Selasa, 29 November 2016

Al Maidah 51



Surat Al Maidah : 51 merupakan ayat populer di  kalangan juru dakwah dan aktivis Islam. Belakangan ini menjadi sangat populer dan memicu perdebatan gara-gara disebut oleh Gubernur DKI Jakarta, Ahok, alias Basuki Tjahaja Purnama.
Ahok memang tidak menafsirkan ayat Alquran itu. Tapi kalimat yang diucapkan: …dibohongin pakai  surat Al Maidah : 51…, jelas saja memicu kemarahan umat Islam. Tak pelak, aksi demonstrasi meminta Ahok diadili karena  melecehkan Alquran merebak di  penjuru kota. Bukan hanya di DKI Jakarta. Sebab masalah ini memang tidak berkaitan dengan Pilkada DKI tapi menyinggung seluruh umat Islam.
Kalimat Ahok yang disampaikan saat kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kep. Seribu itu ditafsiri bagaimana pun mengandung maksud negatif. Pertama, bisa berarti orang berbohong dengan memakai dalil  Al Maidah : 51. Kedua, Al Maidah ayat 51 itu yang bohong.
Arti ayat Al Maidah : 51 sebenarnya gamblang. Tanpa tafsir dan penjelasan orang yang membaca pasti paham dan mengerti.  Bunyi ayat itu adalah Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi  wali-wali,  sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai  wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.
Wali atau jamaknya auliya’ dapat berarti pemimpin, pelindung, kawan setia, orang terkasih. Apa pun makna wali yang diberikan dalam ayat itu memang tergantung konteknya. Untuk Pilgub tentu saja yang tepat memberi makna pemimpin.
Maksud Ahok dengan pilihan kata dibohongin pakai surat Al Maidah 51 sepertinya ingin menyampaikan bahwa ada orang berbohong dengan memakai dalil Al Maidah : 51. Ini berkaitan dengan pengalaman dia waktu kampanye pemilihan Bupati Belitung Timur. Juru kampanye lawan politiknya rupanya memakai ayat itu untuk menyudutkan dia sebagai orang Cina dan Kristen agar tidak terpilih.
Herannya, Belitung Timur yang mayoritas penduduknya muslim justru memilih Ahok sehingga dia menang menjadi bupati menyingkirkan calon bupati muslim. Bahkan dia terpilih dua kali. Pengalaman ini agaknya membuat dia punya kepercayaan diri yang kuat dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Bahwa kampanye memakai Al Maidah : 51 tidak berpengaruh kepada rakyat.
Sayangnya, kepercayaan diri itu tidak diimbangi dengan komunikasi dan tutur bahasa yang baik dari Ahok layaknya seorang pemimpin. Tutur bahasa Ahok sangat kasar, suka mencaci maki, dan bersikap arogan. Dia suka menantang. Mungkin karena percaya dirinya kelewat besar.   
Rupanya Ahok tidak menyadari bahwa Jakarta sangat berbeda jauh dengan Belitung Timur. Dia anggap orang Jakarta dan situasi sosial politiknya sama saja dengan desanya. Di desanya dulu dia berbuat semaunya, mengumpat dan menggusur orang, satu pun tidak menjadi berita nasional. Tapi sekarang di Jakarta, apa pun yang dia perbuat dan omongkan langsung menjadi sorotan nasional.
Sekarang Ahok tersandung batu yang dia lemparkan. Dia terbelit lidahnya sendiri. Kebiasaannya berkata kasar dan seenaknya akhirnya berbalik menghantam dirinya. Seandainya saja, dia mau sopan sedikit dengan tidak memakai kata dibohongin, kemarahan umat Islam tidak akan tersulut.
Pelaporan dan demonstrasi menuntut Ahok diadili dengan tuduhan penistaan Alquran terus menggelinding. Kini keputusan di tangan polisi. Memang dia sudah meminta maaf. Namun penistaan Alquran yang telah dilakukan harus dipertanggungjawabkan.
Bila polisi mengabaikan tuntutan ini padahal syarat pemeriksaan terhadap Ahok sudah terpenuhi maka benarlah pendapat orang bahwa polisi dikendalikan oleh elite politik untuk mengamankan Ahok di Pilgub DKI Jakarta. Tentu saja sikap abai ini dianggap pelecehan terhadap umat Islam dan dikhawatirkan memicu gejolak sosial lebih parah.


Belajar dari kasus Ahok ini, umat Islam semestinya memahami  Al Maidah : 51 secara lugas tanpa kepentingan politik.  Sebab ayat  ini maknanya gamblang terang benderang. Jangan dipelintir dan dibelit-belitkan karena membela kepentingan seorang Kristen atau Yahudi.
Apalagi sampai menciptakan jargon: lebih baik dipimpin kafir adil daripada dipimpin muslim tapi dholim. Orang Islam yang memakai jargon ini dalam kepentingan Pilgub DKI Jakarta sungguh telah ikut menjatuhkan martabat orang muslim.
Jika membaca asbabun nuzul Al Maidah : 51 maka dapat dipahami kenapa Yahudi dan Nasrani tidak boleh menjadi kawan untuk memegang urusan umat Islam. Diceritakan, ketika pecah perang dengan kaum Yahudi Bani Qainuqa, kaum muslim Madinah sebelumnya terikat perjanjian damai  dan saling membela dengan kaum Yahudi itu.
 Tokoh Madinah,  Abdullah bin Ubay, dan pengikutnya, demi kepentingan politik dan kedudukannya menyatakan berdiam diri, tidak memihak, bersikap netral. Tapi orang Madinah militan dipimpin Ubadah bin Shamit  menghadap Rasulullah menyatakan berpihak kepada Islam dan memutuskan perjanjian itu.
Abdullah bin Ubay meskipun menyatakan netral sebenarnya condong berpihak kepada Yahudi  sebab selama ini dia sudah berteman akrab dengan mereka dan menguntungkan. Allah menjelaskan dalam ayat 52, maka kamu akan melihat orang-orang yang hatinya ada penyakit segera mendekati mereka sambil berkata,”Kami takut mendapat bencana.”
Orang yang merapat dan menjadi pembela Ahok merasa inilah calon gubernur dalam Pilgub 2017 yang menguntungkan dan bakal menang menurut survei. Kalau berpihak kepada cagub muslim, mereka takut mendapat bencana kekalahan. (*)

Tidak ada komentar: