Gelombang pengungsian warga Timur
Tengah ke daratan Eropa akibat perang saudara setahun lalu merupakan ironi bagi
dunia Islam. Peristiwa ini bertolak
belakang dengan faktor penyebab hijrah di masa Nabi Muhammad SAW.
Rakyat Suriah dan Irak hijrah ke
negeri Eropa yang Kristen karena tidak aman di negara sendiri yang dipimpin pemerintah muslim. Sementara
umat muslim di zaman Nabi berhijrah karena menghindari penguasa kafir dholim Mekkah
mencari negara aman di Abesinia dan Yatsrib.
Sangat ironis lagi, para pengungsi
itu tidak menuju negara-negara muslim tetangganya tetapi memilih negara Eropa
yang dinilai lebih aman, nyaman, demokratis, dan mapan meskipun jauh dan menyengsarakan.
Negara muslim tetangga pun pura-pura tidak tahu nasib pengungsi . Sebab negara tetangga ini khawatir, perang itu
merembet ke negaranya.
Bahkan negara Turki yang sekarang
dipimpin partai Islam yang dipuji mampu membangkitkan ekonominya juga tidak
menjadi tujuan pengungsian. Turki hanya dilewati sebagai pintu menuju dataran
Eropa yang dianggap lebih menjanjikan.
Pengungsian warga muslim ke negara
Eropa itu makin menguatkan stigma pemerintah Islam itu buruk karena diktator,
korup, labil, dan rawan konflik. Sebaliknya negara Eropa yang Kristen sekular
dinilai demokratis, melindungi hak rakyat, manusiawi, terbuka, memberi peluang
untuk maju.
Apalagi negara Islamic State of
Iraq-Syiria (ISIS) yang mengklaim sistem negaranya meniru zaman Nabi Muhammad
malah ditinggalkan rakyat yang didudukinya. Pertanyaannya, jika memang benar
negara ISIS itu semirip dengan negara bentukan Nabi, kenapa rakyat merasa tidak
aman dan nyaman? Apakah benar model negara seperti dibangun Nabi di Madinah itu
seperti ISIS sekarang ini?
Tidak mudah menjawab pertanyaan
itu. Sebab ISIS belum stabil karena dilanda perang. Batas negara saja bisa
berubah setiap waktu. Kehidupan rakyat yang berada di dalamnya belum normal.
Pengalaman orang yang bergabung dengan ISIS juga berbeda-beda. Dari kelompok
mujahid menyatakan, ISIS menjadi medan jihad mencapai surga. Dari kelompok
rakyat kecewa karena warga sipil menjadi nomor dua. Warga istimewa adalah para
milisi.
Dari kasus konflik Suriah dan ISIS
ini makin susah menyakinkan orang bahwa negara Islam itu baik, nyaman, bermartabat,
maju, dan aman. Di tanah air sendiri respon terhadap negara khalifah yang
diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) negatif sehingga pemerintah
membekukan organisasi itu.
Persepsi buruk negara khalifah juga muncul
dari kalangan Kristen seperti disampaikan oleh Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR,
Victor Laiskodat. Menurut Laiskodat, jika negara khalifah berhasil dibentuk di
negara ini maka semua orang diwajibkan shalat. Jika menolak shalat mereka akan
dibunuh. Karena itu, menurut dia, agar tidak dibunuh jika negara khalifah
berdiri lebih baik membunuh lebih dulu.
Victor Laiskodat tampak tidak
memiliki pengetahuan tentang sistem negara Islam. Dia hanya bicara berdasarkan
persepsi yang dibentuk oleh informasi yang dia lihat seperti di Suriah dan ISIS
itu. Masih banyak orang yang berpersepsi buruk dan mendapat gambaran salah
terhadap negara Islam seperti Laiskodat. Bukan hanya kalangan non muslim, dari kalangan
muslim saja yang antipati terhadap negara Islam juga banyak jumlahnya. Buktinya
pemerintah Jokowi membubarkan HTI yang dituduh melanggar Pancasila.
Pengungsian warga muslim Timur
Tengah ke Eropa ada sisi baik dan buruknya. Sisi buruknya, di antara pengungsi
terselip para militan dengan perencanaan bom sehingga memperburuk citra Islam.
Selain itu ada warga muslim yang larut dalam gaya hidup Eropa yang liberal.
Sisi baiknya umat muslim makin
meningkat jumlahnya di Eropa. Jika mereka mampu mempertahankan identitas muslim
maka lambat laut Eropa bisa terwarnai sehingga menjadi daratan Islam di masa mendatang.
Apalagi orang Eropa sudah tidak aktif lagi ke gereja dan menghargai privasi
agama seseorang.
Gejala munculnya pengaruh Islam itu
terbaca dari laporan koran-koran setempat yang dengan sinis menyebut London
dengan julukan Londonistan, Belgia menjadi Belgistan. Laporan itu menyebutkan pengaruh
Islam terhadap kota-kota di Eropa masa kini makin mencolok. Jumlah warga muslim
terus bertambah, termasuk aktivitas keagamaan, dan public figurenya seperti
Walikota London, Shadiq Khan, adalah muslim. Jumlah masjid juga meningkat
sebaliknya jumlah gereja menyusut.
Budayawan Jaya Suprana menulis
dengan mengutip laporan koran London menyebutkan, sejak 2001 sampai dengan
2016, di London telah berdiri 423 masjid baru sementara sekitar 500 gereja
telah ditutup karena tidak ada jamaah.
The Hyatt United Church dibeli oleh umat Islam
dari Mesir dan diubah menjadi masjid. Sama halnya dengan gereja Santo Peter berubah
menjadi masjid Madina. Masjid Brick Lane semula adalah sebuah gereja Methodist.
Bukan hanya bangunan yang berubah tapi jumlah mualaf, pada tahun 2016 di kota
Londonistan meningkat dua kali lipat.
Ceri Peach dari Universitas Oxford
menyatakan homogenitas umat beragama di Inggris masa kini memudar akibat
dominasi Kristen memang melenyap. Direktur The National Secular Society, Keith
Porteus Wood yakin bahwa di Inggris dalam 20 tahun mendatang jumlah Muslim akan
lebih besar ketimbang jumlah Nasrani.
Menurut riset NatCen Social
Research Institute jumlah umat Anglican pada lingkup waktu 2012 sampai dengan
2014 mengalami kemerosotan menjadi sekitar 1,7 juta , sementara jumlah umat
Islam di Inggris meningkat menjadi satu juta insan. Demografikal, umat beragama
di Manchester 15,8 persen Muslim, Birmingham 15,8 persen bahkan Bradford 24,7
persen.
Jika gejala ini kian meluas hingga
terjadi di beberapa kota di Eropa, maka sejarah akan berulang lagi. Dataran
Eropa menjadi negeri muslim seperti zaman Andalusia dahulu. Sekarang penaklukan
Eropa tanpa perang tapi dari pengaruh peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar