November 1992, ketika Xanana Gusmao, pemimpin Falintil,
digerebek dari tempat persembunyiannya oleh TNI, pemerintah lantas mengumumkan
berita: Gembong GPK (Gerombolan Pengacau
Keamanan) Timor Timur Ditangkap.
Orang yang dicap sebagai gembong GPK itu kemudian disidang di Jakarta dan
dijebloskan ke penjara Cipinang.
Tujuh tahun sesudah itu situasi politik berubah setelah
berhembus badai reformasi. Presiden Habibie menyetujui referendum untuk rakyat
Timor Timur. Hasilnya provinsi itu merdeka. Yang terjadi kemudian adalah rakyat
mengelu-elukan Xanana Gusmao sebagai simbol perjuangan dan pemersatu bangsa.
Akhirnya dia terpilih menjadi presiden negara baru itu tahun 2002. Dia yang
semula dicap sebagai pemberontak berubah menjadi pahlawan.
Lebih aneh lagi, Ramos Horta dan Uskup Belo malah mendapat
hadiah Nobel Perdamaian. Padahal dua orang itu dituding pemerintah RI sebagai
provokator dan pemicu konflik di Timtim lewat propagandanya yang menebar kebencian
terhadap pemerintah Indonesia.
Kisah seperti ini banyak menghiasi lembaran sejarah bangsa.
Sukarno pun pernah dicap sebagai pengacau oleh pemerintah kolonial. Pledoi yang
dibacakannya di pengadilan kemudian terkenal sebagai risalah dengan judul Indonesia Menggugat. Akhirnya dia dipenjara di Sukamiskin, Bandung,
sebagai pemberontak.
Puluhan tahun kemudian situasi berubah. Sukarno dielu-elukan
rakyat dan diangkat sebagai presiden setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan.
Maka cap pada diri Sukarno berubah menjadi pahlawan. Tapi ironinya, selama
Sukarno menjabat presiden dia juga membuat cap pemberontak untuk teman-teman
seperjuangan yang tidak sejalan dengan arah pemerintahannya.
Tak pelak orang-orang yang berjasa pada negara ini seperti
Syafruddin Prawiranegara, Sumitro Djojohadikusumo, Hamka, Tan Malaka,
Kartosuwiryo, dan sederet nama lain diposisikan sebagai pemberontak karena
melawan Sukarno. Setelah reformasi, anehnya sebagian dari pemberontak itu
mendapat gelar pahlawan nasional dari negara.
Inilah kenisbian sejarah. Pahlawan atau pemberontak hanya
sebatas garis tipis yang gampang terbalik tergantung dari siapa yang berkuasa.
Ini juga ironi sejarah. Orang yang semula dihujat, dihina, dipersalahkan,
dipenjara, suatu ketika berubah menjadi orang yang ditunggu, dipuja-puja, dan dimuliakan
ditempatkan pada posisi terbaik.
Sebaliknya ada pemimpin negara yang awalnya sangat dihormati,
dipuji-puji, dimuliakan, ditakuti pada akhirnya menjelma menjadi orang yang
terhinakan, terhujat, dan menjadi tumpuan kesalahan rezim sepanjang waktu.
Sebutan pahlawan dan pemberontak sepertinya mengikuti hukum
relativitas. Karena dia bergantung dari posisi mana melihatnya. Situasi ini
adakalanya menimbulkan keprihatinan sebab ukuran dan penilaiannya yang sangat
subjektif bisa memicu kontroversi di
kelompok masyarakat.
Contoh, sewaktu Anak Agung Gede Agung diberi gelar pahlawan
nasional, ada sekelompok orang dari Bali yang protes. Menurut mereka, gelar itu
tidak pantas sebab Anak Agung pernah memerangi pejuang Bali. Selain itu dia
juga pendiri Negara Bali sebagai onderbouw
Belanda sewaktu RIS dibentuk.
Ali Basya Sentot Prawirodirjo juga dikenal sebagai pahlawan. Dia adalah panglima perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Saat ada usulan pemberian gelar kepadanya masyarakat Jambi dan Minang menolak. Alasannya, Sentot pernah bergabung dengan pasukan Belanda memerangi rakyat di dua daerah itu usai kalah Perang Jawa.
Ali Basya Sentot Prawirodirjo juga dikenal sebagai pahlawan. Dia adalah panglima perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Saat ada usulan pemberian gelar kepadanya masyarakat Jambi dan Minang menolak. Alasannya, Sentot pernah bergabung dengan pasukan Belanda memerangi rakyat di dua daerah itu usai kalah Perang Jawa.
Bung Tomo juga contoh nyata ironi itu. Bagi orang Surabaya, nama
Bung Tomo sudah sangat akrab sebab dia menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dengan peristiwa heroik 10 November 1945. Pidatonya merupakan pengobar semangat
perjuangan. Namun di zaman rezim Soeharto, usulan masyarakat agar dia
memperoleh gelar pahlawan nasional tidak kunjung diberikan tanpa alasan
meskipun rakyat sudah menganggapnya sebagai pahlawan. Penyebabnya adalah Bung Tomo pernah mengkritik
pemerintah Orde Baru.
Bahkan mengusulkan nama Bung Tomo menjadi nama jalan di Kota
Surabaya di zaman itu ditolak oleh Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI DPRD karena
dinilai tidak layak. Baru setelah zaman reformasi gelar pahlawan untuk Bung
Tomo diberikan dan nama jalan disetujui DPRD.
Sejarah memang subjektif. Bahkan manipulatif. Dia ditulis
untuk kepentingan pembuatnya. Karena itu tidak ada tafsir tunggal atas kejadian
sejarah. Tapi sejelek-jeleknya bangsa, kita menginginkan penulisan sejarah itu meskipun
subjektif tapi tetap objektif. Objektif dengan masih berdasarkan fakta-fakta. Bukan
manipulatif semata berdasarkan kepentingan politik rezim.
Sejarah manipulatif isinya bisa menyimpang jauh dari
kejadian sebenarnya. Jika ini diajarkan bakal membuat rakyat tersesat pikiran
dan perilakunya. Kalau ini terjadi maka pemerintah telah memproduk wawasan bangsa
yang benar-benar buruk.
Dengan pertimbangan ini maka pemerintah jangan menuruti
kemauan orang yang mengatasnamakan pejuang HAM untuk meminta maaf atas kejadian
pembunuhan dan pemenjaraan orang-orang PKI tahun 1965. Sebab tuntutan itu
sangat subjektif karena mengabaikan sejarah tindakan orang PKI yang membunuhi
para kiai dan lawan politiknya.
Ukuran gelar pahlawan sepatutnya dilihat dari nilai
kebenaran yang diperjuangkan. Nilai kebenaran menurut ukuran universal. Tuhan
sendiri berkisah dalam Alquran tentang para nabi sebagai pemberontak melawan
penguasa. Ibrahim melawan Namrud. Musa bermusuhan dengan Firaun. Yahya dan Isa menantang
penjajah Rumawi. Muhammad berhadapan dengan penguasa kafir Mekkah dan nabi-nabi
lain yang bertentangan dengan masyarakatnya.
Para nabi membawa misi kebenaran Tuhan kepada masyarakat.
Tapi penguasa melihatnya sebagai ancaman stabilitas kekuasaannya. Maka nabi dan
pengikutnya ditindas dan dilenyapkan karena dianggap mengganggu kemapanan. Tak ayal, pemberontakan para nabi terjadi untuk melawan penindasan itu.
Karena itu Tuhan berkata, janganlah kamu sebut orang yang
terbunuh di jalan Allah itu sebagai mati sia-sia. Akan tetapi mereka itu hidup.
Mereka bersenang-senang di sisi Tuhan karena mendapat balasan pahala (Ali Imran : 169-171).
Atas dasar ayat ini, maka janganlah gusar dengan stigma
buruk dari penguasa. Sebab ternyata Tuhan berpihak kepada para pemberontak yang membawa
nilai kebenaran. Dalam perspektif Tuhan,
justru penguasa dholim dicap sebagai
thagut. Penguasa yang sewenang-wenang dan melampaui batas memang harus dilawan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar