Jika
Anda dituduh radikal dan ekstrem, jangan gusar. Sebab seluruh nabi dan rasul
adalah orang radikal dan ekstrem. Jadi ketika ada penceramah yang menyampaikan
ayat laqod kana lakum fii rasulillahi usawatun hasanah, beritahukan
kepadanya bahwa dia sedang menyampaikan keradikalan dan ekstremitas.
Selama
ini para penceramah memahami uswatun hasanah pada diri rasul hanya
secuplik sisi kelembutan, kedermawanan, toleransi atau kepemimpinannya. Hanya
topik itu yang sering disampaikan penceramah meniru keteladanan nabi. Tetapi
keradikalan dan keekstreman para rasul jarang diungkap. Padahal dua sikap itu
yang mengubah dunia bejat dan korup menjadi baik.
Dua
sikap itu jarang diungkap dan disampaikan karena berbahaya. Sebab bisa
mengancam kemapanan masyarakat dan mengganggu stabilitas kekuasaan.
Contoh,
cermati keradikalan dan ekstremitas Nabi Ibrahim. Dia lahir di kota Ur,
Babilonia, negeri Irak sekarang. Hidup dalam masyarakat musyrik penyembah berhala.
Bahkan bapaknya, Azar, profesinya pemahat patung dewa.
Tetapi
lingkungan tidak membuat pikiran dan
perilaku Nabi Ibrahim larut dalam budaya kafir. Malah dia tumbuh menjadi pemuda yang kritis. Berani mengingatkan
penguasa dan masyarakat tentang paham dan praktik peribadatan sesat (2:258). Cermati pikiran radikal
dan ekstrem Ibrahim ketika masih berusia muda.
Ibrahim
mempertanyakan, kenapa matahari, bulan,
dan bintang disembah manusia dan dianggap tuhan (6:76 – 78). Lebih aneh lagi
patung-patung buatan bapaknya malah diberi sesaji dan dipuja-puji dipercaya
membawa rezeki dan kedamaian (21: 51-55).
Ketika
dakwah lisan tidak mampu memberikan kesadaran dan perubahan masyarakat
maka Ibrahim membuat gerakan
mengejutkan. Dia hancurkan patung-patung berhala itu. Tak pelak dia pun menjadi tertuduh sebagai
teroris (21:57-61).
Bayangkan,
Ibrahim muda menghancurkan sesembahan yang dianggap penting bagi masyarakat. Dia
pun menyangkal tuduhan. Dengan jenaka, dia membuat alibi dengan menyisakan satu
patung besar sebagai saksi. Ketika penguasa menuduh maka dia menjawab, tanya
saja ke patung besar yang menjadi saksi itu siapa yang merusak berhala kalian.
Anehnya
meskipun argumentasi Ibrahim itu logis malah dinilai mustahil. Penguasa dan
masyarakat ternyata tahu dan sadar tidak mungkin patung batu bisa menjadi
saksi. Sudah mengerti, anehnya malah
disembah. Inilah kerusakan moral dan logika.
Lebih
aneh lagi Ibrahim tetap dipersalahkan merusak tatanan negara. Dia sudah
memberontak kepada penguasa Namrud. Dia telah bertindak subversif (21:62:67).
Penguasa
menjatuhkan vonis mati kepadanya. Mati dengan dibakar. Namun Allah membebaskan dari panasnya kobaran
api (21:68-71). Tetapi masyarakat melihat Ibrahim kebal dengan api.
Bayangkan,
bagaimana kagetnya penguasa dan masyarakat zaman itu menyaksikan api besar
tidak menghancurkan tubuh seorang pemberontak. Kemudian Ibrahim meloloskan
diri. Lantas dia hidup menjadi pelarian. Buron.
Dalam pelarian itu Ibrahim menjadi lebih
matang pemikiran dan pengalaman religiusnya hingga haqqul yaqin memahami
Tuhan sejati. Tetapi Allah masih mengujinya. Lama dia tidak memiliki anak
sebagai penerusnya. Tiap hari dia sampaikan doa agar diberi anak salih. Hingga
akhirnya Allah pun mengabulkan doanya dengan lahirnya Ismail. Nama ini bermakna
Tuhan telah mendengarkan.
Setelah
anak itu beranjak dewasa, Nabi Ibrahim tidak menyangka anak yang
diharap-harapkan kelahirannya itu diminta oleh Allah untuk dikurbankan. Semula
dia ragu. Sebab perintah itu hadir lewat mimpi. Mungkin hanya kembang tidur.
Tetapi mimpi itu berkali-kali datang.
Hatinya
gundah. Tegakah dia menyembelih anaknya sendiri? Kenapa Tuhan meminta kurban
anak manusia seperti praktik ritual
agama pagan yang dilakukan penguasa
Namrud? Bukankah selama ini dia menentang perilaku dholim raja Babilonia
itu?
Kini
Allah justru memintanya memberi persembahan kurban manusia. Dan kurban itu
adalah anaknya sendiri. Anak satu-satunya. Anak yang diberi Allah di usia
tuanya. Betapa beratnya perintah yang seolah-olah mengusik kebahagiaan.
Perintah
itu datang ketika dia berada di tanah Mekkah bukan di Babilonia. Jarak dua
negeri ini sangat jauh tetapi praktik ritual persembahan kurban terjadi di masyarakat mana pun di zaman itu.
Praktik
persembahan kurban realitasnya hingga kini tidak pernah hilang. Ritual itu
telah bermetamorfosis dalam bentuk yang lain.
Pemimpin-pemimpin atas nama demokrasi
dan kepentingan politik justru mengerahkan rakyat sebagai kurban dan
menggiringnya menuju penjagalan di altar kekuasaan.
Kurban-kurban manusia ditumpuk membentuk
piramida kekuasaan untuk pendakian sang pemimpin menuju puncak kursi jabatan.
Di
zaman peralihan Orde Lama ke Orde Baru berapa juta rakyat mati untuk membangun
piramida kekuasaan Soeharto? Bahkan selama Soeharto berkuasa kurban-kurban
masih terus ditumpuk untuk persembahan stabilitas politik, keamanan, dan
ekonomi.
Peralihan
ke zaman Reformasi pun manusia masih dikurbankan untuk kepentingan perubahan politik
orang yang ingin berkuasa.
Tradisi
kurban politik seperti ingin terus dilanggengkan dalam ritual pemilihan umum. Rakyat
dirayu agar memberikan suaranya dengan janji-janji kemakmuran dalam kampanye.
Setelah kekuasaan didapat, janji tinggallah janji. Rakyat tetap miskin tercekik
harga yang naik.
Sekarang
rakyat menjadi pragmatis. Mereka merelakan diri menjadi kurban dengan meminta
suap kepada calon pemimpin. Sebab mereka tidak percaya lagi dengan janji
kampanye. Rakyat ingin janji yang instan. Karena itulah bangunan piramida
kekuasaan sekarang ini sangat rapuh. Karena dibangun dengan suap.
Saatnya
kita kembali membaca sejarah Ibrahim. Dia adalah orang yang mengurbankan sesuatu yang sangat
dicintainya. Sikap seperti ini muncul
hanya dari jiwa radikal dan esktrem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar