Selasa, 29 November 2016

Meluruskan Pemaknaan Allahu Ahad




Allah mengenalkan diri kepada makhluknya sebagai Ahad atau dzat tunggal yang menciptakan dan berkuasa atas seluruh alam semesta. Dalam praktiknya Allah dimaknai lain oleh manusia sehingga para nabi diutus untuk meluruskan pemaknaan yang menyimpang itu.
Hal itu disampaikan KH Sachroji Bisri saat kajian surat Al Ikhlas dalam Kajian Tafsir Alquran Berdasarkan Turunnya Wahyu dengan Pendekatan Strategi Taktik di Pesantren Mahasiswa Rausanfikr Surabaya, Sabtu (12/11). Pengajian itu juga mengupas surat An Najm.
Sebenarnya manusia sudah mengenal dzat Allah dan sifat-sifatnya. Tetapi dalam perkembangannya tidak hanya Allah saja yang disembah. Manusia menciptakan berhala-berhala yang katanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Manusia memahami Allah menurut persangkaannya sendiri yang malah menyesatkan. Mereka menolak mengikuti cara Nabi karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.
”Jadi Ahad itu lambang dzat Allah. Maka maknailah lambang itu sesuai dengan yang diajarkan nabi,” kata Bang Oji, panggilan akrab KH Sachroji Bisri. ”Tapi ada yang memaknai lain lambang itu yang tidak sesuai dengan nabi sehingga perlu diluruskan,” katanya.
Dia mencontohkan, orang Quraisy sudah mengenal Allah sebagai Tuhan. Namun untuk sampai kepada Allah menurut mereka perlu perantara berhala-berhala. Nabi Muhammad datang untuk mengembalikan lambang Ahad namun masyarakat menolak dan melawan Nabi karena sudah telanjur mapan dengan pemahaman syirik yang turun temurun itu.
”Sila pertama Pancasila semula itu lambang Ahad sebab Ketuhanan Yang Mahaesa awalnya menurut konsep Islam,” tutur murid KH Abdul Hamid yang punya jalur berguru kepada Syeikh Yasin Al Padangi. ”Tapi pemaknaan itu sekarang bisa berubah ketika ditafsiri oleh selain Islam,” sambung dia.
Dalam tafsir kenegaraan maka ajaran trinitas, paham trimurti, dan kepercayaan tahayul kepada danyang dimasukkan dalam pemaknaan Ketuhanan Yang Mahaesa. Dengan demikian makna Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Pancasila itu menjadi kabur. Pemaknaannya tidak khusus lagi tapi menjadi umum asal percaya Ketuhanan saja.
Pemaknaan lambang Ahad yang berbelok dari asalnya, sambung Bang Oji lagi, adalah ajaran tasawuf dari Ibnu Arabi yang populer disebut wahdatul wujud. Ibnu Arabi tidak pernah menamakan ajarannya dengan wahdatul wujud. Tapi para pengikutnya yang belakangan memberikan nama itu sebagai akibat pemahaman yang melenceng dari pemikiran Sang Guru.
Menurut pemikiran Ibnu Arabi, dzat Allah yang tunggal itu dapat dikenali eksistensi dan sifat-sifatnya dari alam semesta. Konsep ini populer disebut tajalli atau menampakkan. Alam semesta yang besar, agung, memberikan rahmat, hidup, dan lainnya mewakili sifat-sifat Allah seperti akbar, adhim, rahman, rahim, hayat dan seterusnya.
Manusia adalah penciptaan Allah paling sempurna karena selain jasad dan nafs (jiwa) dalam diri manusia juga ada ruh yakni potensi akal budi yang membuat manusia bisa berpikir. Manusia juga punya fuad yakni hati nurani. Karena kelengkapan penciptaan inilah manusia disebut insan kamil alias manusia sempurna. Kesempurnaan penciptaan manusia ini dipahami sebagai tajalli  dari Allah.
Pemikiran inilah kemudian dipahami bahwa alam semesta atau manusia itu merupakan perwujudan dari Allah.  Alam semesta adalah cermin Allah. Alam adalah makrokosmos dan Allah mikrokosmos yang sebenarnya adalah satu kesatuan.
Pemahaman ini di Jawa dikenal dengan ajaran Syeikh Siti Jenar yang menganggap dalam dirinya ada Tuhan sehingga tidak perlu menjalankan syariat. (sgp)


Sekularisasi



Respon masyarakat atas perkara penistaan agama oleh cagub Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) seperti menunjukkan adanya gejala arus sekularisasi makin menguat. Arus sekularisasi itu berani dinyatakan terbuka bahkan menantang. Inilah buah reformasi. Orang bebas mengungkapkan pendapat dan perasaan.
Kelompok yang menginginkan Ahok diproses hukum berasal dari masyarakat yang masih berpegang kepada nilai agama. Sebaliknya pembela Ahok lebih menganggap agama merupakan urusan pribadi individu dengan Tuhannya. Mereka menolak agama menjadi urusan publik termasuk membawa agama dalam politik dan urusan negara.
 Sekular maknanya dunia masa kini. Sekularisasi dapat dimaknai perubahan masyarakat menuju urusan keduniaan masa sekarang dengan meninggalkan atau memisahkan urusan agama. Menurut paham ini, urusan dunia sebaiknya diatur oleh hukum positif berdasarkan kesepakatan bersama. Hukum seperti ini dinilai lebih adil, egaliter, sesuai kebutuhan, non sektarian daripada hukum agama yang dinilai berpihak kepada agama mayoritas.
Gejala sekularisasi menguat setidaknya terjadi 20 tahun terakhir. Misalnya, munculnya kelompok Islam Liberal yang karena bosan dengan dogma agama tafsir masa lalu lalu membuang dan mengganti dengan dogma baru yang longgar.
Masalah lain, keberanian orang memperjuangkan homoseksual yang menuntut legalitas. Dulu berjuang perorangan, sekarang membentuk kelompok LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender) dan terang-terangan.
Contoh yang juga pernah memanas adalah usulan penghapusan pelajaran agama di sekolah. Alasannya, pelajaran agama bukan urusan negara, tapi urusan keluarga. Ketika semarak isu terorisme, tuntutan penghapusan pelajaran agama makin gencar. Bahkan ada yang menyarankan menutup sekolah Islam dan pondok pesantren.
Saran penghapusan kolom agama di KTP (Kartu Tanda Penduduk) juga sinyal orang-orang sekular berani keluar kandang. Isu ini muncul karena ada orang yang tidak mau lagi mengikuti aturan yang mengharuskan orang memilih enam agama resmi negara di kolom KTP.
Pemerintah menyikapi dengan pengosongan kolom KTP bagi yang menolak memilih agama resmi negara. Sebab pemerintah tidak boleh memaksa.
Perdebatan kasus penistaan agama oleh Ahok makin menjelaskan upaya gerakan sekularisasi negara ini. Saling serang antara pembela Ahok dengan kelompok penuntut hukuman gencar dilontarkan meskipun polisi sudah menetapkan Ahok sebagai tersangka.
Pembela Ahok menuduh kelompok penuntut hukuman sebagai sektarian, rasialis, memecah belah NKRI, anti Pancasila, memaksakan kehendak, kepentingan politik berkedok agama, ditunggangi aktor politik, pendemo bayaran.
Penuntut hukuman Ahok balik menuduh lawannya sebagai sekuler, pembela kafirun, antek aseng, menjual NKRI kepada Cina, neoliberalis, didanai asing, kristensisasi, anti Islam, juga memaksakan kehendak.
Kasus Ahok akhirnya menggelinding menjadi besar ketika banyak umat Islam terlibat yang akhirnya melahirkan demonstrasi 2,5 juta umat di Istana Negara. Demonstrasi ini terjadi karena kecewa dengan kerja polisi yang dianggap berpihak kepada Ahok.
Perdebatan argumentatif, diskusi, menghiasi TV, radio, koran, dan media online. Lebih tak terkendali olok-olokan di media sosial seperti facebook, twitter, blog, dan whatsapp. Perkara ini tidak menjadi jelas malah makin kabur dan sesat sebab terjadi  manipulasi data, informasi palsu, pemelintiran berita, dan keberpihakan media.
Inilah perkara yang memunculkan perangai asli rakyat negeri ini. Internet tidak saja memberikan kemudahan informasi yang cepat dan bermanfaat namun sekaligus media yang berperan menyesatkan orang dan menabur kebencian dengan sumpah serapah.
Akhirnya Ahok ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Tinggal mengawasi proses hukum di kejaksaan dan pengadilan. Meskipun begitu bukan berarti perdebatan berhenti. Dua kelompok sudah mengkristal menjadi kekuatan ideologis antara agamis dan sekularis.
Dua kelompok ini akan berlanjut menjadi pergulatan ideologis di ranah politik yang ingin menjadi kelompok dominan mengatur negara ini. Materi pedebatan yang bakal memanas adalah amandemen UUD 1945 yang dianggap semakin liberal.
Melawan kekuatan liberal ini, sekarang muncul kekuatan yang memperjuangkan kembali kepada UUD 1945 asli. Kelompok ini mulai mengkristal dan bakal bertarung dalam Pemilu 2019 dan Sidang MPR.
Setidaknya kristalisasi ini juga dipicu oleh ucapan Ahok yang menyebut demokrasi dan konstitusi tidak jalan selama minoritas belum ada yang menjadi presiden. Ahok pun bercita-cita menjadi presiden pertama dari minoritas. Sebab syarat menjadi presiden harus orang Indonesia asli tidak ada lagi.
Pertarungan ideologis antara Islam dan sekular berlangsung sepanjang zaman sejarah bangsa ini. Mulai zaman kerajaan, kedatangan bangsa Eropa, dan perjuangan kemerdekaan. Kristalisasi kekuatan tampak saat perjuangan mendirikan Republik Indonesia.
Perdebatan dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) setidaknya terpolarisasi dalam kelompok Islam yang memperjuangkan negara Islam dan kelompok sekular yang menginginkan negara sekular.
Perdebatan itu mencapai kompromi dengan melahirkan Pancasila dan UUD 1945. Tidak dipungkiri konstitusi itu mendapat pengaruh Islam dalam mengatur tata negara seperti MPR, tak lain adalah Majelis Syuro. Presiden diangkat MPR tak lain sebagai tanfidziyah. DPR sebagai pengawas. Begitu juga rumusan ekonomi yang bertumpu kepada kepentingan rakyat. Sila pertama Pancasila memberi penghargaan besar kepada aturan Islam sebagai agama dominan.
Tapi pengkhianatan terjadi menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Draft Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disahkan sidang PPKI diubah sepihak atas perintah Sukarno atas dasar informasi yang tidak jelas. Pengubahan inkonstitusional ini menghilangkan tujuh kata sila pertama Pancasila dan pasal yang berkaitan dalam UUD. 
Zaman reformasi, UUD 1945 diamandemen karena dinilai ketinggalan zaman. Maka  MPR tidak berfungsi sebagai Majelis Syuro penentu GBHN. Presiden lebih berkuasa karena dipilih langsung rakyat. Ekonomi kerakyatan berubah menjadi liberal.  (*)


Al Fiil dan Kegaduhan Politik





Bangsa Quraisy memiliki kebanggaan sejarah masa lalu. Yakni dibela oleh Allah ketika tentara gajah pimpinan Abraha dari Yaman menyerang kota Mekkah.  Penduduk Mekkah yang memilih mengungsi karena tidak berdaya menghadang kekuatan besar itu ternyata ditolong oleh Allah dengan menurunkan burung ababil dengan membawa senjata mematikan.
Hal itu disampaikan KH Sachroji Bisri saat kajian surat Al Fiil dalam Kajian Tafsir Alquran Berdasarkan Turunnya Wahyu dengan Pendekatan Stategi Taktik di Pesantren Mahasiswa Rausanfikr Surabaya, Sabtu (15/10). Pengajian itu juga mengupas surat Al Kaafiruun dan Al Falaq.
Kebanggaan masa lalu itu, ujar Bang Oji, panggilan akrabnya, membuat bangsa Quraisy memiliki anggapan bahwa kepercayaan ideologi dan ibadah yang dianutnya benar. Kepercayaan yang dikira bisa mendekatkan kepada Allah. Padahal dalam perjalanan waktu, kepercayaan itu suka dimanipulasi oleh elite masyarakat untuk kepentingan politiknya. Demi mempertahankan kemapanan yang sudah dinikmati.
Manipulasi kepercayaan itu membuat bangsa Quraisy terjerumus dalam ritual syirik. Mereka meyakini Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta namun juga percaya penyembahan lain sebagai perantara doa kepada Allah. Kepercayaan ini membawa masyarakat kepada kesesatan.
Kondisi itulah yang bisa dipahami hikmahnya kenapa Allah menurunkan kepada Nabi Muhammad surat Al Fiil. Lewat surat itu Nabi mengingatkan agar masyarakat kembali kepada tauhid, hanya menyembah Allah yang pernah menolongnya.
Alam yaj’al kaidahum fii tadhliil, bukankah dia, Allah, menjadikan strategi taktik mereka menyerang kakbah dalam kegagalan?” kata Bang Oji menerangkan makna ayat kedua.
Ayat berikutnya wa arsala alaihim thoiron abaabiil. ”Burung ababil itu sampai sekarang tidak diketahui jenisnya. Ababil artinya kawanan. Tapi apakah itu benar burung? Anggapan orang zaman dulu benda yang terbang di angkasa disebut thoiron, burung. Zaman sekarang bisa jadi jet tempur, drone,” kata Bang Oji yang pernah berguru kepada KH Syamsuri Badawi dari Ponpes Tebu Ireng.
Begitu pula ayat tarmihim bihijarotin min sijjil  suka menimbulkan pertanyaan. Sebab sijjil artinya tanah yang dibakar. Tapi kemudian dipahami tanah terbakar yang panas itu berasal dari neraka.  Bagaimana dapat dijelaskan burung yang berada di alam ghaib neraka itu dapat muncul di alam syahadah? Begitu pula bagaimana dapat dijelaskan,  burung dapat membawa batu panas terbakar tanpa dirinya terbakar? Padahal batu itu ketika dilemparkan ke musuh, maka tubuh tentara dan gajahnya hancur seperti dimakan ulat.
Dijelaskan, peristiwa itu memang dahsyat. ’Burung’ ababil tentu sangat istimewa sehingga menabrak logika manusia. Misi penting surat Al Fiil, Allah ingin membuka kembali memori bangsa Quraisy tentang bala tentara pasukan gajah yang kuat itu dapat hancur lebur seperti daun lumat dimakan binatang. Ketika tidak berdaya kemudian mereka pasrah maka Allah mengirimkan kekuatan yang tidak disangka-sangka datangnya menyelamatkan mereka.
Penerapan dalam kehidupan kita, sambung Bang Oji, ketika berdakwah pahami ideologi negara ini, sejarah masa lalunya. Siapa saja yang berperan mendirikan dan membela bangsa ini. Setelah itu susun strategi dakwah yang tepat  sehingga ketika dakwah menyinggung negara tidak membuat gaduh. (sgp)

Al Maidah 51



Surat Al Maidah : 51 merupakan ayat populer di  kalangan juru dakwah dan aktivis Islam. Belakangan ini menjadi sangat populer dan memicu perdebatan gara-gara disebut oleh Gubernur DKI Jakarta, Ahok, alias Basuki Tjahaja Purnama.
Ahok memang tidak menafsirkan ayat Alquran itu. Tapi kalimat yang diucapkan: …dibohongin pakai  surat Al Maidah : 51…, jelas saja memicu kemarahan umat Islam. Tak pelak, aksi demonstrasi meminta Ahok diadili karena  melecehkan Alquran merebak di  penjuru kota. Bukan hanya di DKI Jakarta. Sebab masalah ini memang tidak berkaitan dengan Pilkada DKI tapi menyinggung seluruh umat Islam.
Kalimat Ahok yang disampaikan saat kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kep. Seribu itu ditafsiri bagaimana pun mengandung maksud negatif. Pertama, bisa berarti orang berbohong dengan memakai dalil  Al Maidah : 51. Kedua, Al Maidah ayat 51 itu yang bohong.
Arti ayat Al Maidah : 51 sebenarnya gamblang. Tanpa tafsir dan penjelasan orang yang membaca pasti paham dan mengerti.  Bunyi ayat itu adalah Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi  wali-wali,  sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai  wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.
Wali atau jamaknya auliya’ dapat berarti pemimpin, pelindung, kawan setia, orang terkasih. Apa pun makna wali yang diberikan dalam ayat itu memang tergantung konteknya. Untuk Pilgub tentu saja yang tepat memberi makna pemimpin.
Maksud Ahok dengan pilihan kata dibohongin pakai surat Al Maidah 51 sepertinya ingin menyampaikan bahwa ada orang berbohong dengan memakai dalil Al Maidah : 51. Ini berkaitan dengan pengalaman dia waktu kampanye pemilihan Bupati Belitung Timur. Juru kampanye lawan politiknya rupanya memakai ayat itu untuk menyudutkan dia sebagai orang Cina dan Kristen agar tidak terpilih.
Herannya, Belitung Timur yang mayoritas penduduknya muslim justru memilih Ahok sehingga dia menang menjadi bupati menyingkirkan calon bupati muslim. Bahkan dia terpilih dua kali. Pengalaman ini agaknya membuat dia punya kepercayaan diri yang kuat dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Bahwa kampanye memakai Al Maidah : 51 tidak berpengaruh kepada rakyat.
Sayangnya, kepercayaan diri itu tidak diimbangi dengan komunikasi dan tutur bahasa yang baik dari Ahok layaknya seorang pemimpin. Tutur bahasa Ahok sangat kasar, suka mencaci maki, dan bersikap arogan. Dia suka menantang. Mungkin karena percaya dirinya kelewat besar.   
Rupanya Ahok tidak menyadari bahwa Jakarta sangat berbeda jauh dengan Belitung Timur. Dia anggap orang Jakarta dan situasi sosial politiknya sama saja dengan desanya. Di desanya dulu dia berbuat semaunya, mengumpat dan menggusur orang, satu pun tidak menjadi berita nasional. Tapi sekarang di Jakarta, apa pun yang dia perbuat dan omongkan langsung menjadi sorotan nasional.
Sekarang Ahok tersandung batu yang dia lemparkan. Dia terbelit lidahnya sendiri. Kebiasaannya berkata kasar dan seenaknya akhirnya berbalik menghantam dirinya. Seandainya saja, dia mau sopan sedikit dengan tidak memakai kata dibohongin, kemarahan umat Islam tidak akan tersulut.
Pelaporan dan demonstrasi menuntut Ahok diadili dengan tuduhan penistaan Alquran terus menggelinding. Kini keputusan di tangan polisi. Memang dia sudah meminta maaf. Namun penistaan Alquran yang telah dilakukan harus dipertanggungjawabkan.
Bila polisi mengabaikan tuntutan ini padahal syarat pemeriksaan terhadap Ahok sudah terpenuhi maka benarlah pendapat orang bahwa polisi dikendalikan oleh elite politik untuk mengamankan Ahok di Pilgub DKI Jakarta. Tentu saja sikap abai ini dianggap pelecehan terhadap umat Islam dan dikhawatirkan memicu gejolak sosial lebih parah.


Belajar dari kasus Ahok ini, umat Islam semestinya memahami  Al Maidah : 51 secara lugas tanpa kepentingan politik.  Sebab ayat  ini maknanya gamblang terang benderang. Jangan dipelintir dan dibelit-belitkan karena membela kepentingan seorang Kristen atau Yahudi.
Apalagi sampai menciptakan jargon: lebih baik dipimpin kafir adil daripada dipimpin muslim tapi dholim. Orang Islam yang memakai jargon ini dalam kepentingan Pilgub DKI Jakarta sungguh telah ikut menjatuhkan martabat orang muslim.
Jika membaca asbabun nuzul Al Maidah : 51 maka dapat dipahami kenapa Yahudi dan Nasrani tidak boleh menjadi kawan untuk memegang urusan umat Islam. Diceritakan, ketika pecah perang dengan kaum Yahudi Bani Qainuqa, kaum muslim Madinah sebelumnya terikat perjanjian damai  dan saling membela dengan kaum Yahudi itu.
 Tokoh Madinah,  Abdullah bin Ubay, dan pengikutnya, demi kepentingan politik dan kedudukannya menyatakan berdiam diri, tidak memihak, bersikap netral. Tapi orang Madinah militan dipimpin Ubadah bin Shamit  menghadap Rasulullah menyatakan berpihak kepada Islam dan memutuskan perjanjian itu.
Abdullah bin Ubay meskipun menyatakan netral sebenarnya condong berpihak kepada Yahudi  sebab selama ini dia sudah berteman akrab dengan mereka dan menguntungkan. Allah menjelaskan dalam ayat 52, maka kamu akan melihat orang-orang yang hatinya ada penyakit segera mendekati mereka sambil berkata,”Kami takut mendapat bencana.”
Orang yang merapat dan menjadi pembela Ahok merasa inilah calon gubernur dalam Pilgub 2017 yang menguntungkan dan bakal menang menurut survei. Kalau berpihak kepada cagub muslim, mereka takut mendapat bencana kekalahan. (*)