Jumat, 28 Maret 2008

Tunjangan Hakim dan Jaksa

ABUNAWAS suatu ketika pernah berperilaku gila. Dia naik kuda kepang lantas menari-nari di jalanan. Warga kota Baghdad pun gempar karena perilaku aneh tokoh masyarakat itu. Ketika dipanggil raja, maka dia pun dengan sedih menceritakan, ketika bapaknya meninggal dia dipesankan agar jangan menggantikan posisinya sebagai hakim kerajaan. Alasannya, seadil-adilnya seorang hakim suatu saat pasti pernah lengah sehingga membuat keputusan yang tidak adil. Padahal keputusan seorang hakim itu menentukan nasib manusia. Selain itu semua keputusan yang pernah dibuat pasti dimintakan pertanggungjawaban bukan hanya di hadapan raja tapi juga tuhan.
Untuk memenuhi pesan bapaknya itu dan menghindari penunjukan oleh raja maka Abunawas rela berlagak gila sebab dia memang tidak mau menjadi hakim meskipun posisinya terhormat dan gajinya besar.
Di dunia peradilan Indonesia yang terjadi kebalikannya. Ada aparat hukum yang justru bertindak gila setelah memperoleh jabatannya. Berperilaku gila karena menjualbelikan pasal-pasal untuk menawarkan hukuman berat atau ringan. Cerita jual beli perkara ini bukan cerita baru di dunia peradilan. Kasus terbaru adalah ditangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima suap setelah dihentikan penyidikan kasus BLBI Syamsul Nursalim. Di luar itu tuntutan yang janggal dari jaksa atau vonis ringan untuk perkara korupsi dan narkoba masih sering terjadi.
Godaan suap di dunia peradilan sudah menjadi keprihatinan banyak orang. Hukum tidak lagi ditegakkan demi keadilan tapi demi uang. Beberapa kalangan menilai itu terjadi karena gaji aparat hukum yang kecil sementara iming-iming suap begitu menggoda.
Untuk mencegah terjadi jual beli keadilan pemerintah menetapkan memberikan tunjangan bagi hakim di lingkungan Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Tunjangan khusus setiap bulan yang diterima antara Rp 4,2 juta sampai Rp 31,1 juta tergantung dari eselon dan jabatannya.
Kebijakan tersebut berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 tahun 2008 tertanggal 10 Maret 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan MA dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Kalau dilihat dari nilai tunjangan boleh jadi masih tergolong kecil dibandingkan dengan uang suap yang terjadi di pengadilan tapi dengan diberikan tunjangan itu setidaknya pemerintah sudah menjamin setiap hakim dan jaksa sudah dapat hidup berkecukupan. Tanpa uang suap kehidupan mereka bahkan sudah berlebihan. Dengan demikian tidak ada dalih bagi mereka mau disuap karena gaji kecil.
Dengan jaminan itu diharapkan para penegak hukum dapat konsentrasi menjalankan tugasnya dengan memberikan keadilan hukum bagi warga negara tanpa dipengaruhi uang. Memang harus dibarengi adanya komitmen dari para hakim dan jaksa agar mau menegakkan peradilan yang bersih dan netral demi reformasi dunia peradilan yang sudah bercitra sangat buruk.
Bila pemerintah sudah memberikan jaminan kehidupan yang lebih dari cukup bagi hakim dan jaksa ternyata di antara mereka masih ada yang berperilaku korup dan menerima suap maka sangat pantas kalau mereka dilenyapkan dari muka bumi. Sebab penegak hukum yang sudah gila tidak layak hidup lagi. Kalau mereka dibiarkan hidup akan membuat dunia tambah kacau penuh ketidakadilan.
Upaya pemerintah ini harus diimbangi dengan hukuman yang berat bagi penyuap yang dilakukan orang berperkara dan pengacaranya. Sebab seringkali merekalah yang menawarkan lebih dulu pembelian keadilan itu.
Memang pemberian tunjangan itu masih ada kelemahannya karena polisi sebagai bagian dari aparat penyidik tidak dimasukkan. Padahal penyidikan polisi merupakan langkah awal dalam dunia peradilan sebelum masuk ke kejaksaan dan pengadilan. Tapi kita percaya, pemerintah secara bertahap bakal melengkapi itu karena ada itikad untuk memperbaiki dunia hukum kita. (*)
.

Tidak ada komentar: