dalam kasasi MA untuk kasus ini sama seperti vonis bebas saat di Pengadilan Negeri.
Sikap seperti itu sama halnya dengan meremehkan proses hukum. Bahkan seperti ada indikasi dapat memainkan hukum sehingga pengurus Partai Golkar tetap mengajukan nama Nurdin meskipun masih bermasalah.
Lebih runyam lagi pimpinan DPR dan pejabat pemerintah sama tidak telitinya memeriksa kasus ini. Atau apakah karena Ketua DPR dipegang Agung Laksono dan di pemerintah ada Wakil Presiden Jusuf Kalla yang petinggi Golkar sehingga pengajuan nama Nurdin Halid tidak menemui hambatan? Boleh jadi faktor ini banyak berpengaruh.
Sekarang semuanya tepercik getahnya akibat meremehkan proses hukum. Maka kali ini penegakan hukum harus dijalankan dengan konsekuen tidak peduli pejabat negara dan orang Golkar. Semua politikus harus menghormati putusan hukum.
Hanya ada dua jalan keluar terbaik sesuai aturan mengatasi kasus memalukan ini. Pertama, Partai Golkar merecall Nurdin Halid. Kedua, Nurdin Halid segera mengundurkan diri.
Karena itu kemunculan Nurdin Halid akan membantu penyelesaian kasus ini dalam waktu cepat. Bukan malah bersembunyi dan menyelesaikan masalah di bawah permukaan. (*)
.

Kamis, 06 September 2007

Menangani Separatisme

BELAKANGAN ini pemerintah disibukkan dengan pengibaran bendera kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terjadi secara beruntun. Komentar pro dan kontra atas peristiwa itu pun makin menambah bingung rakyat untuk menyikapi kasus itu. Perbedaan pendapat itu sekaligus mencerminkan betapa rawannya negara ini karena segenap elemen masyarakat belum bersatu pendapat memberantas separtisme.
Bagi pemerintah sudah kewajiban dan kewenangannya untuk mencegah separatisme yang mengancam terpecahnya negara. Karena itu berusaha sedapat mungkin bibit-bibit perpecahan ini diselesaikan hingga tuntas baik pendekatan diplomasi maupun militer.
Memang menuntaskan masalah ini menjadi pilihan yang sulit. Kalau pemerintah bersikap tegas dengan menangkap semua pelaku maka reaksi kontra juga muncul tak kalah sengitnya. Bahkan menggalang dukungan luar negeri. Tapi kalau masalah ini diberi toleransi, tak berapa lama bakal muncul menjadi gerakan besar sebab diakui atau tidak ada agenda sejumlah orang Indonesia dan luar negeri untuk melemahkan posisi Indonesia. Dalam kasus merdekanya Timor Timur, misalnya, terdapat sejumlah LSM dalam negeri yang terang-terang menyatakan sikap mendukung kemerdekaan itu. LSM ini tidak peduli dengan tuduhan menjual negara ke agen asing.
Dukungan sejumlah kelompok kepada gerakan separatisme memang tidak lepas dari kebencian terhadap kebijakan politik Orde Baru yang represif dan korup. Sehingga sejumlah orang berpikir buat apa ikut RI kalau tetap miskin sementara yang kaya hanya golongan tertentu saja.
Kini Orde Baru sudah tumbang tentunya kita berharap pemerintah sekarang tidak mewarisi kebijakan politiknya. Menyelesaikan gerakan separatisme harus dengan cara-cara yang bijak dan adil. Terpenting harus mampu meyakinkan rakyat bahwa pemerintah hari ini beda dengan masa lalu dan bersama-sama menggapai kesejahteraan. Karena itu model penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat dijadikan contoh untuk menuntaskan keinginan memisahkan diri dari negara RI.
Sifat dan latar belakang gerakan separatisme antara GAM, RMS, dan OPM memang berbeda. Ada yang muncul karena bentuk protes daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat seperti lahirnya GAM dan OPM. Ada juga karena sejak awal membawa ideologi sendiri karena tidak suka dengan munculnya negara RI seperti RMS.
Meskipun begitu gerakan ini dapat menjadi meluas kalau ada perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat. Karena itu penanganan terhadap gerakan separatisme harus sesuai dengan sifat dan latar belakang sejarahnya. Penanganannya harus dimulai dari evaluasi dan review kebijakan pemerintah pusat terhadap daerah. Pemerintah pusat harus mengevaluasi setiap kebijakan terutama yang terkait dengan daerah-daerah konflik.
Terpenting lagi adalah kemampuan pemerintah untuk menyatukan sikap rakyat dan aparatnya untuk memberantas separatisme. Sama perlakuannya ketika pemerintah memberantas terorisme. Jangan sampai muncul simpatisan-simpatisan terhadap gerakan ini. Sebab salah satu kegagalan pemerintah menangani terorisme karena masih ada aparat yang bersimpati dan mudah disuap misalnya kasus lolosnya Alex Manuputy ke AS padahal dia dalam status tahanan dan cekal.
Reformasi yang memunculkan keinginan membangun demokrasi sedang dilakukan. Namun jangan sampai dengan berdalih demokrasi lantas memunculkan keinginan memisahkan diri. Lebih runyam lagi kalau orang yang menentang separatisme kemudian dituduh anti demokrasi. Sebagian rakyat kita memang salah kaprah dan nyinyir bicara demokrasi. Tentu kita berharap reformasi jangan sampai makin banyak memakan anak sendiri. (*)

Perilaku Rentenir

Dalam pidato di sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Kamis lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan prihatin dengan kondisi besarnya jumlah dana pemerintah daerah (Pemda) yang menganggur di perbankan mencapai mencapai Rp 96 triliun. Ada lagi dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia Rp 50 triliun.
Praktik pembelian SBI oleh pemda, sebenarnya bukan fenomena baru. Lebih-lebih ketika aktivitas perekenomian sedang rendah, sehingga dana yang semula diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan belum bisa dikeluarkan dari bank daerah. Dana itu kemudian dilarikan ke SBI. Stok SBI ini akan berkurang kalau kondisi perekonomian sehat dan lancar.
Namun penempatan dana itu memang ironis mengingat pemerintah tengah mencari dana untuk pembangunan infrastruktur tapi ada dana APBD yang diparkir di bank. Artinya ada pembangunan di daerah yang tidak berjalan sehingga dana yang tersedia tidak terpakai sehingga untuk menyelamatkan disimpan di bank atau dirupakan dalam SBI.
Ini boleh jadi perilaku malas kepala daerah dan lebih suka berpikir seperti rentenir dengan mengharapkan bunga. Sebab saat ini bunga SBI sebesar 8% sedangkan deposito 5%. Jadi bisa saja para kepala daerah itu berpikir hanya dengan memindahkan uang APBD maka kas daerah sudah beranak pinak 8%. Mungkin ini dipikir sebagai prestasi.
Kalau ada kepala daerah yang berpikir seperti ini jelas sudah motivasi dia menjadi bupati atau walikota hanya untuk memperkaya diri. Dia sendiri tidak memiliki kemampuan bekerja memanajemen dan mengembangkan kota.
Setiap tahun pemerintah daerah menyusun APBD yang berisi kebutuhan dana untuk mewujudkan belanja pembangunan wilayah sekaligus sumber-sumber pendapatannya. Ketika APBD sudah disahkan maka kewajiban kepala daerah segera memakai dana APBD sesuai kesepakatan dengan DPRD. Kalau ternyata banyak dana yang diparkir di bank menandakan proyek pembangunan tidak berjalan.
Dari kasus ini dapat dikatakan sebetulnya negara kita ini ada uang namun para pejabatnya tidak mampu mengelola untuk kesejahteraan rakyat seperti membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur. Jadi benarlah pendapat yang menyebutkan kemiskinan rakyat kita akibat ulah pejabat yang tidak becus membelanjakan uang. Lebih runyam lagi kalau belanja uang negara itu keluar kalau untuk kepentingan pejabat sendiri.
Kalau begini situasinya maka presiden tidak cukup hanya merasa prihatin. Seharusnya memberi peringatan dana Pemda tidak boleh disimpan dalam bentuk SBI. Jika masih ada Pemda berperilaku seperti ini harus diberi sanksi dalam bentuk pengambilan kembali uang dari pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU) untuk diserahkan pada daerah lain yang bisa menyerap dan menggunakan anggaran dengan baik.
Sanksi itu penting karena saat ini rakyat di daerah sangat mengharapkan pembiayaan untuk program pembangunan dan kesejahteraan. Di saat rakyat menunggu pembangunan, uang negara malah disimpan di bank oleh Pemda.
Ada beragam alasan yang membuat Pemda menyimpan uang di bank dalam bentuk SBI.
Pertama, birokrasi di daerah yang lamban karena memakai gaya lama Orde Baru.
Pemda sengaja menunggu bulan-bulan terakhir menjelang tutup buku untuk menghabiskan anggaran itu sehingga pelaksanaannya asal-asalan yang penting dana habis. Cara seperti ini merupakan sumber korupsi.
Kedua, pejabat di daerah untuk membelanjakan APBD karena khawatir tersangkut korupsi dan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi seperti kasus pejabat menolak menjadi pimpinan proyek. Jika masalahnya seperti ini maka perlu ada bimbingan dari BPKP dan KPK agar Pemda tak takut untuk menggunakan anggaran sesuai dengan aturan.
Ketiga, karena rendahnya kualitas sumber daya manusia di daerah sehingga tidak mampu merancang anggaran dan melaksanakan pembangunan. Kalau ini yang terjadi maka perlu peningkatan kualitas SDM agar memiliki kemampuan untuk merancang program dengan baik.
Kalau semua upaya sudah dilakukan namun praktik menyimpang uang APBD ke dalam SBI tetap dilakukan oleh kepala daerah maka jalan satu-satunya adalah menurunkan kepala daerah itu dengan alasan tidak becus memerintah. (*)

Stigma Bangsa Buruh

Ketegangan hubungan bilateral antara Indonesia – Malaysia belakangan ini sering terusik. Setelah sengketa Pulau Sipadan – Ligitan, lalu perairan Blok Ambalat, penyiksaan TKW/TKI dan kini penganiayaan polisi negara itu terhadap wasit karate Indonesia Donald Luther Kolopita tanpa alasan yang jelas.
Sebagai negara serumpun dan bertetangga semestinya hubungan bilateral itu didasari oleh sikap saling menghargai dan menghormati. Karena kalau hidup bertetangga tidak rukun bakal menciptakan keresahan di antara warganya.
Kejadian perlakuan orang-orang Malaysia terhadap warga Indonesia itu tak lepas dari stigma buruk yang sudah tertanam di pikiran orang Malaysia. Stigma itu muncul memang tak lepas dari gambaran orang Indonesia sendiri yang ditangkap warga Malaysia. Misalnya ketrampilan orang Indonesia hanya sebagai tukang dan babu seiring makin besarnya minat TKI ke negeri itu. Lantas imigran Indonesia di Malaysia sering tertangkap berbuat kriminal.
Gara-gara stigma itu maka orang Malaysia yang suka menyebut dengan ringkas kata Indonesia menjadi Indon kini juga terkesan melecehkan, menghina, merendahkan, mengejek. Padahal dulu sebutan seperti itu biasa saja, netral tanpa bermaksud merendahkan.
Ini memang ironis sebab Indonesia adalah negara yang besar di kawasan Asia Tenggara tapi justru menjadi ejekan di negara tetangga. Contohnya mantan PM Lee Kuan Yew begitu lantang dan tanpa takut bicara Indonesia sebagai sarang teroris dan negara korupsi.
Itu terjadi karena meskipun negara seperti Malaysia dan Singapura itu kecil tanpa kemajuan ekonominya lebih baik daripada kita sehingga membuat rasa percaya diri rakyat dan pemimpin negara itu untuk berhadapan dengan Indonesia yang makin amburadul tatanan politik dan ekonominya. Mereka merasa superior.
Akibatnya meskipun Indonesia negara besar tapi dapat dikalahkan dalam diplomasi misalnya kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang dimemangkan Malaysia atau perjanjian ekstradisi dan pertahanan dengan Singapura yang lebih banyak mendikte kita. Belum lagi prestasi di bidang olahraga atau pertanian ternyata Indonesia juga kalah bersaing dengan Vietnam.
Contoh lain seperti perjanjian pengiriman TKI dengan Malaysia banyak merugikan TKI karena ternyata selama bekerja paspor ditahan majikan. Akibatnya kalau majikan curang tidak mau membayar gaji, mereka dapat saja lapor ke polisi ada TKI ilegal tanpa dokumen di tempatnya.
Kejadian yang dialami wasit Donald Kolopita sebenarnya juga banyak menimpa orang Indonesia lainnya meskipun sebagai turis atau delegasi negara. Kejadiannya pasti di malam hari saat warga Indonesia itu jalan-jalan lantas dicurigai sebagai TKI illegal. Dan polisi setempat pun ada yang langsung berprasangka buruk atau memang berniat nakal ingin mendapat uang dengan menakut-nakuti orang Indonesia yang keluar malam lebih-lebih meninggalkan dokumen di hotel.
Untuk memperbaiki kondisi ini maka pemerintah Indonesia harus bisa mengubah stigma bahwa bangsa Indonesia ini bangsa budak, buruh, tukang, atau pelaku kriminal. Tugas pertama adalah memperbaiki ekonomi sehingga membuka peluang kerja bagi rakyatnya sendiri sehingga tidak perlu mencari uang di luar negeri.
Para politikus segera hentikan kebiasaan berpolemik, berdebat, tanpa dasar dan tujuan jelas dan membuang energi. Para pemimpin bangsa bekerjalah dengan sungguh-sungguh untuk kesejahteraan rakyat bukan hanya menumpuk harta dengan meminta suap atau korupsi. Ingatlah, negeri ini besar dan kaya tapi rakyatnya sudah lama menderita kemiskinan. (*)