Sabtu, 06 Februari 2016

Imam Abu Hanifah Menolak Jadi Pejabat






Kalau Anda mencari ulama yang sempurna, Imam Abu Hanifah orangnya. Dia populer dengan gelar Imam Hanafi. Orang yang cerdas, ahli Alquran, hadits, fiqih, filsafat, kaya raya, militan, dan teguh pendirian.
Nama aslinya Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi. Dia bangsa Persia yang lahir di Kufah, Irak, tahun 699 Masehi atau 65 tahun setelah wafat Rasulullah. Imam Hanafi termasuk generasi tabi'in. Dia pernah bertemu sahabat Nabi bernama Anas bin Malik dan meriwayatkan hadis darinya. Dia meninggal di Baghdad, Irak, tahun 767 M.
Banyak orang ingin menjadi pejabat negara. Namun justru Imam Abu Hanifah menolak ketika tawaran itu datang. Alasannya, karena tidak sejalan dengan cara pengendalian pemerintah oleh penguasa yang dinilainya dholim.
Penolakan jabatan itu dianggap penghinaan terhadap penguasa maka dia dipenjara dan dihukum cambuk. Abu Hanifah menerima penderitaan itu dengan lapang dada.
Gubernur Kufah waktu itu, Yazid bin Hurairah Al-Fazzari dari Dinasti Umaiyah,  ingin mengangkat Abu Hanifah menjadi sekretaris wilayah.  Tugasnya mengatur administrasi provinsi juga bertanggung jawab dalam pemasukan dan pengeluaran kas negara.
Tentu saja Abu Hanifah menolaknya. Cita-citanya bukan menjadi pejabat negara. Berulang kali Yazid menawarkan lagi kedudukan itu namun Abu Hanifah tetap kukuh dengan pendiriannya.
Sang gubernur tersinggung dengan sikap Abu Hanifah itu. Ancaman pun dilayangkan: jika menolak bakal dipenjara. Ketika ancaman itu disampaikan kepadanya, dia menjawab, ”Demi Allah, aku tidak akan menerima jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku dibunuh.”
Tak pelak, dia pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Dua pekan aman-aman saja. Pas hari kelima belas dia dipukuli sebanyak 14 kali. Setelah itu baru dibebaskan.
Dua tahun setelah itu yakni 773 M, terjadi pergolakan politik. Dinasti Abbasiyah merebut kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Ibukota pindah dari Damaskus ke Baghdad. Khalifah baru yang memerintah adalah Abu Abbas as Saffah. Tak lama memerintah Abu Abbas mati lalu diganti adiknya, Abi Jaafar Al Mansur.
Suatu hari Khalifah Al Mansur ingin mengangkat hakim. Nama yang direkomendasikan penasehatnya adalah Abu Hanifah. Maka diutuslah orang menyampaikan tawaran itu. Ulama terkenal itu menjawab,"Aku akan istikharah terlebih dahulu. Jika hatiku dibuka maka aku terima, jika tidak, masih banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih oleh Amirul Mukminin."
Ternyata sikap politik Abu Hanifah tetap saja tidak mau masuk ke pusaran politik meskipun rezim telah berganti di tangan Abbasiyah. Dia tak kunjung menemui Khalifah. Maka khalifah mengutus orang memintanya menghadap, Abu Hanifah terpaksa pergi ke istana untuk memberitahu penolakannya. Tapi khalifah memaksanya.
"Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya aku tak pantas menjabat hakim," kata Abu Hanifah.
"Kamu bohong!," sergah khalifah. ”Kamu orang yang layak untuk jabatan itu.”
 "Anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka pembohong tak layak menjadi hakim.”
            Khalifah menjadi murka dengan gaya bersilat lidah Abu Hanifah ini. Dia pun menjatuhkan vonis hukuman cambuk seratus kali dan masuk penjara. Tapi setelah vonis itu dilaksanakan, khalifah mendapat teguran dari kerabatnya atas hukuman terhadap ulama alim itu.
Segera khalifah membebaskan Abu Hanifah dan memberi ganti rugi 30.000 dirham. Tidak diduga Abu Hanifah menolak uang ganti rugi. Sikapnya itu kembali membuat khalifah marah karena dianggap penghinaan.
 Dia perintahkan menjebloskan kembali Abu Hanifah ke penjara. Namun para menteri menyarankan Abu Hanifah diberi hukuman rumah saja dan larangan menerima tamu. Abu Hanifah menerima hukuman itu namun tidak lama kemudian tubuhnya menjadi sakit dan lemah.
Sakitnya makin parah. Akhirnya wafat di usia 68 tahun. Puluhan ribu orang melayat dan mengantarkan ke kuburnya di Al Khairazan, Baghdad, sesuai wasiatnya.  Menurut Abu Hanifah, tanah kuburan itu baik karena bukan tanah curian.
Imam Abu Hanifah meninggalkan beberapa buku karyanya. Dialah yang pertama kali menyusun kitab fiqih dengan pembahasan awal dimulai dari bab taharah, salat dan seterusnya. Metode ini kemudian diikuti oleh ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Imam Bukhari, dan penulis lain.
Dibesarkan dalam keluarga saudagar. Bapaknya adalah pengusaha kain di Pasar Kufah. Di sela waktu membantu bapaknya berjualan, Abu Hanifah sering mengunjungi Masjid Kufah untuk mengaji kepada ulama setempat. Dia mampu menghafal Alquran dan hadits.
            Sewaktu dia sendiri menjadi saudagar, kesukaannya mengaji makin besar sehingga berguru kepada banyak ulama dan berdiskusi. Kufah saat itu adalah kota para ulama besar Iraq sehingga banyak orang luar berdatangan untuk belajar agama.
            Salah satu ulama tempat Abu Hanifah mengaji adalah Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman. Dia berguru selama 18 tahun hingga usianya 22 tahun. Juga berguru kepada ulama Makkah dan Madinah seperti sahabat Nabi, Malik bin Anas, kemudian Zaid bin Ali dan Ja'far ash-Shadiq yang ahli urusan fiqih dan hadits.
            Di Kufah, ketika Syaikh Hammad berhalangan mengajar halaqah maka Abu Hanifah diminta menggantikannya. Selain mengajarkan ilmunya dia juga menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta. Saat Syaikh Hammad wafat maka Abu Hanifah yang terpilih menjadi guru meneruskan halaqah. Usianya waktu itu 40 tahun. (*)
.

Bom Bunuh Diri






Serangan bom bunuh diri  dan tembakan yang terjadi di Jl. MH Thamrin, Jakarta, Kamis, 14 Januari lalu kembali mengejutkan kita. Ada delapan orang mati, termasuk empat orang pelaku serangan.  Peristiwa bom bunuh diri ini membuat kita berpikir, benarkah jalan orang-orang yang menyatakan diri berjihad menegakkan syariat dan negara Islam ini?
                Di kalangan para pejuang militan, serangan itu tidak disebut sebagai bom bunuh diri tetapi bom syahid. Sebab ledakan bom yang menewaskan pembawanya itu diyakini sebagai jalan menuju surga. Sayangnya, para militan yang telah mati karena bom itu tidak dapat menceritakan kondisinya kepada manusia yang masih hidup apakah dirinya masuk surga atau neraka. Walhasil kita yang masih hidup hanya menduga-duga bagaimana kehidupan kembali orang-orang ini sesudah kematiannya. Kita pun berbeda pendapat  dalam menafsiri  tindakan pembawa bom ini.
Menurut  sudut pandang  kaum militan, pelaku peledakan bom itu syahid karena niatnya untuk menegakkan syariat Islam menurut kesanggupannya. Dalil populer yang diajukan adalah Surat Al Anfal ayat 60 yang berbunyi: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya.
Dalam situasi sekarang, menurut tafsir kaum militan, kekuatan yang mampu dilakukan adalah meledakkan diri di tengah sasaran yang dianggap musuh untuk menakuti dan menunjukkan eksistensinya. Persoalan ada korban lain di luar sasaran,  itu sudah nasib buruk si korban.
Ayat lain yang menjadi rujukan adalah Al Baqarah 154 dan Ali Imron 169-170. Walaupun banyak orang menyebut pelaku bom itu mati konyol dan sia-sia tapi tafsir kaum militan menyakini mereka hidup bersenang-senang di surga.  Janganlah kamu mengatakan orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati padahal mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya.  
Sedangkan dalam surat Ali Imron menyebutkan,  jangan kamu menyangka orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati padahal mereka hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.  Mereka bersenang-senang  dengan karunia Allah yang diberikan kepadanya dan mereka bergembira terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.
Hujah lain adalah cerita Ashabul Uhdud yang termuat dalam surat Al Buruj dan secara detail dikisahkan dalam hadits Shahih Muslim.  Diceritakan, seorang pemuda  penyembah Allah divonis mati oleh penguasa penganut agama musyrik.  Tapi pelaksanaan eksekusi mati  gagal membunuhnya. Mulai penyiksaan, melemparkan ke jurang, dan  menenggelamkan ke laut.
 Di tengah kebingungan raja dan eksekutor, pemuda itu malah berkata, ”Kamu tidak bisa membunuhku kecuali mengikuti cara yang saya ajarkan kepadamu.”
               Rahasianya ternyata japa mantra: Bismillah, demi Tuhan pemuda ini. Kalimat itu harus diucapkan sebelum membidikkan anak panah. Benar, pemuda itu pun mati.  Tapi rakyat yang menyaksikan eksekusi itu akhirnya beriman kepada Allah, tuhan pemuda ini. Raja marah melihat perubahan itu dan membunuhi rakyat yang beriman dengan menceburkan ke parit berapi.
Menurut pandangan awam, bukankah pemuda itu bunuh diri? Tapi karena kisah ini diceritakan oleh Nabi maka nilai pesannya menjadi lain. Orang yang mati mempertahankan keimanan tauhid adalah syahid meskipun sampai membunuh diri sendiri.  Sebagian dalil-dalil inilah yang diajarkan kaum militan kepada para martir bom sehingga mereka mantap melangkah menyongsong kematiannya. 
Kalaulah tafsiran mereka itu benar, persoalannya adalah dapatkah dibenarkan sekelompok orang Islam menyerang  sebagian orang Islam lainnya di sebuah negeri yang aman seperti peledakan bom di Indonesia dan Turki?
Dalam rekaman video yang disiarkan TV, kaum militan punya alasan. Mereka tidak memulai serangan tetapi penguasa yang lebih dulu menyerang dengan operasi penumpasan terorisme. Kelompok militan menyerang sebagai upaya balasan. Atas dasar inilah mereka menyatakan Indonesia sebagai  daerah perang.
Pemerintah pun berdalih, sudah tugasnya melindungi  keamanan warga, menciptakan ketenangan, dan menjaga keutuhan negara dari gangguan radikalisme dan separatisme.  Maka sudah semestinya menangkapi orang-orang yang membuat gangguan itu. Dengan cara halus maupun keras. Siapapun penguasanya pasti berbuat  hal itu. Justru pemerintah dinilai bodoh dan lemah kalau membiarkan gangguan ini merusak keamanan, kenyamanan rakyat, dan keutuhan negara.
Radikalisme, militanisme agama muncul ketika terjadi  ketimpangan antara idealisme ajaran agama dan realitas kehidupan umat beragama. Di dunia Islam ketimpangan itu mencolok mata terjadi di dunia internasional hingga lokal. Contoh penindasan Israel atas rakyat Palestina sudah dianggap hal biasa tanpa ada sanksi internasional. Lebih menyakitkan Israel malah dibela oleh AS. Perpecahan di negara-negara Timur Tengah juga tak lepas dari intervensi Barat.
Karena itu kalau ada kelompok yang berani melawan AS dan sekutunya selalu menarik minat pemuda Islam untuk berpihak dan mendukungnya seperti munculnya  ISIS (Islamic State of Syiria-Iraq). Itulah yang menarik minat kelompok Santoso di Poso mendeklarasikan bergabung dengan ISIS dan berjuang di Indonesia.
 Semua aktivis militan Islam memiliki cita-cita hidup di negara Islam seperti pernah dibangun oleh Rasulullah.  Menurut mereka, mewujudkan cita-cita itu  dengan membentuk pasukan bersenjata  merupakan keimanan yang tinggi derajatnya dibandingkan  berjuang dengan lisan apalagi hanya berdoa.
Mengangkat senjata itu wajib ketika melihat pemerintah suatu negara dinilai sebagai thagut karena bertindak sewenang-wenang menangkapi aktivis, korup, dan hukum diperjualbelikan. Kalangan militan tidak percaya dengan perjuangan partai Islam di parlemen mampu mengubah keadaan sebab mereka juga korup.
Jika radikalisme ingin berkurang maka pertama, pemerintah harus adil dan mampu memakmurkan rakyatnya. Kedua, politikus partai Islam  menunjukkan perjuangan menegakkan syariat Islam dan ada hasilnya. (*)

Turki, Harapan Dunia Islam







Menutup tahun 2015, dunia Islam seperti  durian terbelah.  Sisi luar kulit berduri menyakitkan adalah gambaran perang saudara di Timur Tengah yang mengenaskan. Perang yang semula dipicu oleh AS dan sekutunya untuk menggulingkan rezim  Irak dan Libya, kini  perang melebar  memorakporandakan negeri Irak dan Suriah setelah  kelompok ISIS (Islamic State of Iraq Syam) menguat.
Di Yaman perang juga berkecamuk akibat serangan Arab Saudi dan sekutunya  yang memerangi pemberontak Houthi dari kelompok Syiah yang didukung Iran. Kelompok Houthi sebenarnya minoritas tapi sekutu Arab tak mampu menaklukkan. Perang terus berkobar, kota hancur dan rakyat  didera penderitaan.
Di sisi lain kenestapaan dunia Islam ini, bersyukur  ada harapan baru muncul  yang harumnya tercium bak daging durian ranum usai terbelah. Harapan itu datang dari  Turki, bekas kekhalifahan Islam terakhir, yang sekarang  lambat laun tampil sebagai negeri  yang berbau Islam menandingi  negeri-negeri tetangganya di Eropa.
Dari dua kondisi dunia yang berbeda inilah sekarang umat Islam memasuki tahun baru 2016. Akankah  wajah dunia Islam terus terbelah-belah dan rusak dengan perang saudara? Di sudut lain, mampukah Turki bangkit kembali menjadi imperium besar  memimpin dunia Islam?
Sulit menjawab pertanyaan itu di tengah ketidakberdayaan umat Islam bersaing dengan dunia non Islam. Perang Irak-Suriah tak lepas dari intervensi penguasa Barat seperti AS dan Inggris yang ingin menguasai minyak kawasan itu. Penguasa-penguasa yang dituduh diktator seperti Saddam Husein dan Muammar Ghadafi sudah mereka gulingkan  dengan mempersenjatai  kelompok oposisi.
Permainan ternyata belum selesai. Mereka buat kelompok baru yang lebih militan yakni ISIS (Islamic State of Iraq Syam) untuk melemahkan pemerintah baru. Situasi ini sama seperti di Afghanistan yang hingga sekarang perang saudara antar faksi Islam belum berakhir. Barat mengadudomba dengan iming-iming kekuasaan.
ISIS, semua berita sudah menjelaskan bahwa kelompok ini semula bentukan agen rahasia CIA, Inggris, dan Mossad. Pemimpinnya, Abu Bakar Al Baghdadi,  adalah orang Israel yang aslinya bernama Elliot Shimon. Dia agen Mossad dengan tugas melemahkan negara Arab di sekeliling Israel.
Orang Israel yang berpakaian Arab ini luar biasa militannya sehingga bisa meyakinkan  pemuda-pemuda Islam dari segala penjuru dunia bahwa ISIS adalah mimpi yang menjadi nyata tentang negara ideal Islam. Propaganda itu pun berhasil merekrut  ribuan pemuda Islam untuk berbondong-bondong bergabung ke Suriah ke tanah harapan.
Berbalik dengan kenyataan itu, penduduk Suriah dan Irak justru mengungsi mencari kedamaian ke negara-negara Eropa lewat Turki.  Penderitaan dan ancaman kematian dalam perjalanan tak menyurutkan langkah para pengungsi ini menuju negara-negara non muslim yang dianggap makmur dan aman.
Peristiwa ini mengingatkan kita dengan hijrah pertama kaum muslim di zaman Nabi Muhammad SAW ketika mengungsi ke negeri Habasyah (Abesinia) di Afrika. Bedanya dulu Nabi dan umat Islam hidup di negeri kafir Mekkah yang dholim lalu mengungsi ke negeri Kristen Abesinia yang aman dan adil. Kasus sekarang umat Islam hidup di negeri muslim yang kacau balau lalu mengungsi ke negeri Kristen yang aman dan makmur. Ironis.
Perang Arab Saudi-Yaman tak lepas dari rebutan hegemoni di kawasan Teluk yang dikuasai Saudi. Munculnya kelompok Houthi yang Syiah mengancam pengaruh Saudi di kawasan itu berganti dalam bayang-bayang Iran. Maka tak ada pilihan lain kecuali membendung pengaruh itu lewat perang. Apalagi dalam sejarah, dendam konflik Sunni-Syiah terus berlangsung dalam perang dingin yang kini meletus lagi.
Lantas bisakah perang saudara ini berakhir? Seperti kisah hancurnya kekhalifahan Turki menjadi negara-negara kecil, intervensi Barat berperan besar dalam menyelesaikan konflik ini. Perang ini bakal melahirkan negara-negara baru bentukan Barat. Dengan peta politik baru ini kandungan minyak di tanah ini makin mudah dikuasainya.        
Namun kepiluan ini sedikit terobati dengan bangkitnya Turki yang sekarang dipimpin partai Islam. Sejak negeri itu menjadi sekuler dan terpuruk di bawah kepemimpinan Presiden Mustafa Kemal Attaturk dan pelanjutnya dari kelompok militer dan nasionalis, rakyat menjadi bosan. Impian para pemimpinnya yang ingin  Turki masuk Masyarakat Eropa tak pernah terkabul. Inflasi tinggi terus mengacaukan perekonomian negara itu.
Rakyat pun berpaling kepada partai Islam untuk memimpin negara itu. Partai Refah pimpinan Muhammad Erbakan mulai menata kehidupan ekonomi dan  politik dengan jatuh bangun. Kemudian dilanjutkan dengan Partai Keadilan pimpinan Recep Tayip Erdogan hingga kini.
                Sekarang pertumbuhan ekonomi Turki konsisten mencapai 6,4% setiap tahun, lebih tinggi dari Cina.  Turki juga mewajibkan dan menggratiskan pendidikan dasar dan menengah untuk anak-anak usia 6-15 tahun.  Kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan juga menjadikan Turki  tempat yang baik untuk belajar.
Pendapatan per kapita Turki melesat dari 3.492 dollar menjadi 10.079 dollar. Turki juga menjadi anggota G-20 yaitu 20 negara dengan perekonomian maju. Militer Turki juga masuk dalam sepuluh militer terkuat di dunia.
Kebangkitan Turki  seperti menghapus anggapan bahwa negara Islam sulit maju. Apalagi sanggup bersaing dengan negara Barat.  Negara ini dapat menjadi contoh pemimpin yang bersungguh-sungguh memakmurkan rakyatnya  dapat terwujud. Syaratnya, militan, pemerintahan bersih, dan mendapat dukungan rakyat.
Sekarang Turki menjadi inspirasi kebangkitan negara-negara Islam di Balkan yang masih bertalian secara historis seperti Bosnia, Chechnya, Albania. Lambat laun jika prestasi itu terus bersinar, cahayanya bisa meluas menerangi dunia. (*)