Selasa, 28 Maret 2017

Udun Makar



Kegaduhan di negeri ini belum berhenti. Sambung menyambung setiap hari. Orang saling melapor karena tersinggung tulisan di facebook, instagram atau mendengar ceramah. Bukan hanya rakyat tapi juga pejabat.
 Ada Kapolda mengerahkan preman untuk menandingi  demonstrasi. Tak pelak terjadi pukul-pukulan hingga ada yang mati. Ada orang diincar terus dicarikan kesalahannya. Ada rakyat digerebek sepasukan polisi di rumahnya tengah malam. Tuduhannya, dia melecehkan bendera merah putih. Sebab saat demonstrasi satu rakyat ini membawa bendera merah putih ditulisi kalimat syahadat huruf Arab berhias dua pedang.
Padahal sebelumnya ada banyak kejadian bendera merah putih ditulis-tulisi dibawa demonstrasi dibiarkan saja. Misalnya, tulisan Bebaskan Ahok di bendera merah putih ya mulus-mulus saja. Ada bendera merah putih berhias logo Slanker, Metallica, dan grup band lain, pembawanya tidak ditangkap. Aneh bukan?
Rakyat menyimpulkan yang dianggap melecehkan oleh pemerintah itu bila bendera ditulisi huruf Arab. Lainnya boleh. Arabfobia?
            Para menteri juga tidak peka. Ketika muncul simbol-simbol komunis, Menteri Luhut  Binsar Panjaitan berkata itu hanya mode anak muda. Menteri Lukman Hakim bilang itu hantu komunis untuk menakut-nakuti saja.
Menteri Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia membantah tidak ada gambar palu arit di uang kertas. Gambar itu terbentuk dari konfigurasi logo BI untuk pengaman. Semestinya kalau ada masukan perkara sensitif  maka konfigurasi logo diubah hingga tidak berbentuk palu arit.
            Orang yang suka mengingatkan bahaya bangkitnya komunis dituduh komunistofobia. Sebab mereka anggap komunis sudah mati, tidak diminati lagi. Tapi melihat gejala ada kelompok yang suka melecehkan agama, merendahkan ulama, membanjirnya orang-orang Cina, sudah sepatutnya waspada. Sebab komunis dua kali bikin heboh di negara ini mengorbankan banyak nyawa.
            Perlu memperbaiki komunikasi antara rakyat dengan pejabat agar saling memahami sehingga tidak perlu gaduh. Hari ini yang terjadi rakyat tidak percaya pemerintah, pejabat curiga dengan rakyatnya. Muncullah arogansi masing-masing.
Apa pun yang diucapkan meskipun niatnya baik menjadi curiga karena sudah ada prasangka. Salah komunikasi ini bila diteruskan menjadikan negara menjurus berbahaya. Pertikaian antar rakyat, pejabat dengan rakyat, bila meluas menjadikan negara pecah.
            Mengkritik pemerintah dituduh makar. Padahal dulu sekali presiden pernah berkata suka dikritik, boleh demonstrasi, untuk mengingatkan pemerintah. Malah demonstran dipersilakan masuk kantornya, disuguhi makanan. Apakah sekarang sudah berubah pendapat?
            Ketidakpuasan rakyat harus dijawab pemerintah dengan bijak. Perlu menyamakan makna dan simbol  bahasa yang dipakai sehingga memahami masalah dengan persepsi yang sama.
Kemarin ada kejadian lucu saat anak SD diminta presiden menyebutkan nama-nama ikan. Pas menyebut nama ikan tongkol, ucapan anak ini terbalik-balik menjadi ikan kon***.  Hadirin tertawa, presiden juga tertawa. Dianggap lucu meski tidak patut. Bayangkan, kalau yang mengucapkan itu orang dewasa pasti  dituduh kurang ajar dan kena pasal penghinaan.
            Untuk memahami cara berkomunikasi yang berhasil ada baiknya kita menyimak kisah Abu Nawas memantati presiden yang dilakukan dengan cara brilian. Hasilnya presiden malah tertawa, tidak merasa terhina.
 Suatu hari, kelompok politikus pengrumpi bertemu Abu Nawas. Lalu mereka memberikan tantangan berbahaya kepada Abu Nawas yang dikenal sebagai orang dekat presiden.
”Abu Nawas kamu dikenal cerdik. Kali ini kami punya tantangan yang sulit bagimu lolos dari hukuman penghinaan pejabat negara,” ujar pengrumpi.
”Ana hanya takut kepada Allah. Selama berpegang pada Alquran dan sunnah semua beres. Apa tantangan ente?” jawab Abu Nawas santai.
”Apakah kamu berani memantati muka Yang Mulai Presiden di depan umum dan tidak tersinggung ?”
            ”Kalau ana berani dan berhasil apa taruhannya?”
            ”Seratus juta rupiah!”
            ”Hah? Uang suap saja sudah di atas dua miliar. Nyawaku kamu hargai segitu? Saya minta Rp 10 miliar bayar di muka. Deal?”
            Ganti para pengrumpi ciut nyali dengan harga taruhan. Heran, Abu Nawas kok langsung berani. Pasti sudah punya akal licik. Tapi mereka telanjur menantang maka malu muka kalau mundur balik ke belakang. Mereka urunan sehingga terkumpul Rp 10 miliar. Mereka penasaran siasat  apa yang diperagakan orang dekat presiden ini.
            ”OK. Deal!!!” jawab Abu Nawas. ”Nantikan di acara istana pekan depan. Kalian pasti diundang,” sambungnya.
Sepekan kemudian digelar acara jamuan makan di istana. Semua pejabat menteri, politikus, dan penegak hukum diundang. Saat acara dimulai kelompok pengrumpi tidak melihat Abu Nawas. Jangan-jangan Abu Nawas mangkir, kata mereka berbisik-bisik curiga. Sudah lari jauh membawa uang Rp 10 miliar ke Kolombia, kata lainnya.
Tiba-tiba muncul  Abu Nawas dari pintu masuk. Semua mata hadirin tertuju kepadanya termasuk Yang Mulia Presiden. Tetapi Abu Nawas tetap saja berdiri tidak segera duduk di kursi. Maka Yang Mulia Presiden memanggilnya dan menyuruh duduk.
”Maaf Yang Mulia, saya tidak bisa duduk,” jawab Abu Nawas.
”Kenapa? Kita ini sederajat. Rakyat dan pejabat boleh duduk di kursi istana,” kata presiden.
”Saya tahu, Yang Mulia. Tapi hari ini saya udun besar sekali,” jawab Abu Nawas. ”Saking besarnya sampai saya buatkan kantung sendiri,” katanya lagi.
”Coba lihat udunmu,” ujar presiden.
Abu Nawas pun balik badan dan menungging di depan presiden. Presiden dan hadirin tertawa melihat benjolan besar di pantat Abu Nawas dengan modifikasi celana berkantung tempay udun.
”Ini namanya udun makar,” celutuk presiden tertawa. Semua hadirin juga tertawa termasuk para politikus pengrumpi yang kalah taruhan. Abu Nawas menyeringai senang. (*)

Tidak ada komentar: