Sabtu, 06 Februari 2016

Turki, Harapan Dunia Islam







Menutup tahun 2015, dunia Islam seperti  durian terbelah.  Sisi luar kulit berduri menyakitkan adalah gambaran perang saudara di Timur Tengah yang mengenaskan. Perang yang semula dipicu oleh AS dan sekutunya untuk menggulingkan rezim  Irak dan Libya, kini  perang melebar  memorakporandakan negeri Irak dan Suriah setelah  kelompok ISIS (Islamic State of Iraq Syam) menguat.
Di Yaman perang juga berkecamuk akibat serangan Arab Saudi dan sekutunya  yang memerangi pemberontak Houthi dari kelompok Syiah yang didukung Iran. Kelompok Houthi sebenarnya minoritas tapi sekutu Arab tak mampu menaklukkan. Perang terus berkobar, kota hancur dan rakyat  didera penderitaan.
Di sisi lain kenestapaan dunia Islam ini, bersyukur  ada harapan baru muncul  yang harumnya tercium bak daging durian ranum usai terbelah. Harapan itu datang dari  Turki, bekas kekhalifahan Islam terakhir, yang sekarang  lambat laun tampil sebagai negeri  yang berbau Islam menandingi  negeri-negeri tetangganya di Eropa.
Dari dua kondisi dunia yang berbeda inilah sekarang umat Islam memasuki tahun baru 2016. Akankah  wajah dunia Islam terus terbelah-belah dan rusak dengan perang saudara? Di sudut lain, mampukah Turki bangkit kembali menjadi imperium besar  memimpin dunia Islam?
Sulit menjawab pertanyaan itu di tengah ketidakberdayaan umat Islam bersaing dengan dunia non Islam. Perang Irak-Suriah tak lepas dari intervensi penguasa Barat seperti AS dan Inggris yang ingin menguasai minyak kawasan itu. Penguasa-penguasa yang dituduh diktator seperti Saddam Husein dan Muammar Ghadafi sudah mereka gulingkan  dengan mempersenjatai  kelompok oposisi.
Permainan ternyata belum selesai. Mereka buat kelompok baru yang lebih militan yakni ISIS (Islamic State of Iraq Syam) untuk melemahkan pemerintah baru. Situasi ini sama seperti di Afghanistan yang hingga sekarang perang saudara antar faksi Islam belum berakhir. Barat mengadudomba dengan iming-iming kekuasaan.
ISIS, semua berita sudah menjelaskan bahwa kelompok ini semula bentukan agen rahasia CIA, Inggris, dan Mossad. Pemimpinnya, Abu Bakar Al Baghdadi,  adalah orang Israel yang aslinya bernama Elliot Shimon. Dia agen Mossad dengan tugas melemahkan negara Arab di sekeliling Israel.
Orang Israel yang berpakaian Arab ini luar biasa militannya sehingga bisa meyakinkan  pemuda-pemuda Islam dari segala penjuru dunia bahwa ISIS adalah mimpi yang menjadi nyata tentang negara ideal Islam. Propaganda itu pun berhasil merekrut  ribuan pemuda Islam untuk berbondong-bondong bergabung ke Suriah ke tanah harapan.
Berbalik dengan kenyataan itu, penduduk Suriah dan Irak justru mengungsi mencari kedamaian ke negara-negara Eropa lewat Turki.  Penderitaan dan ancaman kematian dalam perjalanan tak menyurutkan langkah para pengungsi ini menuju negara-negara non muslim yang dianggap makmur dan aman.
Peristiwa ini mengingatkan kita dengan hijrah pertama kaum muslim di zaman Nabi Muhammad SAW ketika mengungsi ke negeri Habasyah (Abesinia) di Afrika. Bedanya dulu Nabi dan umat Islam hidup di negeri kafir Mekkah yang dholim lalu mengungsi ke negeri Kristen Abesinia yang aman dan adil. Kasus sekarang umat Islam hidup di negeri muslim yang kacau balau lalu mengungsi ke negeri Kristen yang aman dan makmur. Ironis.
Perang Arab Saudi-Yaman tak lepas dari rebutan hegemoni di kawasan Teluk yang dikuasai Saudi. Munculnya kelompok Houthi yang Syiah mengancam pengaruh Saudi di kawasan itu berganti dalam bayang-bayang Iran. Maka tak ada pilihan lain kecuali membendung pengaruh itu lewat perang. Apalagi dalam sejarah, dendam konflik Sunni-Syiah terus berlangsung dalam perang dingin yang kini meletus lagi.
Lantas bisakah perang saudara ini berakhir? Seperti kisah hancurnya kekhalifahan Turki menjadi negara-negara kecil, intervensi Barat berperan besar dalam menyelesaikan konflik ini. Perang ini bakal melahirkan negara-negara baru bentukan Barat. Dengan peta politik baru ini kandungan minyak di tanah ini makin mudah dikuasainya.        
Namun kepiluan ini sedikit terobati dengan bangkitnya Turki yang sekarang dipimpin partai Islam. Sejak negeri itu menjadi sekuler dan terpuruk di bawah kepemimpinan Presiden Mustafa Kemal Attaturk dan pelanjutnya dari kelompok militer dan nasionalis, rakyat menjadi bosan. Impian para pemimpinnya yang ingin  Turki masuk Masyarakat Eropa tak pernah terkabul. Inflasi tinggi terus mengacaukan perekonomian negara itu.
Rakyat pun berpaling kepada partai Islam untuk memimpin negara itu. Partai Refah pimpinan Muhammad Erbakan mulai menata kehidupan ekonomi dan  politik dengan jatuh bangun. Kemudian dilanjutkan dengan Partai Keadilan pimpinan Recep Tayip Erdogan hingga kini.
                Sekarang pertumbuhan ekonomi Turki konsisten mencapai 6,4% setiap tahun, lebih tinggi dari Cina.  Turki juga mewajibkan dan menggratiskan pendidikan dasar dan menengah untuk anak-anak usia 6-15 tahun.  Kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan juga menjadikan Turki  tempat yang baik untuk belajar.
Pendapatan per kapita Turki melesat dari 3.492 dollar menjadi 10.079 dollar. Turki juga menjadi anggota G-20 yaitu 20 negara dengan perekonomian maju. Militer Turki juga masuk dalam sepuluh militer terkuat di dunia.
Kebangkitan Turki  seperti menghapus anggapan bahwa negara Islam sulit maju. Apalagi sanggup bersaing dengan negara Barat.  Negara ini dapat menjadi contoh pemimpin yang bersungguh-sungguh memakmurkan rakyatnya  dapat terwujud. Syaratnya, militan, pemerintahan bersih, dan mendapat dukungan rakyat.
Sekarang Turki menjadi inspirasi kebangkitan negara-negara Islam di Balkan yang masih bertalian secara historis seperti Bosnia, Chechnya, Albania. Lambat laun jika prestasi itu terus bersinar, cahayanya bisa meluas menerangi dunia. (*)

Tidak ada komentar: