Kamis, 06 September 2007

Perilaku Rentenir

Dalam pidato di sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Kamis lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan prihatin dengan kondisi besarnya jumlah dana pemerintah daerah (Pemda) yang menganggur di perbankan mencapai mencapai Rp 96 triliun. Ada lagi dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia Rp 50 triliun.
Praktik pembelian SBI oleh pemda, sebenarnya bukan fenomena baru. Lebih-lebih ketika aktivitas perekenomian sedang rendah, sehingga dana yang semula diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan belum bisa dikeluarkan dari bank daerah. Dana itu kemudian dilarikan ke SBI. Stok SBI ini akan berkurang kalau kondisi perekonomian sehat dan lancar.
Namun penempatan dana itu memang ironis mengingat pemerintah tengah mencari dana untuk pembangunan infrastruktur tapi ada dana APBD yang diparkir di bank. Artinya ada pembangunan di daerah yang tidak berjalan sehingga dana yang tersedia tidak terpakai sehingga untuk menyelamatkan disimpan di bank atau dirupakan dalam SBI.
Ini boleh jadi perilaku malas kepala daerah dan lebih suka berpikir seperti rentenir dengan mengharapkan bunga. Sebab saat ini bunga SBI sebesar 8% sedangkan deposito 5%. Jadi bisa saja para kepala daerah itu berpikir hanya dengan memindahkan uang APBD maka kas daerah sudah beranak pinak 8%. Mungkin ini dipikir sebagai prestasi.
Kalau ada kepala daerah yang berpikir seperti ini jelas sudah motivasi dia menjadi bupati atau walikota hanya untuk memperkaya diri. Dia sendiri tidak memiliki kemampuan bekerja memanajemen dan mengembangkan kota.
Setiap tahun pemerintah daerah menyusun APBD yang berisi kebutuhan dana untuk mewujudkan belanja pembangunan wilayah sekaligus sumber-sumber pendapatannya. Ketika APBD sudah disahkan maka kewajiban kepala daerah segera memakai dana APBD sesuai kesepakatan dengan DPRD. Kalau ternyata banyak dana yang diparkir di bank menandakan proyek pembangunan tidak berjalan.
Dari kasus ini dapat dikatakan sebetulnya negara kita ini ada uang namun para pejabatnya tidak mampu mengelola untuk kesejahteraan rakyat seperti membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur. Jadi benarlah pendapat yang menyebutkan kemiskinan rakyat kita akibat ulah pejabat yang tidak becus membelanjakan uang. Lebih runyam lagi kalau belanja uang negara itu keluar kalau untuk kepentingan pejabat sendiri.
Kalau begini situasinya maka presiden tidak cukup hanya merasa prihatin. Seharusnya memberi peringatan dana Pemda tidak boleh disimpan dalam bentuk SBI. Jika masih ada Pemda berperilaku seperti ini harus diberi sanksi dalam bentuk pengambilan kembali uang dari pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU) untuk diserahkan pada daerah lain yang bisa menyerap dan menggunakan anggaran dengan baik.
Sanksi itu penting karena saat ini rakyat di daerah sangat mengharapkan pembiayaan untuk program pembangunan dan kesejahteraan. Di saat rakyat menunggu pembangunan, uang negara malah disimpan di bank oleh Pemda.
Ada beragam alasan yang membuat Pemda menyimpan uang di bank dalam bentuk SBI.
Pertama, birokrasi di daerah yang lamban karena memakai gaya lama Orde Baru.
Pemda sengaja menunggu bulan-bulan terakhir menjelang tutup buku untuk menghabiskan anggaran itu sehingga pelaksanaannya asal-asalan yang penting dana habis. Cara seperti ini merupakan sumber korupsi.
Kedua, pejabat di daerah untuk membelanjakan APBD karena khawatir tersangkut korupsi dan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi seperti kasus pejabat menolak menjadi pimpinan proyek. Jika masalahnya seperti ini maka perlu ada bimbingan dari BPKP dan KPK agar Pemda tak takut untuk menggunakan anggaran sesuai dengan aturan.
Ketiga, karena rendahnya kualitas sumber daya manusia di daerah sehingga tidak mampu merancang anggaran dan melaksanakan pembangunan. Kalau ini yang terjadi maka perlu peningkatan kualitas SDM agar memiliki kemampuan untuk merancang program dengan baik.
Kalau semua upaya sudah dilakukan namun praktik menyimpang uang APBD ke dalam SBI tetap dilakukan oleh kepala daerah maka jalan satu-satunya adalah menurunkan kepala daerah itu dengan alasan tidak becus memerintah. (*)

Tidak ada komentar: