Jumat, 28 Maret 2008

Perubahan Politik di Malaysia

PERUBAHAN kekuatan politik di Malaysia hendaknya menyadarkan setiap penguasa bahwa manipulasi politik tidak selamanya langgeng dan gelombang kekuatan rakyat pasti menampakkan keinginan sebenarnya.
Pemilu Malaysia yang berlangsung Sabtu (8/3/2008) lalu telah memunculkan kekuatan baru dari oposisi yang selama ini dilemahkan oleh penguasa yang dikuasai koalisi Barisan Nasional (BN) dimotori partai UMNO. Meskipun BN masih mayoritas di parlemen dan berhak membentuk pemerintah namun posisinya tidak lagi mayoritas tunggal karena perolehan kursi tidak lagi menguasai 2/3 dari 222 kursi parlemen. Kekuatan BN di parlemen kali ini hanya 63% padahal sebelumnya selalu mencapai 90%.
Perubahan itu juga terjadi di wilayah negara bagian yang sebelumnya menguasai hampir seluruhnya kecuali Kelantan. Kini ada lima negara bagian yang lepas dari dominasinya dan jatuh ke tangan partai oposisi yang tergabung dalam Barisan Alternatif.
Dengan posisi ini BN tidak lagi seenaknya mengubah konstitusi untuk kepentingan politik dan kekuasaannya. Penguasa sekarang mendapat imbangan suara dari kelompok oposisi sekitar 37% atau 84 kursi. Sisi baiknya sekarang keputusan politik tidak lagi didominasi suara penguasa tapi juga mendengar suara alternatif dari kekuatan lain sehingga fungsi check anda balance berjalan.
Naiknya kekuatan oposisi memang tak lepas dari perubahan politik dan konflik sosial yang terjadi di Malaysia belakangan ini. Perdana Menteri Ahmad Abdullah Badawi ketika memerintah membuat keputusan mengurangi masa hukuman tokoh pembangkang, Anwar Ibrahim, dengan maksud untuk meredakan ketegangan politik dan mendapatkan simpati rakyat dan ingin menunjukkan sikap pemerintah yang reformatif.
Tapi Badawi harus menerima kenyataan bahwa keputusannya itu justru menjadikan gerakan oposisi menjadi membesar akibat aktivitas politik Anwar Ibrahim. Simpati rakyat tidak didapatkan akibat kenaikan harga barang kebutuhan yang tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah. Padahal ketika Anwar Ibrahim masih dipenjara, dalam pemilu 2004, kekuatan oposisi menurun drastis setelah sempat bangkit pada 1999.
Upaya membendung pengaruh Anwar Ibrahim sudah dilakukan Badawi dengan memajukan jadwal pemilu yang semestinya digelar Mei 2009 dimajukan pada Maret 2008. Tujuannya agar Anwar Ibrahim tidak dapat mencalonkan sebagai anggota parlemen karena dia masih terkena hukuman tidak boleh mencalonkan sebagai legislatif sampai April 2008.
Namun fakta di lapangan membuktikan sebaliknya. Karena dia masih dibolehkan berkampanye maka tak pelak ceramah Anwar Ibrahim untuk partai oposisi telah menarik simpati rakyat. Kehadiran Anwar Ibrahim mampu mendongkrak popularitas calon dari partai oposisi dari berbagai etnis Melayu, Cina dan India. Rakyat negeri jiran itu menjadi percaya kepada kandidat oposisi tanpa memandang rasnya.
Keresahan sosial yang terjadi di kalangan etnis India yang menuntut tidak ada diskriminasi juga turut memperburuk citra pemerintah yang dianggap belum memberikan keadilan bagi semua warga negara. Selain itu perilaku buruk politikus dari anggota koalisi BN yang tersangkut skandal seks dan korupsi membuat rakyat berpaling ke pihak lain.
Dari hasil pemilu ini maka pelajaran terpenting dari setiap penguasa adalah jangan menganggap remeh suara rakyat. Jangan berpikir rakyat selalu setuju dengan kemauan penguasa. Arogansi kekuasaan seperti ditunjukkan para menteri Badawi dengan menghina Anwar Ibrahim sebagai politikus bangkrut justru berbalik membangkrutkan penguasa. Para penguasa pun harus menyadari bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Kekuasaan tak pernah langgeng sebab kekuasaan yang lama cenderung korup dan ketika perbuatan korup sudah menyebar maka kondisi itu yang bakal menjatuhkan penguasa. (*)
.

Tidak ada komentar: