Menutup tahun 2015, dunia Islam
seperti durian terbelah. Sisi luar kulit berduri menyakitkan adalah
gambaran perang saudara di Timur Tengah yang mengenaskan. Perang yang semula dipicu
oleh AS dan sekutunya untuk menggulingkan rezim
Irak dan Libya, kini perang melebar memorakporandakan negeri Irak dan Suriah
setelah kelompok ISIS (Islamic State of
Iraq Syam) menguat.
Di Yaman perang juga berkecamuk
akibat serangan Arab Saudi dan sekutunya
yang memerangi pemberontak Houthi dari kelompok Syiah yang didukung
Iran. Kelompok Houthi sebenarnya minoritas tapi sekutu Arab tak mampu
menaklukkan. Perang terus berkobar, kota hancur dan rakyat didera penderitaan.
Di sisi lain kenestapaan dunia
Islam ini, bersyukur ada harapan baru
muncul yang harumnya tercium bak daging
durian ranum usai terbelah. Harapan itu datang dari Turki, bekas kekhalifahan Islam terakhir,
yang sekarang lambat laun tampil sebagai
negeri yang berbau Islam menandingi negeri-negeri tetangganya di Eropa.
Dari dua kondisi dunia yang berbeda
inilah sekarang umat Islam memasuki tahun baru 2016. Akankah wajah dunia Islam terus terbelah-belah dan
rusak dengan perang saudara? Di sudut lain, mampukah Turki bangkit kembali
menjadi imperium besar memimpin dunia
Islam?
Sulit menjawab pertanyaan itu di
tengah ketidakberdayaan umat Islam bersaing dengan dunia non Islam. Perang
Irak-Suriah tak lepas dari intervensi penguasa Barat seperti AS dan Inggris
yang ingin menguasai minyak kawasan itu. Penguasa-penguasa yang dituduh
diktator seperti Saddam Husein dan Muammar Ghadafi sudah mereka gulingkan dengan mempersenjatai kelompok oposisi.
Permainan ternyata belum selesai.
Mereka buat kelompok baru yang lebih militan yakni ISIS (Islamic State of Iraq
Syam) untuk melemahkan pemerintah baru. Situasi ini sama seperti di Afghanistan
yang hingga sekarang perang saudara antar faksi Islam belum berakhir. Barat
mengadudomba dengan iming-iming kekuasaan.
ISIS,
semua berita sudah menjelaskan bahwa kelompok ini semula bentukan agen rahasia
CIA, Inggris, dan Mossad. Pemimpinnya, Abu Bakar Al Baghdadi, adalah orang Israel yang aslinya bernama
Elliot Shimon. Dia agen Mossad dengan tugas melemahkan negara Arab di
sekeliling Israel.
Orang
Israel yang berpakaian Arab ini luar biasa militannya sehingga bisa
meyakinkan pemuda-pemuda Islam dari
segala penjuru dunia bahwa ISIS adalah mimpi yang menjadi nyata tentang negara
ideal Islam. Propaganda itu pun berhasil merekrut ribuan pemuda Islam untuk berbondong-bondong
bergabung ke Suriah ke tanah harapan.
Berbalik
dengan kenyataan itu, penduduk Suriah dan Irak justru mengungsi mencari
kedamaian ke negara-negara Eropa lewat Turki.
Penderitaan dan ancaman kematian dalam perjalanan tak menyurutkan
langkah para pengungsi ini menuju negara-negara non muslim yang dianggap makmur
dan aman.
Peristiwa
ini mengingatkan kita dengan hijrah pertama kaum muslim di zaman Nabi Muhammad
SAW ketika mengungsi ke negeri Habasyah (Abesinia) di Afrika. Bedanya dulu Nabi
dan umat Islam hidup di negeri kafir Mekkah yang dholim lalu mengungsi ke
negeri Kristen Abesinia yang aman dan adil. Kasus sekarang umat Islam hidup di
negeri muslim yang kacau balau lalu mengungsi ke negeri Kristen yang aman dan
makmur. Ironis.
Perang
Arab Saudi-Yaman tak lepas dari rebutan hegemoni di kawasan Teluk yang dikuasai
Saudi. Munculnya kelompok Houthi yang Syiah mengancam pengaruh Saudi di kawasan
itu berganti dalam bayang-bayang Iran. Maka tak ada pilihan lain kecuali
membendung pengaruh itu lewat perang. Apalagi dalam sejarah, dendam konflik
Sunni-Syiah terus berlangsung dalam perang dingin yang kini meletus lagi.
Lantas
bisakah perang saudara ini berakhir? Seperti kisah hancurnya kekhalifahan Turki
menjadi negara-negara kecil, intervensi Barat berperan besar dalam
menyelesaikan konflik ini. Perang ini bakal melahirkan negara-negara baru
bentukan Barat. Dengan peta politik baru ini kandungan minyak di tanah ini
makin mudah dikuasainya.
Namun kepiluan ini sedikit terobati
dengan bangkitnya Turki yang sekarang dipimpin partai Islam. Sejak negeri itu
menjadi sekuler dan terpuruk di bawah kepemimpinan Presiden Mustafa Kemal
Attaturk dan pelanjutnya dari kelompok militer dan nasionalis, rakyat menjadi
bosan. Impian para pemimpinnya yang ingin
Turki masuk Masyarakat Eropa tak pernah terkabul. Inflasi tinggi terus
mengacaukan perekonomian negara itu.
Rakyat pun berpaling kepada partai
Islam untuk memimpin negara itu. Partai Refah pimpinan Muhammad Erbakan mulai
menata kehidupan ekonomi dan politik
dengan jatuh bangun. Kemudian dilanjutkan dengan Partai Keadilan pimpinan Recep
Tayip Erdogan hingga kini.
Sekarang pertumbuhan ekonomi Turki
konsisten mencapai 6,4% setiap tahun, lebih tinggi dari Cina. Turki juga mewajibkan dan menggratiskan
pendidikan dasar dan menengah untuk anak-anak usia 6-15 tahun. Kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan juga
menjadikan Turki tempat yang baik untuk
belajar.
Pendapatan per kapita Turki melesat
dari 3.492 dollar menjadi 10.079 dollar. Turki juga menjadi anggota G-20 yaitu
20 negara dengan perekonomian maju. Militer Turki juga masuk dalam sepuluh
militer terkuat di dunia.
Kebangkitan Turki seperti menghapus anggapan bahwa negara Islam
sulit maju. Apalagi sanggup bersaing dengan negara Barat. Negara ini dapat menjadi contoh pemimpin yang
bersungguh-sungguh memakmurkan rakyatnya
dapat terwujud. Syaratnya, militan, pemerintahan bersih, dan mendapat
dukungan rakyat.
Sekarang Turki menjadi inspirasi
kebangkitan negara-negara Islam di Balkan yang masih bertalian secara historis
seperti Bosnia, Chechnya, Albania. Lambat laun jika prestasi itu terus
bersinar, cahayanya bisa meluas menerangi dunia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar