Setahun masa pemerintahan Joko Widodo - Jusuf
Kalla banyak diulas pakar dan masyarakat. Kebanyakan bernada pesimistis karena
beberapa janji kampanye tidak terwujud. Bahkan situasinya dinilai terus
memburuk.
Paling dirasakan dampaknya oleh masyarakat
adalah harga sembako, daging, dan BBM naik. Janji penyediaan lapangan kerja
tidak terwujud justru yang terjadi adalah PHK massal akibat turunnya nilai
rupiah terhadap dollar. Pengangguran pun bertambah sekitar 60.000 orang pada Oktober
ini. Bencana asap kebakaran lahan Kalimantan dan Sumatra sampai menelan nyawa.
Belum lagi janji pembangunan infrastruktur yang sangat lambat.
Pendukung Jokowi pun berkilah, setahun
merupakan waktu yang pendek. Mana mungkin mewujudkan semua janji kampanye dalam
tempo secepat itu? Apalagi ada faktor krisis ekonomi dunia yang memengaruhi
perdagangan dan industri Indonesia.
Kita pun dapat memahami situasi itu. Namun yang
tampak nyata di depan mata adalah Presiden Joko Widodo terkesan tidak mampu
menjadi dirijen yang baik untuk mengendalikan irama kerja kabinetnya menjadi suara rancak yang enak
dinikmati. Justru yang terdengar adalah suara gaduh para menteri. Nada sumbang
yang dimainkan anggota kabinet itu membisingkan telinga rakyat yang sudah lelah
mendengar kenaikan harga barang.
Kinerja pemerintah sebenarnya sudah dapat
dibaca dari gaya bicara
Jokowi. Intonasinya lambat dan selalu ada jeda lama. Jeda itu sekitar 30
detik, karena dia kesulitan
menemukan kata yang ingin diucapkan. Gaya bicara itu membuatnya
tampak tidak berwibawa dan terkesan telat mikir.
Gaya bicara bisa jadi mencerminkan kecepatan
berpikir. Orang yang berbicaranya cepat, sistematis, dan jelas menunjukkan cara
berpikirnya yang cepat, tangkas, dan sistematis. Sebaliknya, orang yang gaya
bicaranya pelan, lama, apalagi ada jeda, menunjukkan cara berpikirnya lambat,
berhati-hati, atau pelupa.
Gaya
bicara memang lebih terbentuk dari bakat. Pembawaan dari lahir. Meskipun begitu
gaya bicara yang baik dapat dibentuk dari belajar. Di zaman Yunani kuno, ada
sekolah berpidato, tempat para politikus senat belajar menjadi orator ulung.
Dari guru-guru sekolah inilah muncul buku-buku teknik berpidato dan beragitasi.
Rupanya
Jokowi menyadari kelemahannya soal gaya bicara ini. Sebuah berita di TV pernah
menayangkan seorang guru pidato menceritakan, Jokowi pernah belajar teknik
berbicara kepadanya saat menjadi walikota Solo. Jadi gaya bicara Jokowi sudah
banyak berubah dari masa belajar itu. Semestinya gaya yang sekarang ini sudah
lebih baik dibandingkan sebelum ikut kursus berpidato di Solo.
Pertanyaannya,
adakah korelasi antara gaya berpikir Presiden Jokowi yang lambat, berjeda lama
dengan cara berpikirnya? Jawaban ini
dapat dibandingkan dengan gaya bicara Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan
Wakil Presiden Muhammad Yusuf Kalla dan korelasinya dengan kecepatan membuat keputusan.
Presiden
SBY dinilai pengamat mempunyai sifat peragu. Itu diukur dari
pernyataan-pernyataannya terhadap suatu masalah perlu ditimbang-timbang.
Dipelajari dulu dan meminta masukan. Implikasinya keputusan yang dibuat lama.
Bahkan ada yang menyebut sudah basi.
Ini selaras dengan gaya bicara
SBY yang berhati-hati sekali dengan intonasi datar, formal, dan kaku untuk
mengesankan kewibawaan. Setiap kata yang diucapkan seolah-olah sudah dipilih
untuk membangun argumentasi yang tepat. Suka mengulang kata yang dianggap
penting untuk meyakinkan audiens.
Beda
dengan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang gaya bicaranya cepat, spontan,
bersemangat, argumentatif, tapi santai dengan senyum. Ini terbawa kepada gaya
kepemimpinannya yang cepat merespon, berpendapat, bertindak dan membuat
keputusan. Tidak peduli dengan kritikan karena berani menanggung risiko.
Presiden
Jokowi sangat berbeda dari dua orang ini. Selain gaya bicaranya lambat, ada
jeda panjang juga santai, ada gurauan,
enteng, kadang ndakik, kadang
terkesan nglewes seperti gaya bicara
orang kampung.
Gaya
ini ternyata tidak tercermin dalam pembuatan keputusan Jokowi yang cenderung
cepat. Belum sebulan sejak dilantik sudah mengeluarkan dua keputusan yang
kontroversial. Pertama, merilis Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat,
dan Kartu Keluarga Sejahtera yang pernah dijanjikan saat kampanye.
Rakyat pun senang karena mendapat
bantuan. Hanya politikus dan pengamat yang ribut mempertanyakan dasar hukum dan
asal pembiayaannya tiga kartu sakti itu sebab nomenklaturnya tidak tercantum
dalam APBN. Kartu sakti ini, menurut politikus dan pengamat, dapat dianggap
menyimpang dari prosedur anggaran meskipun tujuannya baik dan tidak ada
korupsi.
Para menteri yang berkaitan
dengan program ini pun saling mengeluarkan pembelaan berbeda. Ada yang menyebut
biayanya dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan negara, ada
yang menyebut dari APBN. Dan Jokowi nglewes
saja sambil tersenyum ringan.
Contoh kedua, sebulan setelah dilantik menjadi Presiden
Jokowi membuat keputusan menaikkan harga BBM. Premium menjadi Rp 8.500 dan
solar Rp 7.500. Keputusan tidak populer ini dengan berani dia buat karena,
katanya, ingin memanfaatkan dana subsidi BBM yang sekarang menjadi Rp 746 triliun
untuk proyek produktif seperti
pembangunan infrastruktur daripada habis terbakar.
Tapi kecepatan membuat keputusan
menaikkan BBM ini tidak berkorelasi positif dengan gaya blusukan yang membuat
citra Jokowi terkenal dan merakyat. Blusukan sebenarnya adalah metode menggali
informasi langsung dari rakyat lapisan rendah. Jokowi tidak sekadar
mengandalkan laporan anak buah.
Jika benar blusukan Jokowi itu
untuk mengumpulkan aspirasi rakyat,
dipastikan tidak akan ada keputusan kenaikan harga BBM. Sebab semua rakyat
tidak menginginkan harga BBM naik. Semua rakyat sudah paham kenaikan harga BBM
membuat harga barang melambung yang membuat penghasilannya kian menyusut
nilainya.
Dengan demikian gaya blusukan Jokowi
kontradiktif dengan keputusan yang dibuat. Sebab keputusan harga BBM itu tidak
mencerminkan aspirasi rakyat. Tak ayal, Joko Widodo pun dituding
tidak ada bedanya Jusuf Kalla dan presiden sebelumnya yang menganut ekonomi
pro pasar.
Setelah berjalan beberapa bulan
dan tahu dampaknya makin menyengsarakan rakyat akhirnya pemerintah mengoreksi
harga BBM dengan menurunkannya lagi. Runyamnya, harga kebutuhan pokok yang
telanjur naik tidak mau turun mengikuti. Rakyat pun tetap sengsara.
Jokowi memang populer
karena penampilannya yang sederhana. Tapi menjadi presiden tidak cukup bermodal
populer saja tapi juga pintar dan cakap memerintah. Karena sudah telanjur
terpilih kita ikuti saja sisa empat tahun mendatang. Semoga ada perubahan yang
menyenangkan. (*)