Senin, 25 Februari 2008

Krisis Listrik

PLN pada Maret 2008 menerapkan insentif dan disinsentif dalam tarif listrik. Insentif diberikan berupa diskon sebesar 20 persen untuk pelanggan yang bisa berhemat memakai listrik diukur dari rata-rata pemakaian nasional untuk tiap golongan. Sebaliknya disinsentif atau denda dikenakan kepada pelanggan listrik yang melebihi pemakaian rata-rata nasional juga untuk tiap golongan.
Kebijakan itu dipakai PLN karena sekarang kewalahan menghadapi defisit listrik yang tak kunjung mampu diselesaikan. Pasokan listrik dari pembangkit yang dikelola PLN tak mampu lagi mengimbangi konsumsi listrik masyarakat.
Defisit sumber listrik ini menjadi kian parah lagi ketika terjadi kasus darurat seperti terlambatnya pasokan batu bara akibat cuaca buruk yang menyebabkan kapal tak dapat merapat ke pelabuhan. Tentu saja yang menjadi korban adalah pelanggan listrik industri maupun rumah tangga yang mendapat giliran pemadaman listrik di Jakarta dan sekitarnya. Bagi kalangan industri, padamnya listrik merugikan bisnis yang cukup besar dan untuk ini PLN tak mau tahu meskipun kalau industri terlambat membayar listrik langsung mendapat sanksi.
Keputusan menerapkan insentif dan disinsentif tarif listrik ini juga tak sejalan lagi dengan upaya PLN untuk menerangi segenap pelosok negeri. Program pelistrikan ini tentu mengakibatkan jumlah konsumsi listrik meningkat. Selain itu listrik juga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi masyarakat. Semakin baik pendapat masyarakat menyebabkan kebutuhan listrik juga meningkat terkait dengan pemakaian barang-barang elektronik.
Menurut data, negara dengan konsumsi tinggi terhadap listrik adalah negara yang ekonominya kuat. Misalnya Malaysia konsumsi listriknya 600 watt per orang, Jepang 1.874 watt per orang. Indonesia hanya 108 watt per orang. Itu pun kini menjadi ironis sebab di tengah kian naiknya kebutuhan listrik ternyata PLN memangkasnya dengan pemberlakuan insentif dan disinsentif .
Apakah cara ini dapat mempengaruhi pelanggan menghemat listrik? Tentu masih perlu menunggu buktinya. Sebab di lapangan masih ada kondisi yang tak mendukung target itu. Pertama, masyarakat belum tahu cara penghematan listrik yang benar-benar efisien dapat mengurangi laju meter listrik. Masyarakat tahunya menghemat listrik dengan cara mematikan lampu sesuai kampanye PLN. Kalau hanya dengan mematikan lampu punya pengaruh besar terhadap hemat listrik, boleh jadi itu efektif.
Kedua, petugas pencatat meter listrik seringkali bekerja serampangan dengan memukul rata-rata pemakaian listrik tiap rumah. Itu dilakukan karena petugas tidak datang setiap bulan. Bila ini terjadi maka pelanggan listrik yang dirugikan.
Ketiga, batasan pemakaian listrik rata-rata nasional apakah sudah rasional? Contohnya pelanggan rumah tangga dengan golongan kapasitas terpasang 450 VA rata-rata pemakaian 75 kilowatt per jam (kWh) per bulan. Mungkinkah batas ini dapat ditekan kalau ternyata konsumsi listrik di Pulau Jawa saat ini di atas angka itu. Langkah itu bisa terjadi kalau masyarakat mau mengorbankan diri meninggalkan memakai peralatan elektronik.
Sebagai perusahaan energi milik negara sebenarnya PLN dimanja. Perusahaan ini mendapatkan subsidi dari APBN sebesar Rp 42 triliun meskipun selalu merugi. Tahun 2007 kerugian mencapai Rp 1,3 triliun.
Pejabat PLN boleh saja berdalih, perusahaan itu tidak berorientasi pada keuntungan namun lebih banyak mengemban amanah sosial dengan melayani rakyat sehingga wajar kalau masih perlu subsidi. Tapi PLN saat ini adalah perusahaan listrik tunggal yang tidak ada pesaingnya. Sebagai perusahaan tunggal yang dirasakan pelanggan adalah cara kerja PLN yang belum sepenuhnya benar. Misalnya, terlambatnya pasokan batu bara tidak diantisipasi sebelumnya, pemberian bonus kepada direksi dan komisaris. Kasus lain juga terjadi tampak dari masalah korupsi yang membelit direktur dan pegawainya.
Padahal dengan 50 juta pelanggan dan subsidi pemerintah bisa jadi modal yang besar bagi PLN untuk meraih keuntungan bila diimbangi dengan perbaikan manajemen dan pelayanan. Contohnya PT Telkom. Dulu perusahaan itu juga tunggal tanpa kompetitor. Kini seiring banyak muncul kompetitor dari operator telepon selular sehingga masyarakat punya alternatif memilih fasilitas telepon, PT Telkom banyak berbenah untuk dapat meraih pelanggan. (*)
.

Tidak ada komentar: