Sabtu, 29 Maret 2008

Negara Jangan Dijadikan Alat

Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Umum mau tidak mau harus disahkan hari ini baik lewat musyawarah mufakat atau voting. Sebab kalau DPR menunda lagi pengesahan itu bakal menjadi peristiwa memalukan karena acara pengesahan sudah ditunda dua kali. Semula RUU itu bakal disahkan pada 26 Februari lantas ditunda 28 Februari yang ternyata juga dibatalkan. Kemudian ditetapkan Senin, 3 Maret ini. Itu pun masih menyisakan dua pasal yang belum mufakat sehingga mau tidak mau harus divoting.
Molornya pengesahan RUU Pemilu ini sudah menimbulkan reaksi dan kecaman terhadap kinerja DPR sebab kasus ini makin menunjukkan kalau wakil rakyat itu lebih menyuarakan kelompoknya bukan rakyat. Pokok pangkalnya karena materi yang menyebabkan molornya pengesahan adalah perdebatan untuk kepentingan partai politik dalam Pemilu 2009.
Contohnya adalah keputusan yang mengejutkan dari Pansus RUU Pemilu tentang lolosnya 16 partai politik yang sekarang ini mempunyai kursi di DPR. Keputusan itu ditetapkan menjelang batas akhir penutupan penyerahan berkas partai politik di Departemen Hukum dan HAM.
Lolosnya 16 parpol langsung ikut Pemilu 2009 ini tentu saja menyalahi aturan electoral threshold (ET) 3% yang termuat dalam UU No. 12/2003 tentang Pemilu maupun pasal dalam RUU Pemilu. Tujuan dicantumkannya ET 3% adalah cara menyeleksi parpol yang berhak ikut pemilu secara alami. Asumsinya parpol yang perolehan suara kurang dari 3% berarti tidak dikehendaki rakyat konsekuensinya harus dibubarkan. Namun aturan itu dilanggar sendiri oleh anggota DPR demi kepentingan sejumlah parpol yang tidak lolos ET 3%.
Tentu saja ini bentuk ketidakadilan yang dibuat oleh DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang yang mulai terkesan membuat aturan semaunya. Bayangkan saja, di antara 16 parpol yang langsung ikut pemilu 2009 itu hanya punya satu kursi. Jumlah kursi yang sebetulnya tak pantas untuk langsung lolos pemilu.
Dari peristiwa ini mulai tampak tanda-tanda para politikus menjadikan partai politik sebagai tujuan dan negara menjadi alat. Politikus berjuang untuk kemakmuran partai dan pengurusnya dengan memanfaatkan fasilitas dan kekayaan negara. Sungguh ironis kalau ini terjadi maka rakyat benar-benar menjadi objek penderita.
Hari ini tinggal dua pasal yang belum tuntas dan harus diselesaikan hari ini juga lewat voting atau mufakat. Pasal itu adalah pertama, penghitungan sisa suara, apakah habis di Daerah Pemilihan (Dapil) atau ditarik ke propinsi. Kedua, penentuan calon terpilih, jika ada dua calon memperoleh lebih dari 20 persen, apakah melalui metode nomor urut, atau suara terbanyak.
Dua pasal itu tidak berkaitan langsung dengan rakyat namun kepentingan calon legislatif dan parpol. Karena itu jangan sampai pembuatan keputusannya bertele-tele lagi sehingga menghabiskan waktu dan biaya sidang.
Voting juga bagian dari demokrasi kalau tidak dapat dicapai mufakat maka voting harus dilakukan. Janganlah berperilaku seperti penguasa Orde Baru yang mengharamkan voting dan menekankan musyawarah mufakat padahal yang terjadi adalah merekayasa keputusan sebelum dibuat.
Sungguh tak elok kalau masih ada parpol yang takut kalah voting dalam pembuatan keputusan sehingga mengorbankan waktu dan biaya negara. Padahal UU Pemilu sudah ditunggu Komisi Pemilihan Umum untuk segera membuat jadwal penyelenggaraan pemilu. Bila molor lagi maka persiapan pemilu menjadi sangat pendek sehingga mempengaruhi kualitas pelaksanaannya.
. (*)

Tidak ada komentar: