Kematian penguasa Orde Baru, Soeharto, pada Minggu (27/1) siang, diharapkan turut mengubur persoalan besar yang selalu menjadi batu sandungan pemerintah penggantinya. Persoalan besar itu adalah tuntutan sebagian rakyat yang menghendaki mantan presiden itu agar diadili untuk kasus korupsi dan kekerasan yang dilakukan terhadap rakyat.
Untuk masalah ini sudah empat presiden penggantinya dan delapan jaksa agung berganti namun kasusnya terus mengambang. Ada dua kemungkinan mengambangnya kasus Soeharto itu. Pertama, pemerintah penggantinya ragu-ragu bertindak tuntas karena pengaruh Soeharto masih sangat besar. Kedua, sulit mencari bukti sehingga penyelidikan terhenti di tengah jalan.
Karena hambatan itulah status Pak Harto selama masih hidup ibarat kerikil dalam sepatu, selalu mengganggu berjalannya presiden penggantinya. Karena itulah dengan wafatnya Pak Harto, diharapkan persoalan itu sudah selesai tuntas karena orang yang bakal dituntut sudah tidak ada.
Sebagai orang besar, Soeharto mempunyai dua sisi kehidupan. Sebagai orang yang berjasa pada negara ini sehingga banyak dipuji orang tapi sekaligus dia juga dituduh merusak negara dan dicaci maki oleh orang yang telah menjadi korban politiknya.
Jasa Soeharto terhadap bangsa ini memang besar yakni menata negara dari kondisi perekonomian yang buruk sedikit demi sedikit bangkit dengan penerapan pembangunan bertahap lima tahunan. Bahkan pada 1986, Soeharto mendapat pujian karena mampu mewujudkan swasembada pangan setelah sebelumnya Indonesia merupakan negara pengekspor beras terbesar. Prestasi ini layak dipuji karena dia mengatur negara ini dengan tujuan dan target yang jelas walaupun kemudian hari prestasi swasembada pangan itu melorot lagi karena Indonesia kembali impor beras.
Tapi prestasi yang dicapai Soeharto itu bukannya tanpa korban sebab untuk menerapkan trilogi pembangunan yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan membawa konsekuensi disingkirkannya orang-orang yang dianggap sebagai penghalang.
Stabilitas nasional mensyaratkan stabilitas politik, stabilitas ekonomi, dan stabilitas institusi. Maka di zaman itu orang yang berbeda haluan politik dengan Soeharto diisolasi tidak diberi peran apapun. Sedangkan mereka yang berani bersuara atau melawan dimasukkan penjara. Praktik mewujudkan stabilitas nasional ini menjadikan Indonesia memasuki era sentralistik dan politik rekayasa yang semuanya dikendalikan dari pusat. Hak rakyat pun seringkali dikorbankan bahkan terjadinya kekerasan terhadap rakyat. Terhadap mantan Presiden Soekarno pun, Soeharto tega mengisolasinya agar karisma Soekarno pudar dan tidak mengganggu kekuasaannya.
Ketika ingin mewujudkan pertumbuhan ekonomi, Soeharto membentuk jaringan bisnis baru dengan memberi hak istimewa terhadap orang-orang dekatnya. Kelak praktik ini menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang malah merusak perekonomian negara dan pada akhirnya menjatuhkan kekuasaannya pada 1998.
Kematian Soeharto memberikan pelajaran bagi kita agar kita mampu menjadi penguasa yang bijak. Seperti Soeharto, menjadi pemimpin negara harus memiliki perencanaan dan tahapan yang jelas untuk mencapai kemakmuran negara. Tapi jangan meniru perilaku politik Soeharto yang tega menyingkirkan orang-orang yang berbeda pendapat dengannya lewat isolasi, penjara maupun kekerasan. (*).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar