Senin, 28 Agustus 2017

Penaklukan Eropa



Gelombang pengungsian warga Timur Tengah ke daratan Eropa akibat perang saudara setahun lalu merupakan ironi bagi dunia Islam.  Peristiwa ini bertolak belakang dengan faktor penyebab hijrah di masa Nabi Muhammad SAW.
Rakyat Suriah dan Irak hijrah ke negeri Eropa yang Kristen karena tidak aman di negara sendiri  yang dipimpin pemerintah muslim. Sementara umat muslim di zaman Nabi berhijrah karena menghindari penguasa kafir dholim Mekkah mencari negara aman di Abesinia dan Yatsrib.
Sangat ironis lagi, para pengungsi itu tidak menuju negara-negara muslim tetangganya tetapi memilih negara Eropa yang dinilai lebih aman, nyaman, demokratis, dan mapan meskipun jauh dan menyengsarakan. Negara muslim tetangga pun pura-pura tidak tahu nasib pengungsi . Sebab  negara tetangga ini khawatir, perang itu merembet ke negaranya.
Bahkan negara Turki yang sekarang dipimpin partai Islam yang dipuji mampu membangkitkan ekonominya juga tidak menjadi tujuan pengungsian. Turki hanya dilewati sebagai pintu menuju dataran Eropa yang dianggap lebih menjanjikan. 
Pengungsian warga muslim ke negara Eropa itu makin menguatkan stigma pemerintah Islam itu buruk karena diktator, korup, labil, dan rawan konflik. Sebaliknya negara Eropa yang Kristen sekular dinilai demokratis, melindungi hak rakyat, manusiawi, terbuka, memberi peluang untuk maju.
Apalagi negara Islamic State of Iraq-Syiria (ISIS) yang mengklaim sistem negaranya meniru zaman Nabi Muhammad malah ditinggalkan rakyat yang didudukinya. Pertanyaannya, jika memang benar negara ISIS itu semirip dengan negara bentukan Nabi, kenapa rakyat merasa tidak aman dan nyaman? Apakah benar model negara seperti dibangun Nabi di Madinah itu seperti ISIS sekarang ini?
Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Sebab ISIS belum stabil karena dilanda perang. Batas negara saja bisa berubah setiap waktu. Kehidupan rakyat yang berada di dalamnya belum normal. Pengalaman orang yang bergabung dengan ISIS juga berbeda-beda. Dari kelompok mujahid menyatakan, ISIS menjadi medan jihad mencapai surga. Dari kelompok rakyat kecewa karena warga sipil menjadi nomor dua. Warga istimewa adalah para milisi.
Dari kasus konflik Suriah dan ISIS ini makin susah menyakinkan orang bahwa negara Islam itu baik, nyaman, bermartabat, maju, dan aman. Di tanah air sendiri respon terhadap negara khalifah yang diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) negatif sehingga pemerintah membekukan organisasi itu.
 Persepsi buruk negara khalifah juga muncul dari kalangan Kristen seperti disampaikan oleh Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR, Victor Laiskodat. Menurut Laiskodat, jika negara khalifah berhasil dibentuk di negara ini maka semua orang diwajibkan shalat. Jika menolak shalat mereka akan dibunuh. Karena itu, menurut dia, agar tidak dibunuh jika negara khalifah berdiri lebih baik membunuh lebih dulu.
Victor Laiskodat tampak tidak memiliki pengetahuan tentang sistem negara Islam. Dia hanya bicara berdasarkan persepsi yang dibentuk oleh informasi yang dia lihat seperti di Suriah dan ISIS itu. Masih banyak orang yang berpersepsi buruk dan mendapat gambaran salah terhadap negara Islam seperti Laiskodat. Bukan hanya kalangan non muslim, dari kalangan muslim saja yang antipati terhadap negara Islam juga banyak jumlahnya. Buktinya pemerintah Jokowi membubarkan HTI yang dituduh melanggar Pancasila.
Pengungsian warga muslim Timur Tengah ke Eropa ada sisi baik dan buruknya. Sisi buruknya, di antara pengungsi terselip para militan dengan perencanaan bom sehingga memperburuk citra Islam. Selain itu ada warga muslim yang larut dalam gaya hidup Eropa yang liberal.
Sisi baiknya umat muslim makin meningkat jumlahnya di Eropa. Jika mereka mampu mempertahankan identitas muslim maka lambat laut Eropa bisa terwarnai sehingga menjadi daratan Islam di masa mendatang. Apalagi orang Eropa sudah tidak aktif lagi ke gereja dan menghargai privasi agama seseorang.
Gejala munculnya pengaruh Islam itu terbaca dari laporan koran-koran setempat yang dengan sinis menyebut London dengan julukan Londonistan, Belgia menjadi Belgistan. Laporan itu menyebutkan pengaruh Islam terhadap kota-kota di Eropa masa kini makin mencolok. Jumlah warga muslim terus bertambah, termasuk aktivitas keagamaan, dan public figurenya seperti Walikota London, Shadiq Khan, adalah muslim. Jumlah masjid juga meningkat sebaliknya jumlah gereja menyusut.
Budayawan Jaya Suprana menulis dengan mengutip laporan koran London menyebutkan, sejak 2001 sampai dengan 2016, di London telah berdiri 423 masjid baru sementara sekitar 500 gereja telah ditutup karena tidak ada jamaah.
 The Hyatt United Church dibeli oleh umat Islam dari Mesir dan diubah menjadi masjid. Sama halnya dengan gereja Santo Peter berubah menjadi masjid Madina. Masjid Brick Lane semula adalah sebuah gereja Methodist. Bukan hanya bangunan yang berubah tapi jumlah mualaf, pada tahun 2016 di kota Londonistan meningkat dua kali lipat.
Ceri Peach dari Universitas Oxford menyatakan homogenitas umat beragama di Inggris masa kini memudar akibat dominasi Kristen memang melenyap. Direktur The National Secular Society, Keith Porteus Wood yakin bahwa di Inggris dalam 20 tahun mendatang jumlah Muslim akan lebih besar ketimbang jumlah Nasrani.  
Menurut riset NatCen Social Research Institute jumlah umat Anglican pada lingkup waktu 2012 sampai dengan 2014 mengalami kemerosotan menjadi sekitar 1,7 juta , sementara jumlah umat Islam di Inggris meningkat menjadi satu juta insan. Demografikal, umat beragama di Manchester 15,8 persen Muslim, Birmingham 15,8 persen bahkan Bradford 24,7 persen.
Jika gejala ini kian meluas hingga terjadi di beberapa kota di Eropa, maka sejarah akan berulang lagi. Dataran Eropa menjadi negeri muslim seperti zaman Andalusia dahulu. Sekarang penaklukan Eropa tanpa perang tapi dari pengaruh peradaban.

Tidak ada komentar: