Rabu, 24 Agustus 2016

Hukuman Mati






Pemerintah telah menghukum mati bandit-bandit narkoba di penjara Nusa Kambangan bulan lalu. Seperti biasa muncul kritikan bahwa hukuman mati melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Melanggar Universal Declaration of Human Rights pasal 3 bahwa setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan.
Hukuman mati juga dianggap sebagai praktik hukum primitif,  tidak ada efek jera bagi pelaku lain, dan mengambil alih hak Tuhan yang menghidupkan dan mematikan seseorang.
Memang, hidup adalah anugerah Tuhan. Begitu pula kematian, Tuhan juga  yang mendatangkan.  Dalam surat Mulk (67) : 2 dapat kita pahami bahwa Allah yang menciptakan mati dan hidup. Untuk apa? Untuk menguji  manusia ,siapa yang terbaik perilakunya.
Jika demikian tujuan pemberian anugerah kehidupan itu maka wajarlah lantas timbul ganjaran dan hukuman atas perilaku manusia. Mereka yang berbuat baik mendapatkan ganjaran dan yang berperilaku buruk diberi hukuman.  Maka dibuatlah nilai dan norma berperilaku untuk mengukur  mana saja kelompok perbuatan baik dan buruk.
Allah juga mengajari  manusia untuk memberikan ganjaran teringan hingga tertinggi untuk manusia salihin. Begitu pula Allah menuntun manusia untuk menjatuhkan sanksi ringan sampai terberat kepada manusia-manusia durjana.
Di sisi lain,  Allah yang memberikan anugerah kehidupan ternyata juga memberikan wewenang kepada manusia untuk menjatuhkan sanksi  hukuman mati  sebagai hukuman terberat. Hukuman ini diberikan ketika manusia berbuat jahat luar biasa.
Surat Al Isra (17) : 33 tertulis, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan kebenaran. Dan barang siapa dibunuh secara dhalim maka sungguh kami telah memberi kekuasaan  kepada walinya tetapi janganlah wali itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia orang yang mendapat pertolongan.
Allah mengizinkan memberi hukuman mati dengan alasan yang benar.  Alasan benar itu didasarkan kepada peraturan. Bukan atas kemauan sendiri.  Jadi bila negara menerapkan hukuman mati untuk kejahatan sangat berat maka itu benar.
Hukuman mati  diterapkan dalam hukum Islam untuk kejahatan membunuh (qishash, hudud)  dan berzina (rajam). Seperti disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 178-179 bahwa pemberlakuan qishash untuk pembunuhan. Qishash adalah hukuman yang sepadan dengan kejahatannya.  Tapi bisa bebas dengan membayar diyat. Qishash diterapkan sebagai jaminan ketertiban hukum masyarakat.  Ayat senada juga terdapat  dalam Al Maidah ayat 45.
Kejahatan narkoba memang tidak tersebut dalam ayat itu. Melihat betapa buruknya pengaruh narkoba terhadap kesehatan badan, jiwa, dan ekonomi korbannya maka perdagangan narkoba merupakan kejahatan keji  yang menguntungkan dengan mengorbankan kemanusiaan.
Belum lagi laporan Badan Nasional Anti Narkoba (BNN) mencatat, sebanyak 50 pecandu mati setiap hari karena narkoba. Maka perdagangan ini merupakan kejahatan berat, keji, dan kejam yang patut mendapat hukuman mati dan tidak ada diyat.
Hukuman mati juga dituduh melanggar kesempatan terpidana bertaubat untuk kesempatan kedua.  Praktiknya, pejahat narkoba tidak pernah jera dan taubat ketika diberi kesempatan kedua. Bahkan mereka masih dapat berbisnis dan memproduksi narkoba dalam penjara dengan menyogok sipir dan aparat hukum lain di luar.
Dalam penjara saja penjahat narkoba juga mampu merusak aparat hukum dengan suap, maka hukuman seumur hidup menjadi percuma. Untuk memutus semua aktivitas yang merusak itu hukuman mati merupakan solusi. Dan hukuman itu dibenarkan oleh Tuhan dengan syarat melewati proses pengadilan yang adil.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh perdagangan narkoba sangat besar. Bahkan melanggar nilai asasi manusia dalam Universal Declaration of Human Rights. Hak generasi muda mendapat  penghidupan yang sehat dan bersih. Hak kemerdekaan dari ketergantungan narkoba. Dan hak keselamatan hidup di dunia akhirat.
Penjahat yang menghancurkan nilai hak asasi manusia tentulah orang yang telah kehilangan kemanusiaannya. Menghukum mati penjahat ini justru untuk menegakkan nilai kemanusiaan. Karena itu hukuman mati tidak melanggar HAM.
Soal pertaubatan justru lebih baik terjadi menjelang eksekusi mati.  Sebab orang yang tahu segera mati biasanya muncul kesadaran kemanusiaannya kemudian menyesal dan bertaubat  dengan sebenarnya. Sesudah eksekusi mati  semuanya menjadi urusan Tuhan.
Berdasarkan informasi Al Baqarah : 160,  mereka yang bertaubat, melakukan perbaikan, dan menjelaskan kejahatannya maka Tuhan menerima taubatnya. Kondisi seperti ini bagi penjahat justru menjadi lebih baik karena hukuman itu menghentikan perbuatan jahat dan hidup sesudah matinya mendapat ampunan Tuhan.
Memang hukum yang berlaku di negara ini bukan hukum Islam tetapi hukum sekuler. Karena itu tidak menjelaskan ruh dan nilai spiritualnya. Hukum sekuler semata-mata bertujuan menjaga ketertiban hidup masyarakat. Sedangkan hukum Islam selain menciptakan kehidupan harmoni di dunia juga menggapai keindahan hidup di akhirat. Bahkan untuk penjahat pun Tuhan memberikan petunjuk lewat pertaubatan.
Ingat kisah yang diceritakan Nabi Muhammad tentang seorang penjahat yang berniat insyaf? Dia sudah membunuh 99 orang. Kemudian dia menemui pendeta dan bertanya, apakah dosanya bisa diampuni Tuhan? Pendeta itu menjawab, tidak mungkin Tuhan mengampuni. Penjahat itu marah dan membunuhnya.
Kemudian dia bertemu seseorang dan bertanya tentang pengampunan Tuhan. Orang itu menunjukkan agar menuju ke desa sebelah bertanya pada orang alim di sana. Di tengah perjalanan dia mati. Dua malaikat berdebat antara menyeret ke neraka atau ke surga. Solusinya, mengukur jarak perjalanan. Karena jarak desa yang dituju sudah dekat maka dia masuk surga.