Serangan bom bunuh diri dan tembakan yang terjadi di Jl. MH Thamrin,
Jakarta, Kamis, 14 Januari lalu kembali mengejutkan kita. Ada delapan orang
mati, termasuk empat orang pelaku serangan.
Peristiwa bom bunuh diri ini membuat kita berpikir, benarkah jalan
orang-orang yang menyatakan diri berjihad menegakkan syariat dan negara Islam
ini?
Di
kalangan para pejuang militan, serangan itu tidak disebut sebagai bom bunuh
diri tetapi bom syahid. Sebab ledakan bom yang menewaskan pembawanya itu diyakini
sebagai jalan menuju surga. Sayangnya, para militan yang telah mati karena bom
itu tidak dapat menceritakan kondisinya kepada manusia yang masih hidup apakah
dirinya masuk surga atau neraka. Walhasil kita yang masih hidup hanya
menduga-duga bagaimana kehidupan kembali orang-orang ini sesudah kematiannya.
Kita pun berbeda pendapat dalam
menafsiri tindakan pembawa bom ini.
Menurut sudut pandang
kaum militan, pelaku peledakan bom itu syahid karena niatnya untuk
menegakkan syariat Islam menurut kesanggupannya. Dalil populer yang diajukan
adalah Surat Al Anfal ayat 60 yang berbunyi: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, kamu menggentarkan
musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya.
Dalam situasi sekarang, menurut tafsir
kaum militan, kekuatan yang mampu dilakukan adalah meledakkan diri di tengah
sasaran yang dianggap musuh untuk menakuti dan menunjukkan eksistensinya.
Persoalan ada korban lain di luar sasaran, itu sudah nasib buruk si korban.
Ayat lain yang menjadi rujukan adalah
Al Baqarah 154 dan Ali Imron 169-170. Walaupun banyak orang menyebut pelaku bom
itu mati konyol dan sia-sia tapi tafsir kaum militan menyakini mereka hidup
bersenang-senang di surga. Janganlah kamu mengatakan orang yang
terbunuh di jalan Allah itu mati padahal mereka itu hidup tetapi kamu tidak
menyadarinya.
Sedangkan dalam surat Ali Imron
menyebutkan, jangan kamu menyangka orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati
padahal mereka hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki. Mereka
bersenang-senang dengan karunia Allah
yang diberikan kepadanya dan mereka bergembira terhadap orang yang masih
tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada rasa takut pada
mereka dan mereka tidak bersedih hati.
Hujah lain adalah cerita Ashabul Uhdud yang termuat dalam surat Al Buruj
dan secara detail dikisahkan dalam hadits Shahih Muslim. Diceritakan, seorang pemuda penyembah Allah divonis mati oleh penguasa
penganut agama musyrik. Tapi pelaksanaan
eksekusi mati gagal membunuhnya. Mulai
penyiksaan, melemparkan ke jurang, dan menenggelamkan
ke laut.
Di tengah kebingungan raja dan
eksekutor, pemuda itu malah berkata, ”Kamu tidak bisa membunuhku kecuali mengikuti
cara yang saya ajarkan kepadamu.”
Rahasianya ternyata japa mantra:
Bismillah, demi Tuhan pemuda ini. Kalimat itu harus diucapkan sebelum
membidikkan anak panah. Benar, pemuda itu pun mati. Tapi rakyat yang menyaksikan eksekusi itu
akhirnya beriman kepada Allah, tuhan pemuda ini. Raja marah melihat perubahan
itu dan membunuhi rakyat yang beriman dengan menceburkan ke parit berapi.
Menurut pandangan awam, bukankah pemuda
itu bunuh diri? Tapi karena kisah ini diceritakan oleh Nabi maka nilai pesannya
menjadi lain. Orang yang mati mempertahankan keimanan tauhid adalah syahid
meskipun sampai membunuh diri sendiri.
Sebagian dalil-dalil inilah yang diajarkan kaum militan kepada para
martir bom sehingga mereka mantap melangkah menyongsong kematiannya.
Kalaulah tafsiran mereka itu benar,
persoalannya adalah dapatkah dibenarkan sekelompok orang Islam menyerang sebagian orang Islam lainnya di sebuah negeri
yang aman seperti peledakan bom di Indonesia dan Turki?
Dalam rekaman video yang disiarkan TV,
kaum militan punya alasan. Mereka tidak memulai serangan tetapi penguasa yang
lebih dulu menyerang dengan operasi penumpasan terorisme. Kelompok militan
menyerang sebagai upaya balasan. Atas dasar inilah mereka menyatakan Indonesia
sebagai daerah perang.
Pemerintah pun berdalih, sudah
tugasnya melindungi keamanan warga,
menciptakan ketenangan, dan menjaga keutuhan negara dari gangguan radikalisme
dan separatisme. Maka sudah semestinya
menangkapi orang-orang yang membuat gangguan itu. Dengan cara halus maupun
keras. Siapapun penguasanya pasti berbuat
hal itu. Justru pemerintah dinilai bodoh dan lemah kalau membiarkan
gangguan ini merusak keamanan, kenyamanan rakyat, dan keutuhan negara.
Radikalisme, militanisme agama muncul
ketika terjadi ketimpangan antara
idealisme ajaran agama dan realitas kehidupan umat beragama. Di dunia Islam
ketimpangan itu mencolok mata terjadi di dunia internasional hingga lokal.
Contoh penindasan Israel atas rakyat Palestina sudah dianggap hal biasa tanpa
ada sanksi internasional. Lebih menyakitkan Israel malah dibela oleh AS.
Perpecahan di negara-negara Timur Tengah juga tak lepas dari intervensi Barat.
Karena itu kalau ada kelompok yang
berani melawan AS dan sekutunya selalu menarik minat pemuda Islam untuk
berpihak dan mendukungnya seperti munculnya
ISIS (Islamic State of Syiria-Iraq).
Itulah yang menarik minat kelompok Santoso di Poso mendeklarasikan bergabung
dengan ISIS dan berjuang di Indonesia.
Semua aktivis militan Islam memiliki cita-cita
hidup di negara Islam seperti pernah dibangun oleh Rasulullah. Menurut mereka, mewujudkan cita-cita itu dengan membentuk pasukan bersenjata merupakan keimanan yang tinggi derajatnya
dibandingkan berjuang dengan lisan
apalagi hanya berdoa.
Mengangkat senjata itu wajib ketika
melihat pemerintah suatu negara dinilai sebagai thagut karena bertindak
sewenang-wenang menangkapi aktivis, korup, dan hukum diperjualbelikan. Kalangan
militan tidak percaya dengan perjuangan partai Islam di parlemen mampu mengubah
keadaan sebab mereka juga korup.
Jika radikalisme ingin berkurang maka
pertama, pemerintah harus adil dan mampu memakmurkan rakyatnya. Kedua,
politikus partai Islam menunjukkan
perjuangan menegakkan syariat Islam dan ada hasilnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar