Timor Timur, negara kecil yang baru merdeka setelah memisahkan diri dari Indonesia itu bergolak lagi. Militer pemberontak pimpinan Mayor Alfredo Reinado menyerang kediaman Presiden Ramos Horta. Baku tembak menyebabkan Horta tertembak dan Alfredo dikabarkan tewas.
Sebagai negara muda, konflik memang wajar terjadi karena stabilitas belum mapan. PBB mengawasi transisi kemerdekaan Timor Timur pada 2002 setelah jajak pendapat pada 1999 rakyat menginginkan merdeka. Tapi sudah enam tahun merdeka, elite politik negara itu belum mampu mengorganisasi diri bersama-sama menuju kemapanan negara dan menyejahterakan rakyat. Padahal negara itu mendapat fasilitas dari PBB berupa bantuan pasukan keamanan dan dana internasional. Dengan bantuan itu kalau elite politik Timor Timur berkeinginan bersama menyetabilkan negara sejak kemerdekaan peluang itu cukup besar. Namun elite ternyata masih menonjolkan kepentingan sendiri sehingga pemerintah diwarnai konflik yang belum tuntas. Akibatnya negara itu hampir-hampir menjadi negara yang gagal secara ekonomi, politik maupun keamanan.
Pertikaian elite politik merebutkan kekuasaan menjadikan rakyat telantar dalam kemiskinan. Tidak ada pembangunan, perbaikan infrastruktur, maupun pelayanan kepada rakyat. Kondisi ini makin menunjukkan cita-cita kemerdekaan untuk hidup lebih makmur hanya menjadi angan-angan kosong. Ketika kemerdekaan didapat penguasa sibuk berebut kekuasaan dan melupakan rakyat.
Konflik di negara itu tak lepas dari berlarut-larutnya penyelesaian konflik bersenjata kelompok tentara desertir sejak 2006 lalu pimpinan Mayor Alfredo. Pertikaian itu sudah menewaskan 35 orang dan 155.000 warga terusir dari rumahnya. Konflik politik juga terjadi antara Fretilin dengan partai-partai lain di parlemen yang ditandai jatuhnya Perdana Menteri Mari Alkatiri dan naiknya PM Xanana Gusmao.
Potensi konflik menjadi keras karena polisi dan angkatan bersenjata masih memungkinkan ditunggangi kepentingan elite politik sehingga kekuatan bersenjata itu dapat dipolitisasi. Belum lagi bibit perpecahan antara warga pro kemerdekaan dan integrasi dengan RI belum hilang dan menjadikan masyarakat terbelah.
Tentu semua kalangan berharap kasus penyerangan terhadap Presiden Ramos Horta dan kematian Mayor Alfredo dapat mengakhiri konflik bersenjata di Timor Timur. Pemerintah harus segera mengambil kebijakan cepat dengan momentum ini berupa rekonsiliasi dengan kekuatan-kekuatan lain demi masa depan negara.
Presiden Jose Ramos Horta dan Xanana Gusmao, dua orang kuat yang diharapkan menjadi penggerak stabilitas dan memerintah negara dengan baik rupanya masih kedodoran. Ramos Horta yang tampak hebat ketika propaganda kemerdekaan Timtim di luar negeri dulu sehingga menerima Hadiah Nobel bersama Uskup Belo ternyata tak menjadi jaminan mampu menjadi pemimpin yang andal untuk Timor Timur.
Keadaan ini harus diakui mau tidak mau Horta dan Xanana dianjurkan merangkul semua teman-teman seperjuangannya meskipun kini berseberangan politik dan kepentingan. Harus ada rekonsiliasi nasional demi stabilitas negara. Setelah itu dapat dicapai maka langkah pembangunan dapat berjalan.
Rekonsiliasi itu seperti memberi amnesti kepada militer pemberontak yang kini pimpinannya sudah tewas. Bila tentara-tentara desertir ini tidak segera diamnesti malah menyulitkan pemerintah karena dapat terus menjadi gerombolan liar yang terus mengacau negara. Selain itu warga yang terbelah karena pertikaian masa lalu dianjurkan untuk saling memaafkan dan menyimpan masa lalu sebagai sejarah.
Bagaimana pun ketenangan Timor Timur diperlukan agar kawasan itu tidak selalu menjadi duri dalam daging di pemerintahan Indonesia. Sebab gejolak apa pun yang terjadi di negara itu ada pengaruhnya bagi Indonesia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar