Selasa, 03 November 2015

TUKANG DOA

Seorang teman bercerita, dia diminta tetangganya untuk membaca doa pada acara kampung. Dia enggan karena merasa belum patut.
”Bayangkan, penampilan sekuler seperti ini diminta jadi tukang doa,” katanya.
”Itu hanya perasaanmu. Tetapi tetanggamu menilai dirimu mengerti soal agama,” jawabku.
”Tapi ada orang yang lebih tua dan biasa baca doa.”
”Rupanya tetanggamu butuh penyegaran. Bosan dengan doa yang biasanya. Siapa tahu doamu lebih makbul.”
”Ah, baca doa itu kan hanya seremoni saja. Agar tampak agamis.”
”Karena itu buat agamis beneran, jangan hanya tampaknya.  Siapa tahu tukang doa bisa membawa perubahan.”
Jabatan tukang doa memang tidak keren. Sama tidak kerennya dengan posisi modin. Suka menjadi bahan ejekan dan pelecehan. Karena itu  orang enggan menerimanya. Walaupun begitu ternyata  tukang doa dan modin  itu perlu ada. Buktinya posisi itu masih dibutuhkan masyarakat.
Bayangkan, sebuah masyarakat tanpa modin. Pasti warganya kebingungan ketika ada orang mati. Walaupun  urusan sepele tapi tidak semua orang berani memandikan, mengafani, dan menguburkan jenazah. Mereka pun sampai menyewa  modin ke kampung tetangga. Saat situasi seperti inilah baru disadari bahwa modin menjadi sangat penting.
Begitu pun tukang doa. Sebenarnya hanya urusan sepele. Tinggal membacakan doa, selesai. Kenapa tidak semua orang berani mengambil peran itu?
Jawaban pertama, inilah gambaran bahwa masyarakat kita awam soal agama. Jelasnya, masyarakat kita bukan masyarakat santri meskipun 90 persen penduduk beragama Islam. Walaupun mereka itu shalat tapi bisa jadi tidak bisa baca Alquran dan tidak hafal doa. Karena memang tidak pernah mengaji sedari kecil.
Contoh paling gamblang menjelaskan soal ini adalah dari tujuh presiden RI hanya dua orang saja yang santri, paham agama dan mampu membaca Alquran yaitu Abdurrahman Wahid dan BJ Habibie. Presiden lainnya abangan.
Diteruskan ke jabatan gubernur, kondisinya juga sama. Jawa Timur yang katanya gudangnya santri ternyata semua gubernurnya abangan. Begitu pun untuk posisi bupati dan walikota hanya sedikit saja santri yang pernah terpilih selebihnya orang abangan.
Jawaban kedua, karena masyarakat kita mayoritas abangan yang awam soal urusan agama maka mereka tidak berani menyentuh wilayah yang dianggap sakral seperti berdoa. Apalagi mengurus mayit. Karena itulah mereka butuh orang yang dianggap memahami dan bersentuhan dengan wilayah suci ini. Mereka perlu mencari orang yang dinilai bisa berhubungan dengan Tuhan.  Maka muncullah posisi tukang doa dan modin.
Tentu saja, dalam masyarakat santri yang paham soal agama, posisi tukang doa dan modin menjadi tidak penting karena semua orang dapat mengerjakannya.
Jadi kalau Anda di kampung diminta menjadi tukang doa dalam suatu acara, itu menandakan masyarakat sekitar menganggap Anda memahami wilayah sakral. Lebih khusus lagi, Anda dianggap mempunyai hubungan baik dengan Tuhan sehingga berharap doa yang disampaikan cukup makbul.
Memahami situasi ini penunjukan menjadi tukang doa itu sebenarnya merupakan penghargaan masyarakat terhadap pengetahuan dan praktik religi yang Anda kerjakan. Anda dinilai mempunyai derajat  lebih tinggi dibandingkan orang-orang di lingkungan kampung untuk berhadapan dengan Tuhan. Meskipun Anda sendiri merasa tidak begitu patut menjadi tukang doa tapi penilaian orang lain justru sebaliknya.
 Inilah maksud ayat 11 surat Mujadalah (58) bahwa Allah  meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
 Jadi kalau Anda diminta menjadi tukang doa, jangan merasa enggan karena tidak bergengsi.  Ambil saja, siapa tahu itulah jalan pertama yang ditunjukkan Allah untuk memberi pencerahan kepada lingkungan Anda lewat  pancaran doa-doa.
Memang, doa yang diucapkan tukang doa  ada yang meragukan kemakbulannya karena sekadar seremonial sebagai pemanis acara agar tampak religius. Seperti doa dalam acara kenegaraan. Atau tukang doa di Mekkah yang habis berdoa minta sedekah. Kemudian ditiru pengamen doa di bus antar kota jurusan Tulungagung setelah memberikan amplop ke penumpang agar diisi derma lalu berdoa agar diberi keselamatan dan rezeki.
  Dalam acara kenegaraan semestinya pemimpin seperti presiden atau gubernur yang membaca doa meminta kepada Tuhan agar memberi kemakmuran negaranya dan menyejahterakan rakyatnya. Hal itu tanggung jawab pemimpin bukan diserahkan kepada tukang doa.
Posisi tukang doa itu sebenarnya dapat mendorong kita agar doa-doa yang dibacakan mempunyai kekuatan menembus langit dan alam semesta sehingga diterima Tuhan. Untuk itulah kita perlu membina hubungan baik dengan Tuhan agar doa kita diperhatikan.
Tuhan mengatakan, berdoalah kepadaku, niscaya aku kabulkan (Al Mukmin: 60).  Juga disebutkan dalam Al Baqarah: 186, dan ketika hamba-hambaku bertanya kepadamu tentang aku, maka sesungguhnya aku dekat. Aku menjawab doa orang yang berdoa bila dia berdoa kepadaku, maka hendaklah mereka memenuhiku, dan  beriman kepadaku agar mereka mendapat kebe­nar­­an.
  Ini adalah janji Tuhan. Ini juga hukum kepastian. Setiap doa pasti dikabulkan. Tapi kenapa ada doa yang tidak terkabul?  Mustahil menuduh Tuhan mengingkari janji. Juga mustahil Tuhan menunda janjinya. Masalahnya bisa jadi terletak kepada kekuatan doa kita belum  menembus batas Allah.
Kekuatan doa itu seperti dijelaskan dalam surat Al Muzzammil terletak kepada aktivitas shalat malam, tartil Quran, berdzikir dan beribadah sepenuh hati. Bila kebiasaan ini sudah dijalani maka Allah menurunkan qaulan tsaqilah, perkataan berbobot. Ada yang menyebutnya idu geni. Kesaktian. Karomah. Doa yang makbul.
Kalau maqam seperti ini sudah tercapai maka dukun dari manapun pasti kalah sakti. Apalagi dukun banci yang mengidentifikasi diri sendiri saja tidak bisa kok dipercaya bisa mendatangkan rezeki.  Jadi mulai sekarang jangan menolak menjadi tukang doa. (*)

Tidak ada komentar: