Respon
masyarakat atas perkara penistaan agama oleh cagub Ahok (Basuki Tjahaja
Purnama) seperti menunjukkan adanya gejala arus sekularisasi makin menguat.
Arus sekularisasi itu berani dinyatakan terbuka bahkan menantang. Inilah buah
reformasi. Orang bebas mengungkapkan pendapat dan perasaan.
Kelompok
yang menginginkan Ahok diproses hukum berasal dari masyarakat yang masih
berpegang kepada nilai agama. Sebaliknya pembela Ahok lebih menganggap agama
merupakan urusan pribadi individu dengan Tuhannya. Mereka menolak agama menjadi
urusan publik termasuk membawa agama dalam politik dan urusan negara.
Sekular maknanya dunia masa kini. Sekularisasi
dapat dimaknai perubahan masyarakat menuju urusan keduniaan masa sekarang
dengan meninggalkan atau memisahkan urusan agama. Menurut paham ini, urusan
dunia sebaiknya diatur oleh hukum positif berdasarkan kesepakatan bersama.
Hukum seperti ini dinilai lebih adil, egaliter, sesuai kebutuhan, non sektarian
daripada hukum agama yang dinilai berpihak kepada agama mayoritas.
Gejala
sekularisasi menguat setidaknya terjadi 20 tahun terakhir. Misalnya, munculnya
kelompok Islam Liberal yang karena bosan dengan dogma agama tafsir masa lalu
lalu membuang dan mengganti dengan dogma baru yang longgar.
Masalah
lain, keberanian orang memperjuangkan homoseksual yang menuntut legalitas. Dulu
berjuang perorangan, sekarang membentuk kelompok LGBT (Lesbian Gay Biseksual
Transgender) dan terang-terangan.
Contoh
yang juga pernah memanas adalah usulan penghapusan pelajaran agama di sekolah.
Alasannya, pelajaran agama bukan urusan negara, tapi urusan keluarga. Ketika
semarak isu terorisme, tuntutan penghapusan pelajaran agama makin gencar.
Bahkan ada yang menyarankan menutup sekolah Islam dan pondok pesantren.
Saran
penghapusan kolom agama di KTP (Kartu Tanda Penduduk) juga sinyal orang-orang
sekular berani keluar kandang. Isu ini muncul karena ada orang yang tidak mau
lagi mengikuti aturan yang mengharuskan orang memilih enam agama resmi negara
di kolom KTP.
Pemerintah
menyikapi dengan pengosongan kolom KTP bagi yang menolak memilih agama resmi
negara. Sebab pemerintah tidak boleh memaksa.
Perdebatan
kasus penistaan agama oleh Ahok makin menjelaskan upaya gerakan sekularisasi
negara ini. Saling serang antara pembela Ahok dengan kelompok penuntut hukuman
gencar dilontarkan meskipun polisi sudah menetapkan Ahok sebagai tersangka.
Pembela
Ahok menuduh kelompok penuntut hukuman sebagai sektarian, rasialis, memecah
belah NKRI, anti Pancasila, memaksakan kehendak, kepentingan politik berkedok
agama, ditunggangi aktor politik, pendemo bayaran.
Penuntut
hukuman Ahok balik menuduh lawannya sebagai sekuler, pembela kafirun, antek
aseng, menjual NKRI kepada Cina, neoliberalis, didanai asing, kristensisasi,
anti Islam, juga memaksakan kehendak.
Kasus Ahok
akhirnya menggelinding menjadi besar ketika banyak umat Islam terlibat yang
akhirnya melahirkan demonstrasi 2,5 juta umat di Istana Negara. Demonstrasi ini
terjadi karena kecewa dengan kerja polisi yang dianggap berpihak kepada Ahok.
Perdebatan
argumentatif, diskusi, menghiasi TV, radio, koran, dan media online. Lebih tak
terkendali olok-olokan di media sosial seperti facebook, twitter, blog, dan
whatsapp. Perkara ini tidak menjadi jelas malah makin kabur dan sesat sebab
terjadi manipulasi data, informasi
palsu, pemelintiran berita, dan keberpihakan media.
Inilah
perkara yang memunculkan perangai asli rakyat negeri ini. Internet tidak saja
memberikan kemudahan informasi yang cepat dan bermanfaat namun sekaligus media yang
berperan menyesatkan orang dan menabur kebencian dengan sumpah serapah.
Akhirnya
Ahok ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Tinggal mengawasi proses hukum
di kejaksaan dan pengadilan. Meskipun begitu bukan berarti perdebatan berhenti.
Dua kelompok sudah mengkristal menjadi kekuatan ideologis antara agamis dan
sekularis.
Dua
kelompok ini akan berlanjut menjadi pergulatan ideologis di ranah politik yang
ingin menjadi kelompok dominan mengatur negara ini. Materi pedebatan yang bakal
memanas adalah amandemen UUD 1945 yang dianggap semakin liberal.
Melawan
kekuatan liberal ini, sekarang muncul kekuatan yang memperjuangkan kembali
kepada UUD 1945 asli. Kelompok ini mulai mengkristal dan bakal bertarung dalam
Pemilu 2019 dan Sidang MPR.
Setidaknya
kristalisasi ini juga dipicu oleh ucapan Ahok yang menyebut demokrasi dan
konstitusi tidak jalan selama minoritas belum ada yang menjadi presiden. Ahok
pun bercita-cita menjadi presiden pertama dari minoritas. Sebab syarat menjadi
presiden harus orang Indonesia asli tidak ada lagi.
Pertarungan
ideologis antara Islam dan sekular berlangsung sepanjang zaman sejarah bangsa
ini. Mulai zaman kerajaan, kedatangan bangsa Eropa, dan perjuangan kemerdekaan.
Kristalisasi kekuatan tampak saat perjuangan mendirikan Republik Indonesia.
Perdebatan
dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) setidaknya terpolarisasi
dalam kelompok Islam yang memperjuangkan negara Islam dan kelompok sekular yang
menginginkan negara sekular.
Perdebatan
itu mencapai kompromi dengan melahirkan Pancasila dan UUD 1945. Tidak
dipungkiri konstitusi itu mendapat pengaruh Islam dalam mengatur tata negara
seperti MPR, tak lain adalah Majelis Syuro. Presiden diangkat MPR tak lain
sebagai tanfidziyah. DPR sebagai pengawas. Begitu juga rumusan ekonomi yang
bertumpu kepada kepentingan rakyat. Sila pertama Pancasila memberi penghargaan
besar kepada aturan Islam sebagai agama dominan.
Tapi
pengkhianatan terjadi menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Draft Pancasila dan UUD
1945 yang sudah disahkan sidang PPKI diubah sepihak atas perintah Sukarno atas
dasar informasi yang tidak jelas. Pengubahan inkonstitusional ini menghilangkan
tujuh kata sila pertama Pancasila dan pasal yang berkaitan dalam UUD.
Zaman
reformasi, UUD 1945 diamandemen karena dinilai ketinggalan zaman. Maka MPR tidak berfungsi sebagai Majelis Syuro
penentu GBHN. Presiden lebih berkuasa karena dipilih langsung rakyat. Ekonomi
kerakyatan berubah menjadi liberal. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar