Di ujung tahun 681 M,
ketika Yazid mewarisi khalifah Islam menggantikan ayahnya, Mu’awiyah bin Abu
Sufyan, di ibukota Damaskus, penduduk
Kufah Irak tidak mau memberikan baiat pengakuan legitimasi kekuasaannya.
Penduduk negeri itu malah menoleh kepada
Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Penduduk Kufah lantas
mengundang Husain yang saat itu berkedudukan di Mekkah agar datang ke Kufah
untuk menerima baiat dan penobatan sebagai khalifah. Husain mengirim Muslim bin
Uqail bin Abi Thalib ke Kufah untuk mewakili undangan itu. Di negeri itu Muslim
bin Uqail menerima baiat sebanyak 30.000 penduduk negeri yang setia dan memilih
Husain.
Kabar baiat ini
segera sampai kepada Husain. Maka dia berangkat ke Kufah untuk menerima
pengangkatan sebagai khalifah. Dia
berangkat beserta istri, anaknya, Ali Zainal Abidin, diiringi pasukan besar pengawal.
Pamannya, Abdullah bin Abbas, mencegah kepergian Husain
dengan pertimbangan dalam masa transisi itu situasi politik cepat sekali
berubah. Ibnu Abbas menyarankan pergi saja ke Yaman yang sudah jelas
penduduknya berpihak dan fanatik kepada Ali bin Abi Thalib serta kondisi
politiknya stabil. Tapi Husain lebih suka menuju Kufah.
Benar perkiraan Ibnu
Abbas, Khalifah Yazid langsung memecat Gubernur Irak, Nukman bin Basyir, yang
lemah memimpin wilayahnya. Wilayah itu lantas digabungkan dengan Parsi di bawah
pimpinan Gubernur Abdullah bin Zayyad bin Abu Sufyan yang berhasil memaksa
penduduknya untuk mengakui Yazid.
Abdullah bin Zayyad
dengan pasukannya langsung menuju Kufah untuk mengamankan situasi politik
sebelum Husain tiba. Ditangkapinya para penentang Yazid termasuk utusan Muslim
bin Uqail. Para pemberontak ini dihukum mati. Tokoh dan penduduk negeri Kufah
takut dan segera berbalik menyatakan baiat dan setia kepada Yazid.
Setelah situasi
politik aman dan terkendali, Gubernur
Abdullah bin Zayyad memerintahkan sejumlah pasukan Irak pimpinan Al Hur bin
Yazid Attamimi menghadang rombongan Husain.
Kabar dikuasainya
negeri Irak oleh pasukan Yazid terkirim ke Husain yang masih dalam perjalanan.
Teman-teman Husain menyarankan agar dia balik ke Mekkah karena situasi sudah
berubah. Namun Husain bergeming, tetap menuju Kufah.
”Siapa memilih balik,
silakan balik. Saya tetap ke Kufah,” kata Husain kepada pasukannya. Ternyata
sebagian besar pasukan memilih balik ke Mekkah. Hanya tinggal 31 pasukan
berkuda dan 40 pasukan berjalan kaki yang menyatakan setia mengawal Husain,
istri dan anaknya.
Di padang Siraf,
bertemulah pasukan kecil Husain ini dengan pasukan besar pimpinan Al Hur yang
berjumlah dua ribu prajurit. Al Hur heran melihat pasukan kecil itu padahal di
Irak tersiar kabar Husain datang dengan pasukan besar. Segeralah Al Hur maju
menemui Husain.
”Kami datang dengan
rombongan kecil ini demi undangan kalian dari Irak,” kata Husain menyambut Al
Hur.
”Maafkan kami,
situasi politik sudah berubah,” jawab Al Hur.
”Jika kalian sudah
berubah kesetiaan maka kami pun akan balik dari sini.”
”Tapi kami dapat
perintah mengiringkan tuan ke Kufah menemui Gubernur Abdullah bin Zayyad.”
”Mati lebih ringan
daripada menuruti perintahmu,” jawab Husain.
Perundingan deadlock. Pasukan Al Hur lantas bergerak
maju mendesak pasukan Husain hingga ke
Padang Karbala. Kekuatan makin tidak seimbang ketika datang bala bantuan empat
ribu prajurit dari Kufah pimpinan Panglima Umar bin Saad.
Melihat posisinya
makin terjepit, Husain mengajukan tiga penawaran kepada Panglima Umar bin Saad.
Pertama, pasukannya balik ke Mekkah dengan aman. Kedua, pasukannya langsung
menemui Yazid di Damaskus. Ketiga, pilihan terakhir, perang.
Tiga tawaran Husain
itu segera dikirimkan Panglima Umar bin Saad kepada Gubernur Abdullah bin
Zayyad. Tapi Gubernur Ibnu Zayyad malah marah dan menilai Panglima Umar tidak
dapat mengambil keputusan tegas sesuai perintah. Kemudian dia mengirim prajurit
Syamar bin Ziljausan membawa pesannya: Pilih satu di antara dua, kamu perangi
Husain sampai pasukannya hancur atau serahkan pimpinan pasukan kepada Syamar.
Tidak ada pilihan lain bagi Panglima Umar
kecuali perang. Maka pecahlah pertempuran yang tidak seimbang pada 2 Muharram
61H (682 M). Pasukan Husain cepat sekali ditumpas. Husain sendiri terluka parah
kena panah, sabetan pedang di tangan, leher, dan dada tertusuk tombak hingga
terjatuh dari kuda.
Melihat Husain
terkapar di tanah, Syammar bin Ziljausan mendekati langsung memenggal
kepalanya. Kepala itu lalu ditancapkan di mata tombak dan dipamerkan kepada
pasukannya bahwa Husain telah kalah dan mati.
Tragedi Karbala
memperlihatkan dalam kepentingan politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang
abadi adalah kepentingan politik itu sendiri. Tidak melihat lagi siapa orang
yang dihadapi. (*)