Seorang teman bercerita, dia
diminta tetangganya untuk membaca doa pada acara kampung. Dia enggan karena
merasa belum patut.
”Bayangkan, penampilan sekuler
seperti ini diminta jadi tukang doa,” katanya.
”Itu hanya perasaanmu. Tetapi
tetanggamu menilai dirimu mengerti soal agama,” jawabku.
”Tapi ada orang yang lebih tua
dan biasa baca doa.”
”Rupanya tetanggamu butuh
penyegaran. Bosan dengan doa yang biasanya. Siapa tahu doamu lebih makbul.”
”Ah, baca doa itu kan hanya
seremoni saja. Agar tampak agamis.”
”Karena itu buat agamis beneran,
jangan hanya tampaknya. Siapa tahu
tukang doa bisa membawa perubahan.”
Jabatan tukang doa memang tidak
keren. Sama tidak kerennya dengan posisi modin. Suka menjadi bahan ejekan dan
pelecehan. Karena itu orang enggan menerimanya.
Walaupun begitu ternyata tukang doa dan
modin itu perlu ada. Buktinya posisi itu
masih dibutuhkan masyarakat.
Bayangkan, sebuah masyarakat
tanpa modin. Pasti warganya kebingungan ketika ada orang mati. Walaupun urusan sepele tapi tidak semua orang berani
memandikan, mengafani, dan menguburkan jenazah. Mereka pun sampai menyewa modin ke kampung tetangga. Saat situasi
seperti inilah baru disadari bahwa modin menjadi sangat penting.
Begitu pun tukang doa.
Sebenarnya hanya urusan sepele. Tinggal membacakan doa, selesai. Kenapa tidak
semua orang berani mengambil peran itu?
Jawaban pertama, inilah gambaran
bahwa masyarakat kita awam soal agama. Jelasnya, masyarakat kita bukan
masyarakat santri meskipun 90 persen penduduk beragama Islam. Walaupun mereka
itu shalat tapi bisa jadi tidak bisa baca Alquran dan tidak hafal doa. Karena
memang tidak pernah mengaji sedari kecil.
Contoh paling gamblang
menjelaskan soal ini adalah dari tujuh presiden RI hanya dua orang saja yang
santri, paham agama dan mampu membaca Alquran yaitu Abdurrahman Wahid dan BJ
Habibie. Presiden lainnya abangan.
Diteruskan ke jabatan gubernur,
kondisinya juga sama. Jawa Timur yang katanya gudangnya santri ternyata semua
gubernurnya abangan. Begitu pun untuk posisi bupati dan walikota hanya sedikit
saja santri yang pernah terpilih selebihnya orang abangan.
Jawaban kedua, karena masyarakat
kita mayoritas abangan yang awam soal urusan agama maka mereka tidak berani
menyentuh wilayah yang dianggap sakral seperti berdoa. Apalagi mengurus mayit.
Karena itulah mereka butuh orang yang dianggap memahami dan bersentuhan dengan
wilayah suci ini. Mereka perlu mencari orang yang dinilai bisa berhubungan
dengan Tuhan. Maka muncullah posisi
tukang doa dan modin.
Tentu saja, dalam masyarakat
santri yang paham soal agama, posisi tukang doa dan modin menjadi tidak penting
karena semua orang dapat mengerjakannya.
Jadi kalau Anda di kampung
diminta menjadi tukang doa dalam suatu acara, itu menandakan masyarakat sekitar
menganggap Anda memahami wilayah sakral. Lebih khusus lagi, Anda dianggap
mempunyai hubungan baik dengan Tuhan sehingga berharap doa yang disampaikan
cukup makbul.
Memahami situasi ini penunjukan
menjadi tukang doa itu sebenarnya merupakan penghargaan masyarakat terhadap
pengetahuan dan praktik religi yang Anda kerjakan. Anda dinilai mempunyai
derajat lebih tinggi dibandingkan
orang-orang di lingkungan kampung untuk berhadapan dengan Tuhan. Meskipun Anda
sendiri merasa tidak begitu patut menjadi tukang doa tapi penilaian orang lain
justru sebaliknya.
Inilah maksud ayat 11 surat
Mujadalah (58) bahwa Allah meninggikan derajat
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu. Dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Jadi kalau Anda diminta menjadi tukang doa, jangan
merasa enggan karena tidak bergengsi. Ambil saja, siapa tahu itulah jalan pertama
yang ditunjukkan Allah untuk memberi pencerahan kepada lingkungan Anda
lewat pancaran doa-doa.
Memang, doa yang diucapkan
tukang doa ada yang meragukan
kemakbulannya karena sekadar seremonial sebagai pemanis acara agar tampak
religius. Seperti doa dalam acara kenegaraan. Atau tukang doa di Mekkah yang
habis berdoa minta sedekah. Kemudian ditiru pengamen doa di bus antar kota
jurusan Tulungagung setelah memberikan amplop ke penumpang agar diisi derma
lalu berdoa agar diberi keselamatan dan rezeki.
Dalam acara kenegaraan semestinya pemimpin seperti presiden atau
gubernur yang membaca doa meminta kepada Tuhan agar memberi kemakmuran
negaranya dan menyejahterakan rakyatnya. Hal itu tanggung jawab pemimpin bukan
diserahkan kepada tukang doa.
Posisi tukang doa itu sebenarnya
dapat mendorong kita agar doa-doa yang dibacakan mempunyai kekuatan menembus
langit dan alam semesta sehingga diterima Tuhan. Untuk itulah kita perlu
membina hubungan baik dengan Tuhan agar doa kita diperhatikan.
Tuhan mengatakan, berdoalah
kepadaku, niscaya aku kabulkan (Al Mukmin: 60). Juga disebutkan dalam Al Baqarah:
186, dan ketika hamba-hambaku bertanya kepadamu tentang aku, maka
sesungguhnya aku dekat. Aku menjawab doa orang yang berdoa bila dia berdoa kepadaku,
maka hendaklah mereka memenuhiku, dan
beriman kepadaku agar mereka mendapat kebenaran.
Ini
adalah janji Tuhan. Ini juga hukum kepastian. Setiap doa pasti dikabulkan. Tapi
kenapa ada doa yang tidak terkabul?
Mustahil menuduh Tuhan mengingkari janji. Juga mustahil Tuhan menunda
janjinya. Masalahnya bisa jadi terletak kepada kekuatan doa kita belum menembus batas Allah.
Kekuatan doa itu seperti
dijelaskan dalam surat Al Muzzammil terletak kepada aktivitas shalat malam,
tartil Quran, berdzikir dan beribadah sepenuh hati. Bila kebiasaan ini sudah
dijalani maka Allah menurunkan qaulan
tsaqilah, perkataan berbobot. Ada yang menyebutnya idu geni. Kesaktian. Karomah. Doa yang makbul.
Kalau maqam seperti ini sudah tercapai maka dukun dari manapun pasti
kalah sakti. Apalagi dukun banci yang mengidentifikasi diri sendiri saja tidak
bisa kok dipercaya bisa mendatangkan rezeki.
Jadi mulai sekarang jangan menolak menjadi tukang doa. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar