Selasa, 29 November 2016

Sekularisasi



Respon masyarakat atas perkara penistaan agama oleh cagub Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) seperti menunjukkan adanya gejala arus sekularisasi makin menguat. Arus sekularisasi itu berani dinyatakan terbuka bahkan menantang. Inilah buah reformasi. Orang bebas mengungkapkan pendapat dan perasaan.
Kelompok yang menginginkan Ahok diproses hukum berasal dari masyarakat yang masih berpegang kepada nilai agama. Sebaliknya pembela Ahok lebih menganggap agama merupakan urusan pribadi individu dengan Tuhannya. Mereka menolak agama menjadi urusan publik termasuk membawa agama dalam politik dan urusan negara.
 Sekular maknanya dunia masa kini. Sekularisasi dapat dimaknai perubahan masyarakat menuju urusan keduniaan masa sekarang dengan meninggalkan atau memisahkan urusan agama. Menurut paham ini, urusan dunia sebaiknya diatur oleh hukum positif berdasarkan kesepakatan bersama. Hukum seperti ini dinilai lebih adil, egaliter, sesuai kebutuhan, non sektarian daripada hukum agama yang dinilai berpihak kepada agama mayoritas.
Gejala sekularisasi menguat setidaknya terjadi 20 tahun terakhir. Misalnya, munculnya kelompok Islam Liberal yang karena bosan dengan dogma agama tafsir masa lalu lalu membuang dan mengganti dengan dogma baru yang longgar.
Masalah lain, keberanian orang memperjuangkan homoseksual yang menuntut legalitas. Dulu berjuang perorangan, sekarang membentuk kelompok LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender) dan terang-terangan.
Contoh yang juga pernah memanas adalah usulan penghapusan pelajaran agama di sekolah. Alasannya, pelajaran agama bukan urusan negara, tapi urusan keluarga. Ketika semarak isu terorisme, tuntutan penghapusan pelajaran agama makin gencar. Bahkan ada yang menyarankan menutup sekolah Islam dan pondok pesantren.
Saran penghapusan kolom agama di KTP (Kartu Tanda Penduduk) juga sinyal orang-orang sekular berani keluar kandang. Isu ini muncul karena ada orang yang tidak mau lagi mengikuti aturan yang mengharuskan orang memilih enam agama resmi negara di kolom KTP.
Pemerintah menyikapi dengan pengosongan kolom KTP bagi yang menolak memilih agama resmi negara. Sebab pemerintah tidak boleh memaksa.
Perdebatan kasus penistaan agama oleh Ahok makin menjelaskan upaya gerakan sekularisasi negara ini. Saling serang antara pembela Ahok dengan kelompok penuntut hukuman gencar dilontarkan meskipun polisi sudah menetapkan Ahok sebagai tersangka.
Pembela Ahok menuduh kelompok penuntut hukuman sebagai sektarian, rasialis, memecah belah NKRI, anti Pancasila, memaksakan kehendak, kepentingan politik berkedok agama, ditunggangi aktor politik, pendemo bayaran.
Penuntut hukuman Ahok balik menuduh lawannya sebagai sekuler, pembela kafirun, antek aseng, menjual NKRI kepada Cina, neoliberalis, didanai asing, kristensisasi, anti Islam, juga memaksakan kehendak.
Kasus Ahok akhirnya menggelinding menjadi besar ketika banyak umat Islam terlibat yang akhirnya melahirkan demonstrasi 2,5 juta umat di Istana Negara. Demonstrasi ini terjadi karena kecewa dengan kerja polisi yang dianggap berpihak kepada Ahok.
Perdebatan argumentatif, diskusi, menghiasi TV, radio, koran, dan media online. Lebih tak terkendali olok-olokan di media sosial seperti facebook, twitter, blog, dan whatsapp. Perkara ini tidak menjadi jelas malah makin kabur dan sesat sebab terjadi  manipulasi data, informasi palsu, pemelintiran berita, dan keberpihakan media.
Inilah perkara yang memunculkan perangai asli rakyat negeri ini. Internet tidak saja memberikan kemudahan informasi yang cepat dan bermanfaat namun sekaligus media yang berperan menyesatkan orang dan menabur kebencian dengan sumpah serapah.
Akhirnya Ahok ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Tinggal mengawasi proses hukum di kejaksaan dan pengadilan. Meskipun begitu bukan berarti perdebatan berhenti. Dua kelompok sudah mengkristal menjadi kekuatan ideologis antara agamis dan sekularis.
Dua kelompok ini akan berlanjut menjadi pergulatan ideologis di ranah politik yang ingin menjadi kelompok dominan mengatur negara ini. Materi pedebatan yang bakal memanas adalah amandemen UUD 1945 yang dianggap semakin liberal.
Melawan kekuatan liberal ini, sekarang muncul kekuatan yang memperjuangkan kembali kepada UUD 1945 asli. Kelompok ini mulai mengkristal dan bakal bertarung dalam Pemilu 2019 dan Sidang MPR.
Setidaknya kristalisasi ini juga dipicu oleh ucapan Ahok yang menyebut demokrasi dan konstitusi tidak jalan selama minoritas belum ada yang menjadi presiden. Ahok pun bercita-cita menjadi presiden pertama dari minoritas. Sebab syarat menjadi presiden harus orang Indonesia asli tidak ada lagi.
Pertarungan ideologis antara Islam dan sekular berlangsung sepanjang zaman sejarah bangsa ini. Mulai zaman kerajaan, kedatangan bangsa Eropa, dan perjuangan kemerdekaan. Kristalisasi kekuatan tampak saat perjuangan mendirikan Republik Indonesia.
Perdebatan dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) setidaknya terpolarisasi dalam kelompok Islam yang memperjuangkan negara Islam dan kelompok sekular yang menginginkan negara sekular.
Perdebatan itu mencapai kompromi dengan melahirkan Pancasila dan UUD 1945. Tidak dipungkiri konstitusi itu mendapat pengaruh Islam dalam mengatur tata negara seperti MPR, tak lain adalah Majelis Syuro. Presiden diangkat MPR tak lain sebagai tanfidziyah. DPR sebagai pengawas. Begitu juga rumusan ekonomi yang bertumpu kepada kepentingan rakyat. Sila pertama Pancasila memberi penghargaan besar kepada aturan Islam sebagai agama dominan.
Tapi pengkhianatan terjadi menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Draft Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disahkan sidang PPKI diubah sepihak atas perintah Sukarno atas dasar informasi yang tidak jelas. Pengubahan inkonstitusional ini menghilangkan tujuh kata sila pertama Pancasila dan pasal yang berkaitan dalam UUD. 
Zaman reformasi, UUD 1945 diamandemen karena dinilai ketinggalan zaman. Maka  MPR tidak berfungsi sebagai Majelis Syuro penentu GBHN. Presiden lebih berkuasa karena dipilih langsung rakyat. Ekonomi kerakyatan berubah menjadi liberal.  (*)


Tidak ada komentar: