Senin, 28 Agustus 2017

Radikal dan Ekstrem



Jika Anda dituduh radikal dan ekstrem, jangan gusar. Sebab seluruh nabi dan rasul adalah orang radikal dan ekstrem. Jadi ketika ada penceramah yang menyampaikan ayat laqod kana lakum fii rasulillahi usawatun hasanah, beritahukan kepadanya bahwa dia sedang menyampaikan keradikalan dan ekstremitas.
Selama ini para penceramah memahami uswatun hasanah pada diri rasul hanya secuplik sisi kelembutan, kedermawanan, toleransi atau kepemimpinannya. Hanya topik itu yang sering disampaikan penceramah meniru keteladanan nabi. Tetapi keradikalan dan keekstreman para rasul jarang diungkap. Padahal dua sikap itu yang mengubah dunia bejat dan korup menjadi baik.
Dua sikap itu jarang diungkap dan disampaikan karena berbahaya. Sebab bisa mengancam kemapanan masyarakat dan mengganggu stabilitas kekuasaan.
Contoh, cermati keradikalan dan ekstremitas Nabi Ibrahim. Dia lahir di kota Ur, Babilonia, negeri Irak sekarang. Hidup dalam masyarakat musyrik penyembah berhala. Bahkan bapaknya, Azar, profesinya pemahat patung dewa.
Tetapi lingkungan tidak membuat  pikiran dan perilaku Nabi  Ibrahim  larut dalam budaya kafir.  Malah dia tumbuh menjadi  pemuda yang kritis. Berani mengingatkan penguasa dan masyarakat tentang paham dan praktik peribadatan sesat (2:258). Cermati pikiran radikal dan ekstrem Ibrahim ketika masih berusia muda.
Ibrahim mempertanyakan,  kenapa matahari, bulan, dan bintang disembah manusia dan dianggap tuhan (6:76 – 78). Lebih aneh lagi patung-patung buatan bapaknya malah diberi sesaji dan dipuja-puji dipercaya membawa rezeki dan kedamaian (21: 51-55).
Ketika dakwah lisan tidak mampu memberikan kesadaran dan perubahan masyarakat maka  Ibrahim membuat gerakan mengejutkan. Dia hancurkan patung-patung berhala itu.  Tak pelak dia pun menjadi tertuduh sebagai teroris (21:57-61).
Bayangkan, Ibrahim muda menghancurkan sesembahan yang dianggap penting bagi masyarakat. Dia pun menyangkal tuduhan. Dengan jenaka, dia membuat alibi dengan menyisakan satu patung besar sebagai saksi. Ketika penguasa menuduh maka dia menjawab, tanya saja ke patung besar yang menjadi saksi itu siapa yang merusak berhala kalian.
Anehnya meskipun argumentasi Ibrahim itu logis malah dinilai mustahil. Penguasa dan masyarakat ternyata tahu dan sadar tidak mungkin patung batu bisa menjadi saksi.  Sudah mengerti, anehnya malah disembah. Inilah kerusakan moral dan logika.
Lebih aneh lagi Ibrahim tetap dipersalahkan merusak tatanan negara. Dia sudah memberontak kepada penguasa Namrud. Dia telah bertindak  subversif (21:62:67).
Penguasa menjatuhkan vonis mati kepadanya. Mati dengan dibakar.  Namun Allah membebaskan dari panasnya kobaran api (21:68-71). Tetapi masyarakat melihat Ibrahim kebal dengan api.
Bayangkan, bagaimana kagetnya penguasa dan masyarakat zaman itu menyaksikan api besar tidak menghancurkan tubuh seorang pemberontak. Kemudian Ibrahim meloloskan diri. Lantas dia hidup menjadi pelarian. Buron.
 Dalam pelarian itu Ibrahim menjadi lebih matang pemikiran dan pengalaman religiusnya hingga haqqul yaqin memahami Tuhan sejati. Tetapi Allah masih mengujinya. Lama dia tidak memiliki anak sebagai penerusnya. Tiap hari dia sampaikan doa agar diberi anak salih. Hingga akhirnya Allah pun mengabulkan doanya dengan lahirnya Ismail. Nama ini bermakna Tuhan telah mendengarkan.
Setelah anak itu beranjak dewasa, Nabi Ibrahim tidak menyangka anak yang diharap-harapkan kelahirannya itu diminta oleh Allah untuk dikurbankan. Semula dia ragu. Sebab perintah itu hadir lewat mimpi. Mungkin hanya kembang tidur. Tetapi mimpi itu berkali-kali datang.
Hatinya gundah. Tegakah dia menyembelih anaknya sendiri? Kenapa Tuhan meminta kurban anak manusia seperti  praktik ritual agama pagan yang dilakukan penguasa  Namrud? Bukankah selama ini dia menentang perilaku dholim raja Babilonia itu?
Kini Allah justru memintanya memberi persembahan kurban manusia. Dan kurban itu adalah anaknya sendiri. Anak satu-satunya. Anak yang diberi Allah di usia tuanya. Betapa beratnya perintah yang seolah-olah mengusik kebahagiaan.
Perintah itu datang ketika dia berada di tanah Mekkah bukan di Babilonia. Jarak dua negeri ini sangat jauh tetapi praktik ritual persembahan kurban terjadi  di masyarakat mana pun di zaman itu.
Praktik persembahan kurban realitasnya hingga kini tidak pernah hilang. Ritual itu telah bermetamorfosis dalam bentuk yang lain.  Pemimpin-pemimpin  atas nama demokrasi dan kepentingan politik justru mengerahkan rakyat sebagai kurban dan menggiringnya menuju penjagalan di altar kekuasaan.
 Kurban-kurban manusia ditumpuk membentuk piramida kekuasaan untuk pendakian sang pemimpin menuju puncak kursi jabatan.
Di zaman peralihan Orde Lama ke Orde Baru berapa juta rakyat mati untuk membangun piramida kekuasaan Soeharto? Bahkan selama Soeharto berkuasa kurban-kurban masih terus ditumpuk untuk persembahan stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi.
Peralihan ke zaman Reformasi pun manusia masih dikurbankan untuk kepentingan perubahan politik orang yang ingin berkuasa.
Tradisi kurban politik seperti ingin terus dilanggengkan dalam ritual pemilihan umum. Rakyat dirayu agar memberikan suaranya dengan janji-janji kemakmuran dalam kampanye. Setelah kekuasaan didapat, janji tinggallah janji. Rakyat tetap miskin tercekik harga yang naik.
Sekarang rakyat menjadi pragmatis. Mereka merelakan diri menjadi kurban dengan meminta suap kepada calon pemimpin. Sebab mereka tidak percaya lagi dengan janji kampanye. Rakyat ingin janji yang instan. Karena itulah bangunan piramida kekuasaan sekarang ini sangat rapuh. Karena dibangun dengan suap.
Saatnya kita kembali membaca sejarah Ibrahim. Dia adalah orang yang  mengurbankan sesuatu yang sangat dicintainya.  Sikap seperti ini muncul hanya dari jiwa radikal dan esktrem.

Tidak ada komentar: