Kalau Anda mencari ulama yang sempurna, Imam
Abu Hanifah orangnya. Dia populer dengan gelar Imam Hanafi. Orang yang cerdas,
ahli Alquran, hadits, fiqih, filsafat, kaya raya, militan, dan teguh pendirian.
Nama aslinya Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin
Mahan at-Taymi. Dia bangsa Persia yang lahir di Kufah, Irak, tahun 699 Masehi
atau 65 tahun setelah wafat Rasulullah. Imam Hanafi termasuk generasi tabi'in.
Dia pernah bertemu sahabat Nabi bernama Anas bin Malik dan meriwayatkan
hadis darinya. Dia meninggal di Baghdad, Irak, tahun 767 M.
Banyak orang ingin menjadi pejabat negara.
Namun justru Imam Abu Hanifah menolak ketika tawaran itu datang. Alasannya,
karena tidak sejalan dengan cara pengendalian pemerintah oleh penguasa yang
dinilainya dholim.
Penolakan jabatan itu dianggap penghinaan
terhadap penguasa maka dia dipenjara dan dihukum cambuk. Abu Hanifah menerima
penderitaan itu dengan lapang dada.
Gubernur Kufah waktu itu, Yazid bin Hurairah
Al-Fazzari dari Dinasti Umaiyah, ingin
mengangkat Abu Hanifah menjadi sekretaris wilayah. Tugasnya mengatur administrasi provinsi juga bertanggung
jawab dalam pemasukan dan pengeluaran kas negara.
Tentu saja Abu Hanifah menolaknya. Cita-citanya
bukan menjadi pejabat negara. Berulang kali Yazid menawarkan lagi kedudukan itu
namun Abu Hanifah tetap kukuh dengan pendiriannya.
Sang gubernur tersinggung dengan sikap Abu
Hanifah itu. Ancaman pun dilayangkan: jika menolak bakal dipenjara. Ketika
ancaman itu disampaikan kepadanya, dia menjawab, ”Demi Allah, aku tidak akan
menerima jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku dibunuh.”
Tak pelak, dia pun ditangkap dan dijebloskan
ke penjara. Dua pekan aman-aman saja. Pas hari kelima belas dia dipukuli
sebanyak 14 kali. Setelah itu baru dibebaskan.
Dua tahun setelah itu yakni 773 M, terjadi
pergolakan politik. Dinasti Abbasiyah merebut kekuasaan dari Dinasti Umayyah.
Ibukota pindah dari Damaskus ke Baghdad. Khalifah baru yang memerintah adalah Abu
Abbas as Saffah. Tak lama memerintah Abu Abbas mati lalu diganti adiknya, Abi
Jaafar Al Mansur.
Suatu hari Khalifah Al Mansur ingin
mengangkat hakim. Nama yang direkomendasikan penasehatnya adalah Abu Hanifah.
Maka diutuslah orang menyampaikan tawaran itu. Ulama terkenal itu menjawab,"Aku
akan istikharah terlebih dahulu. Jika hatiku dibuka maka aku terima, jika
tidak, masih banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih oleh Amirul
Mukminin."
Ternyata sikap politik Abu Hanifah tetap saja
tidak mau masuk ke pusaran politik meskipun rezim telah berganti di tangan
Abbasiyah. Dia tak kunjung menemui Khalifah. Maka khalifah mengutus orang
memintanya menghadap, Abu Hanifah terpaksa pergi ke istana untuk memberitahu
penolakannya. Tapi khalifah memaksanya.
"Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya aku
tak pantas menjabat hakim," kata Abu Hanifah.
"Kamu bohong!," sergah khalifah.
”Kamu orang yang layak untuk jabatan itu.”
"Anda
telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka pembohong tak layak menjadi
hakim.”
Khalifah
menjadi murka dengan gaya bersilat lidah Abu Hanifah ini. Dia pun menjatuhkan
vonis hukuman cambuk seratus kali dan masuk penjara. Tapi setelah vonis itu
dilaksanakan, khalifah mendapat teguran dari kerabatnya atas hukuman terhadap
ulama alim itu.
Segera khalifah membebaskan Abu Hanifah dan
memberi ganti rugi 30.000 dirham. Tidak diduga Abu Hanifah menolak uang ganti
rugi. Sikapnya itu kembali membuat khalifah marah karena dianggap penghinaan.
Dia
perintahkan menjebloskan kembali Abu Hanifah ke penjara. Namun para menteri menyarankan
Abu Hanifah diberi hukuman rumah saja dan larangan menerima tamu. Abu Hanifah menerima
hukuman itu namun tidak lama kemudian tubuhnya menjadi sakit dan lemah.
Sakitnya makin parah. Akhirnya wafat di usia
68 tahun. Puluhan ribu orang melayat dan mengantarkan ke kuburnya di Al Khairazan,
Baghdad, sesuai wasiatnya. Menurut Abu
Hanifah, tanah kuburan itu baik karena bukan tanah curian.
Imam Abu Hanifah meninggalkan beberapa buku
karyanya. Dialah yang pertama kali menyusun kitab fiqih dengan pembahasan awal
dimulai dari bab taharah, salat dan seterusnya.
Metode ini kemudian diikuti oleh ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu
Dawud, Imam Bukhari, dan penulis lain.
Dibesarkan dalam keluarga saudagar. Bapaknya
adalah pengusaha kain di Pasar Kufah. Di sela waktu membantu bapaknya
berjualan, Abu Hanifah sering mengunjungi Masjid Kufah untuk mengaji kepada
ulama setempat. Dia mampu menghafal Alquran dan hadits.
Sewaktu
dia sendiri menjadi saudagar, kesukaannya mengaji makin besar sehingga berguru
kepada banyak ulama dan berdiskusi.
Kufah
saat itu adalah kota para ulama besar Iraq sehingga banyak orang luar
berdatangan untuk belajar agama.
Salah satu ulama tempat Abu Hanifah
mengaji adalah Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman. Dia berguru selama 18 tahun
hingga usianya 22 tahun. Juga berguru kepada ulama Makkah dan Madinah seperti sahabat Nabi, Malik bin Anas, kemudian Zaid bin Ali dan Ja'far
ash-Shadiq yang ahli urusan fiqih dan hadits.
Di
Kufah, ketika Syaikh Hammad berhalangan mengajar halaqah maka Abu Hanifah
diminta menggantikannya. Selain mengajarkan ilmunya dia juga menjawab
pertanyaan-pertanyaan peserta. Saat Syaikh Hammad wafat maka Abu Hanifah yang
terpilih menjadi guru meneruskan halaqah. Usianya waktu itu 40 tahun. (*)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar