Selasa, 20 Mei 2008

Satu Abad Kebangkitan Nasional

KEBANGKITAN Nasional yang diperingati setiap 20 Mei, tahun ini genap berusia seratus tahun atau satu abad. Tapi panjangnya usia itu tidak selalu selaras dengan pencapaian pembangunan di lapangan sehingga Kebangkitan Nasional sekarang ini tidak lebih dari sekadar slogan.
Meningkatnya kedaulatan dan semangat kebangsaan yang menjadi cita-cita Kebangkitan Nasional masih rapuh dideru ketimpangan jurang kaya-miskin, naiknya konflik antar golongan dan kepentingan politik, korupsi merajalela, hukum diperjualbelikan, serta menjual negara untuk kepentingan asing.
Kondisi itu masih jauh dengan keinginan mewujudkan kemandirian ekonomi, sosial dan budaya. Reformasi yang telah menginjak sepuluh tahun berjalan belum sepenuhnya menguatkan kembali kondisi negara yang tercabik-cabik akibat badai krisis ekonomi, politik, dan kemanusiaan.
Sebelum krisis ekonomi pada 1997, menurut data jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan 22,5 juta jiwa. Kini jumlah itu malah bertambah menjadi 37,17 juta jiwa. Padahal anggaran pembangunan selalu naik.
Bandingkan dengan Vietnam, negeri yang juga tercabik-cabik akibat perang, kini dapat memperbaiki struktur ekonomi maka krisis cepat berlalu. Dalam sepuluh tahun terakhir pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 persen, sementara Indonesia di kisaran enam persen. Perbaikan struktur ekonomi itu membuat kemiskinan di Vietnam menurun hingga 75 persen. Bukan hanya itu negara itu lantas bangkit menjadi produsen pertanian besar dan eksportir beras.
Peringatan Kebangkitan Indonesia hanya hangat di awalnya sedikit mendorong kemajuan. Tapi di dalamnya pengangguran belum teratasi, rakyat terpuruk akibat stabilitas ekonomi yang rapuh, apalagi secara eksternal juga ada krisis minyak yang berpengaruh besar pada ketahanan pangan. Rakyat pun menerima akibatnya dengan melonjaknya harga pangan.
Rakyat yang belum sempat bangkit dari krisis, sekarang siap-siap menghadapi guncangan lagi dengan rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM yang berakibat harga-harga barang naik. Memang ada bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada rakyat miskin sebagai kompensasi tapi program itu bukan membangkitkan rakyat secara substansial tapi hanya pelipur lara.
BLT sudah dikritik banyak kalangan tidak mendorong rakyat menjadi mandiri bahkan membentuk mental pengiba, pengemis. Yang dibutuhkan adalah kebijakan perbaikan struktur ekonomi yang terarah dalam jangka panjang yang menguntungkan
semuanya.
Kedaulatan negara pun makin terancam dengan paham negara tidak perlu memegang perusahaan. Akibatnya sejumlah perusahaan vital dijual ke asing. Lebih-lebih terbitnya Perpres No. 7/2007 yang memberi peluang kepada kepemilikan asing terhadap beberapa sektor dapat mencapai 99 persen. Misalnya lahan pertanian di atas 25 hektare dapat dimiliki asing hingga 99 persen, nuklir hingga 95 persen, pendidikan hingga 49 persen mulai dari SD sampai PT.
Biaya pendidikan pun kini menjadi sangat mahal seolah lupa bahwa amanat konstitusi menyebutkan negara punya kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi peluang rakyat miskin yang masih mayoritas di negara ini untuk menempuh sekolah kian sempit.
Sekali lagi kita berharap peringatan satu abad Kebangkitan Nasional jangan sekadar slogan tapi harus diikuti kemauan yang sungguh-sungguh untuk mengarahkan seluruh uang dan tenaga untuk kepentingan rakyat. (*)
.

Tidak ada komentar: