Senin, 31 Maret 2008

Antre Elpiji

TONTONAN yang menjadi biasa belakangan ini adalah rakyat antre minyak tanah dan gas elpiji. Dua barang ini diburu rakyat karena dibutuhkan untuk menyalakan kompor masak. Antre minyak tanah dan elpiji ini menjadi sebuah ironi di tengah program konversi minyak tanah ke elpiji yang dilakukan pemerintah.
Kalau antrean itu terjadi hanya sebentar sebagai gejala penyesuaian perubahan dari memakai minyak tanah ke elpiji merupakan hal biasa yang masih patut dipahami. Tapi ketika antrean itu terus terjadi saban hari, tentu ini gejala yang luar biasa. Pasti ada yang tidak beres dalam proses perubahan itu.
Terjadinya antrean minyak tanah paling gampang dipahami. Meskipun rakyat sudah menerima tabung gas dan kompornya dengan gratis namun mereka masih butuh minyak tanah untuk cadangan karena kebiasaan memasak pakai minyak tanah belum hilang benar. Mereka pun berburu minyak tanah ke kampung lain ketika pasokan di kampungnya sudah mulai dikurangi.
Tapi antrean pembeli elpiji yang terjadi sepekan ini menjadikan kita tak habis pikir. Rakyat yang akan beralih ke elpiji bisa jadi kecewa dan bertanya apakah pemerintah ini serius? Rakyat dipaksa berpindah ke elpiji demi mengurangi subsidi minyak tanah tapi di tengah perubahan itu kenapa mendapatkan elpiji harus antre.
Dari fakta ini makin menunjukkan betapa susahnya menjadi rakyat Indonesia. Untuk mendapatkan sejumput kebutuhan pokok harus antre mulai beras, minyak goreng, minyak tanah, elpiji, pupuk urea, bahkan uang BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Menurut logika rakyat, kalau pemerintah berniat memaksa rakyatnya memakai elpiji semestinya sudah diperhitungkan kebutuhan nasional serta pasokan yang cukup dan distribusi yang lancar. Selain itu juga ada tim monitor yang mengawasi pelaksanaan program ini. Keinginan rakyat adalah kemudahan dalam hidup di tengah kesulitan ekonomi di negeri ini. Janganlah program pemerintah berpeluang menjepit rakyat yang sudah hidup sempit ini.
Dalam kasus antrean elpiji, pejabat Pertamina dan Hiswana Migas menuduh pengecer bermain dengan menimbun barang sehingga seolah-olah terjadi pasokan kurang. Akibatnya harga elpiji melambung karena permintaan tinggi. Mereka berdalih distribusi elpiji berjalan seperti biasa dan tidak ada pengurangan pasokan dari Pertamina dan agen.
Tapi di lapangan menurut pengakuan para pengecer, pasokan memang dikurangi oleh agen. Mereka tidak mungkin menimbun elpiji karena tidak punya tempat untuk menyimpan tabung elpiji.
Saling menuding itu pasti tidak menyelesaikan masalah. Sebab ini lagu lama ketika terjadi antrean elpiji. Bila saling menyalahkan tetap dijadikan alasan, menurut logika pihak manakah yang paling berpeluang besar menimbun elpiji?
Pemerintah, Pertamina, Hiswana Migas, harus bekerja keras untuk melayani rakyat dengan ikhlas karena rakyat memakai elpiji itu dipaksa bukan atas kehendaknya. Karena itu layani dengan baik.
Ikhlas itu artinya bekerjalah sesuai dengan fungsi dan tugas yang sudah dibebankan dengan gaji yang sudah diterimakan. Lebih jelas lagi, bekerjalah tanpa berpikir mencari keuntungan berdagang di tengah perubahan pemakaian elpiji yang sekarang meningkat karena program konversi.
Di tangan pemerintah, Pertamina, dan Hiswana Migas sekarang rakyat bergantung mendapatkan elpiji sesuai harga resmi. Janganlah berpikir karena rakyat sudah bergantung maka kondisi dapat dimainkan. (*)
.

Tidak ada komentar: