Setiap berita tentang mantan Presiden Soeharto selalu memicu kontroversi. Sekarang ini ketika orang kuat di masa Orde Baru itu sakit parah di pembaringan rumah sakit, kontroversi muncul lagi seputar melupakan segala kesalahannya atau tetap mengadilinya.
Kelompok yang mendukung untuk melupakan kesalahan Soeharto beralasan dia sedang sakit keras, pikun, dan mempertimbangkan jasa-jasanya membangun negara ini semasa dia memerintah. Dengan demikian proses hukum yang terkait dengan tuduhan korupsi maupun tindak kekerasan lainnya tidak perlu dilanjutkan lagi demi alasan kemanusiaan.
Tapi pandangan itu ditentang kelompok yang tetap menginginkan Soeharto harus diadili atas kesalahannya di masa lalu. Alasannya, kesalahan yang diperbuat Soeharto telah meninggalkan penderitaan yang tetap ditanggung korbannya hingga kini. Korupsi dan nepotisme yang dilakukan Soeharto telah membuat negara rusak.
Di tengah kontroversi itu sikap Soeharto sendiri cukup mengejutkan karena saling bertolak belakang. Ketika dia diadili untuk perkara korupsinya selalu tidak dapat hadir di persidangan dengan alasan sakit. Bahkan dokter menyebutkan dia sakit permanen seperti pikun sehingga tidak mungkin hadir di persidangan. Kepikunan itu menjadikan Soeharto sering lupa dan lambat berpikir sehingga dikhawatirkan kalau dia hadir di persidangan perkataannya akan menjadi bahan tertawaan. Ada pendapat, tentu tidak etis mantan orang besar dan berwibawa di negara ini menjadi bahan tertawaan dan olok-olokan di depan umum.
Tapi beda kondisinya ketika menyikapi pemberitaan majalah Time yang secara sepihak menulis tentang kekayaannya yang ditulis berasal dari korupsi selama dia memerintah. Lewat kuasa hukumnya Soeharto menggugat Time hingga proses kasasi di Mahkamah Agung yang akhirnya dimenangkannya. Untuk kasus ini ibaratnya persidangan sampai ke ujung dunia pun dia kejar untuk mencari keadilan dan membuktikan bahwa dia tidak korupsi.
Maka timbul pertanyaan kenapa dia tidak mau hadir dalam sidang korupsi yang dituntut oleh Kejaksaan Agung untuk juga membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar sebagaimana dibuktikannya ketika menggugat majalah Time?
Sebagai negara hukum, pengadilan Soeharto tetap harus digelar untuk membuktikan bahwa hukum di negara ini tidak pilih kasih. Hukum harus mampu memberi ketetapan apakah Soeharto korupsi atau tidak. Bersalah melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat atau tidak. Melakukan nepotisme selama memerintah atau tidak. Kalau pengadilan tidak mampu melakukan ini maka orang semakin skeptis ternyata hukum hanya berpihak kepada orang kuat dan menekan rakyat yang lemah.
Pengampunan memang boleh diberikan pemerintah untuk seorang warga negara yang bersalah tapi apakah untuk orang sebesar Soeharto pengampunan itu layak diberikan hanya dengan alasan kemanusiaan dan di masa tuanya yang sakit parah?
Orang besar selalu mempunyai dua sisi kehidupan hitam putih termasuk Soeharto. Orang tentu masih mengingat kerja kerasnya membangun negara ini selama 30 tahun berkuasa. Tapi orang juga tidak melupakan cara-cara dia memberangus musuh-musuh politiknya agar tidak menghambat kekuasaannya. Cara-cara kekerasan yang meninggalkan luka mendalam yang mungkin tidak dapat hilang pada sebagian rakyatnya.
Dalam situasi seperti ini memberi pengampunan kepada Soeharto akan melukai rakyat yang telah disakitinya selama dia berkuasa meskipun secara pribadi telah memaafkannya.
Kalangan yang menganjurkan untuk memaafkan dosa Soeharto dan tidak melanjutkan proses peradilan mungkin hanya sebuah sentimentil politik yang dimanfaatkan oleh beberapa politisi. Namun adakah yang memikirkan korban tindak kekerasan yang dilakukan Soeharto?
Soeharto yang uzur dan sakit-sakitan itu terus menjadi ganjalan di negara ini. Tentu rakyat berharap pemerintah dapat bersikap jelas untuk menengahi masalah ini. Atau keadaan ini sengaja diulur-ulur sampai menunggu ajal kematian Soeharto. Memang hanya kematian yang berani menyudahi masalah ini. (*) .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar