Kegaduhan
di negeri ini belum berhenti. Sambung menyambung setiap hari. Orang saling
melapor karena tersinggung tulisan di facebook, instagram atau mendengar
ceramah. Bukan hanya rakyat tapi juga pejabat.
Ada Kapolda mengerahkan preman untuk
menandingi demonstrasi. Tak pelak
terjadi pukul-pukulan hingga ada yang mati. Ada orang diincar terus dicarikan
kesalahannya. Ada rakyat digerebek sepasukan polisi di rumahnya tengah malam.
Tuduhannya, dia melecehkan bendera merah putih. Sebab saat demonstrasi satu
rakyat ini membawa bendera merah putih ditulisi kalimat syahadat huruf Arab
berhias dua pedang.
Padahal
sebelumnya ada banyak kejadian bendera merah putih ditulis-tulisi dibawa
demonstrasi dibiarkan saja. Misalnya, tulisan Bebaskan Ahok di bendera merah
putih ya mulus-mulus saja. Ada bendera merah putih berhias logo Slanker,
Metallica, dan grup band lain, pembawanya tidak ditangkap. Aneh bukan?
Rakyat
menyimpulkan yang dianggap melecehkan oleh pemerintah itu bila bendera ditulisi
huruf Arab. Lainnya boleh. Arabfobia?
Para menteri juga tidak peka. Ketika
muncul simbol-simbol komunis, Menteri Luhut
Binsar Panjaitan berkata itu hanya mode anak muda. Menteri Lukman Hakim
bilang itu hantu komunis untuk menakut-nakuti saja.
Menteri
Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia membantah tidak ada gambar palu arit di
uang kertas. Gambar itu terbentuk dari konfigurasi logo BI untuk pengaman.
Semestinya kalau ada masukan perkara sensitif
maka konfigurasi logo diubah hingga tidak berbentuk palu arit.
Orang yang suka mengingatkan bahaya
bangkitnya komunis dituduh komunistofobia. Sebab mereka anggap komunis sudah
mati, tidak diminati lagi. Tapi melihat gejala ada kelompok yang suka
melecehkan agama, merendahkan ulama, membanjirnya orang-orang Cina, sudah
sepatutnya waspada. Sebab komunis dua kali bikin heboh di negara ini mengorbankan
banyak nyawa.
Perlu memperbaiki komunikasi antara
rakyat dengan pejabat agar saling memahami sehingga tidak perlu gaduh. Hari ini
yang terjadi rakyat tidak percaya pemerintah, pejabat curiga dengan rakyatnya. Muncullah
arogansi masing-masing.
Apa
pun yang diucapkan meskipun niatnya baik menjadi curiga karena sudah ada
prasangka. Salah komunikasi ini bila diteruskan menjadikan negara menjurus
berbahaya. Pertikaian antar rakyat, pejabat dengan rakyat, bila meluas
menjadikan negara pecah.
Mengkritik pemerintah dituduh makar.
Padahal dulu sekali presiden pernah berkata suka dikritik, boleh demonstrasi,
untuk mengingatkan pemerintah. Malah demonstran dipersilakan masuk kantornya,
disuguhi makanan. Apakah sekarang sudah berubah pendapat?
Ketidakpuasan rakyat harus dijawab
pemerintah dengan bijak. Perlu menyamakan makna dan simbol bahasa yang dipakai sehingga memahami masalah
dengan persepsi yang sama.
Kemarin
ada kejadian lucu saat anak SD diminta presiden menyebutkan nama-nama ikan. Pas
menyebut nama ikan tongkol, ucapan anak ini terbalik-balik menjadi ikan
kon***. Hadirin tertawa, presiden juga
tertawa. Dianggap lucu meski tidak patut. Bayangkan, kalau yang mengucapkan itu
orang dewasa pasti dituduh kurang ajar
dan kena pasal penghinaan.
Untuk memahami cara berkomunikasi
yang berhasil ada baiknya kita menyimak kisah Abu Nawas memantati presiden yang
dilakukan dengan cara brilian. Hasilnya presiden malah tertawa, tidak merasa
terhina.
Suatu hari, kelompok politikus pengrumpi bertemu
Abu Nawas. Lalu mereka memberikan tantangan berbahaya kepada Abu Nawas yang dikenal
sebagai orang dekat presiden.
”Abu
Nawas kamu dikenal cerdik. Kali ini kami punya tantangan yang sulit bagimu
lolos dari hukuman penghinaan pejabat negara,” ujar pengrumpi.
”Ana
hanya takut kepada Allah. Selama berpegang pada Alquran dan sunnah semua beres.
Apa tantangan ente?” jawab Abu Nawas santai.
”Apakah
kamu berani memantati muka Yang Mulai Presiden di depan umum dan tidak
tersinggung ?”
”Kalau ana berani dan berhasil apa
taruhannya?”
”Seratus juta rupiah!”
”Hah? Uang suap saja sudah di atas
dua miliar. Nyawaku kamu hargai segitu? Saya minta Rp 10 miliar bayar di muka.
Deal?”
Ganti para pengrumpi ciut nyali
dengan harga taruhan. Heran, Abu Nawas kok langsung berani. Pasti sudah punya
akal licik. Tapi mereka telanjur menantang maka malu muka kalau mundur balik ke
belakang. Mereka urunan sehingga terkumpul Rp 10 miliar. Mereka penasaran
siasat apa yang diperagakan orang dekat
presiden ini.
”OK. Deal!!!” jawab Abu Nawas.
”Nantikan di acara istana pekan depan. Kalian pasti diundang,” sambungnya.
Sepekan
kemudian digelar acara jamuan makan di istana. Semua pejabat menteri,
politikus, dan penegak hukum diundang. Saat acara dimulai kelompok pengrumpi
tidak melihat Abu Nawas. Jangan-jangan Abu Nawas mangkir, kata mereka
berbisik-bisik curiga. Sudah lari jauh membawa uang Rp 10 miliar ke Kolombia,
kata lainnya.
Tiba-tiba
muncul Abu Nawas dari pintu masuk. Semua
mata hadirin tertuju kepadanya termasuk Yang Mulia Presiden. Tetapi Abu Nawas
tetap saja berdiri tidak segera duduk di kursi. Maka Yang Mulia Presiden
memanggilnya dan menyuruh duduk.
”Maaf
Yang Mulia, saya tidak bisa duduk,” jawab Abu Nawas.
”Kenapa?
Kita ini sederajat. Rakyat dan pejabat boleh duduk di kursi istana,” kata
presiden.
”Saya
tahu, Yang Mulia. Tapi hari ini saya udun
besar sekali,” jawab Abu Nawas. ”Saking besarnya sampai saya buatkan kantung
sendiri,” katanya lagi.
”Coba
lihat udunmu,” ujar presiden.
Abu
Nawas pun balik badan dan menungging di depan presiden. Presiden dan hadirin
tertawa melihat benjolan besar di pantat Abu Nawas dengan modifikasi celana
berkantung tempay udun.
”Ini
namanya udun makar,” celutuk presiden
tertawa. Semua hadirin juga tertawa termasuk para politikus pengrumpi yang
kalah taruhan. Abu Nawas menyeringai senang. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar