KASUS suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani makin menguak bukti bahwa mafia peradilan bukan rumor belaka tapi benar-benar ada. Dari bukti di persidangan terungkap jual beli hukum itu dilakukan mulai jaksa hingga jaksa agung muda.
Padahal kabarnya para jaksa yang bekerja di Kejaksaan Agung adalah saringan dari para jaksa yang punya integritas dan komitmen pada penegakan hukum ternyata juga tidak steril dari suap apalagi jaksa di daerah.
Persidangan kasus Artalyta Suryani itu bukan sekadar membuktikan kesalahan terdakwa tapi sekaligus membuktikan moralitas dan kredibilitas para pejabat di Kejakgung telah runtuh.
Karena itu wajar kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung memerintahkan agar pejabat Kejaksaan Agung dirombak dengan mengganti pejabat lama yang tersangkut suap itu dengan pejabat baru yang bersih.
Jaksa Agung Hendarman Supandji sebenarnya sudah bertindak cepat mencopot Jampidsus Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan M. Salim menjadi non job begitu terjadi penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan. Tapi bukti di persidangan ternyata memunculkan nama Jamdatun Untung Udji Santoso dan Jamintel Wisnu Subroto sebagai pejabat yang patut dicurigai juga terlibat masalah suap ini.
Selain itu bukti rekaman penyadapan telepon menunjukkan intensitas keterlibatan pejabat kejaksaan agung sehingga masyarakat merasa mencopot dari jabatan tidaklah cukup tapi harus mengadili mereka karena telah merancang lolosnya penggerogot uang negara Syamsul Nursalim dalam kasus BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia.
Terungkapnya kasus suap ini sudah sepantasnya seluruh pejabat Kejaksaan Agung diganti dan pejabat baru membuka kembali kasus-kasus deponering (penghentian) perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dihentikan karena suap.
Pembukaan kembali itu perlu dilakukan untuk mengembalikan kredibilitas Kejakgung dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Tentu saja setelah Kejaksaan Agung dibersihkan, presiden harus membersihkan pula aparat penegak hukum lain seperti polisi dan kehakiman yang juga belum steril dari kasus suap. Apalah artinya kalau kalau jaksa disikat tapi polisi dan hakim masih leluasa bermain-main jual beli pasal-pasal hukum.
Penegakan hukum secara adil dan bersih sudah saatnya dilakukan untuk mengimbangi pembangunan demokrasi. Sebab demokrasi tanpa penegakan hukum adalah negara yang pincang dan membuat rakyat tetap frustrasi. (*).
Rabu, 18 Juni 2008
Minggu, 08 Juni 2008
Kampanye Debat Publik
Sejumlah anggota Panitia Khusus RUU Pemilihan Presiden di DPR menyetujui penghapusan model kampanye pengerahan massa dan mengganti dengan model kampanye debat antar kandidat presiden. Bila usulan itu disetujui dan disahkan menjadi undang-undang maka ini perkembangan baik pembentukan demokrasi di negara ini.
Selama ini model kampanye Pemilu di Indonesia yang selalu dibanggakan partai politik adalah mampu mengerahkan massa dalam jumlah besar. Isi kampanye tak lebih dari pesta hura-hura, berdangdut ria, obral janji, bahkan memaki-maki lawan politik. Kampanye model ini sebenarnya tidak bermutu karena tidak mencerdaskan pemilih, tidak efisien, tidak mendidik pemilih untuk memahami cara berpolitik dengan benar.
Bila kampanye model debat antar kandidat presiden dan wakil rakyat yang diberlakukan maka secara bertahap model itu dapat melatih rakyat untuk menerima politik dengan benar. Rakyat dilatih untuk berpikir rasional menentukan pilihan politik berdasarkan pemahaman terhadap apa yang dipilihnya. Debat kandidat presiden dan wakil rakyat juga melatih rakyat untuk menjadi pintar memahami persoalan bangsa dan negara dan menilai calon pemimpin dengan ukuran yang logis.
Harus diakui sebagian besar rakyat Indonesia selama ini memilih partai politik lebih karena alasan emosional dan adanya budaya patron sehingga melahirkan pemilih fanatik. Benar salah itu adalah partai saya. Karena itu debat kandidat yang mengungkapkan program, visi, dan misi para calon presiden dan wakil rakyat dalam kondisi politik seperti itu menjadi tidak penting.
Model politik seperti ini menjadikan presiden dan wakil rakyat yang terpilih tidak memiliki beban untuk memperjuangkan nasib rakyat. Sebab mereka tidak memiliki program yang jelas selain jargon-jargon politik yang merupakan janji kosong. Elite politik yang terpilih menjadi gampang ingkar janji, khianat, dan rakyat mudah dibohongi.
Rakyat baru sadar pilihannya keliru ketika sudah di tengah jalan ternyata pemimpin yang dipilih tidak sesuai harapannya mampu mengubah keadaan. Rakyat yang kecewa ini akan menjadi santapan empuk provokator yang selalu ingin menciptakan destabilisasi negara.
Inilah salah satu alasan kenapa situasi politik negara ini masih belum mapan.
Karena itulah usulan menghapus kampanye model pengerahan massa diganti dengan debat publik patut didukung. Karena debat kandidat presiden dan wakil rakyat dapat diukur kematangan program-program pemerintahannya sekaligus kecerdikan calon pemimpin.
Visi, misi, dan program itu menjadi dokumen negara saat kandidat terpilih dan dipakai acuan memimpin negara. Dengan model ini maka partai politik, wakil rakyat, dan kandidat presiden harus mempunyai pemikiran dan konsep yang matang dalam memimpin negara bukan sekadar asal maju saja.
Bagi partai politik, model kampanye ini dapat menuntun perilaku politik yang lurus sebagai sikap partai secara menyeluruh. Bukan seperti sekarang ini partai politik masih berperilaku zig-zag alias plin-plan tergantung pada kepentingan politik sesaat.
Pemilihan umum di Indonesia selama ini memang ada kelemahan karena yang dibahas tentang figur tanpa pernah membicarakan apa yang akan dikerjakan oleh sang tokoh.
Cara paling rasional dalam memilih pemimpin di negara ini adalah dengan meminta calon tersebut memaparkan program kerja atau usulan mengenai perbaikan Indonesia di masa mendatang. Program itu harus konkret dan realistis didukung dengan keadaan negeri ini secara apa adanya. Dengan cara itu bakal ketahuan siapa yang sedang bermimpi, siapa yang sedang membual, menyesatkan rakyat, dan yang sungguh-sungguh menjadi pemimpin dan wakil rakyat. (*).
Selama ini model kampanye Pemilu di Indonesia yang selalu dibanggakan partai politik adalah mampu mengerahkan massa dalam jumlah besar. Isi kampanye tak lebih dari pesta hura-hura, berdangdut ria, obral janji, bahkan memaki-maki lawan politik. Kampanye model ini sebenarnya tidak bermutu karena tidak mencerdaskan pemilih, tidak efisien, tidak mendidik pemilih untuk memahami cara berpolitik dengan benar.
Bila kampanye model debat antar kandidat presiden dan wakil rakyat yang diberlakukan maka secara bertahap model itu dapat melatih rakyat untuk menerima politik dengan benar. Rakyat dilatih untuk berpikir rasional menentukan pilihan politik berdasarkan pemahaman terhadap apa yang dipilihnya. Debat kandidat presiden dan wakil rakyat juga melatih rakyat untuk menjadi pintar memahami persoalan bangsa dan negara dan menilai calon pemimpin dengan ukuran yang logis.
Harus diakui sebagian besar rakyat Indonesia selama ini memilih partai politik lebih karena alasan emosional dan adanya budaya patron sehingga melahirkan pemilih fanatik. Benar salah itu adalah partai saya. Karena itu debat kandidat yang mengungkapkan program, visi, dan misi para calon presiden dan wakil rakyat dalam kondisi politik seperti itu menjadi tidak penting.
Model politik seperti ini menjadikan presiden dan wakil rakyat yang terpilih tidak memiliki beban untuk memperjuangkan nasib rakyat. Sebab mereka tidak memiliki program yang jelas selain jargon-jargon politik yang merupakan janji kosong. Elite politik yang terpilih menjadi gampang ingkar janji, khianat, dan rakyat mudah dibohongi.
Rakyat baru sadar pilihannya keliru ketika sudah di tengah jalan ternyata pemimpin yang dipilih tidak sesuai harapannya mampu mengubah keadaan. Rakyat yang kecewa ini akan menjadi santapan empuk provokator yang selalu ingin menciptakan destabilisasi negara.
Inilah salah satu alasan kenapa situasi politik negara ini masih belum mapan.
Karena itulah usulan menghapus kampanye model pengerahan massa diganti dengan debat publik patut didukung. Karena debat kandidat presiden dan wakil rakyat dapat diukur kematangan program-program pemerintahannya sekaligus kecerdikan calon pemimpin.
Visi, misi, dan program itu menjadi dokumen negara saat kandidat terpilih dan dipakai acuan memimpin negara. Dengan model ini maka partai politik, wakil rakyat, dan kandidat presiden harus mempunyai pemikiran dan konsep yang matang dalam memimpin negara bukan sekadar asal maju saja.
Bagi partai politik, model kampanye ini dapat menuntun perilaku politik yang lurus sebagai sikap partai secara menyeluruh. Bukan seperti sekarang ini partai politik masih berperilaku zig-zag alias plin-plan tergantung pada kepentingan politik sesaat.
Pemilihan umum di Indonesia selama ini memang ada kelemahan karena yang dibahas tentang figur tanpa pernah membicarakan apa yang akan dikerjakan oleh sang tokoh.
Cara paling rasional dalam memilih pemimpin di negara ini adalah dengan meminta calon tersebut memaparkan program kerja atau usulan mengenai perbaikan Indonesia di masa mendatang. Program itu harus konkret dan realistis didukung dengan keadaan negeri ini secara apa adanya. Dengan cara itu bakal ketahuan siapa yang sedang bermimpi, siapa yang sedang membual, menyesatkan rakyat, dan yang sungguh-sungguh menjadi pemimpin dan wakil rakyat. (*).
Senin, 02 Juni 2008
Kegilaan Tung Desem
Tung Desem Waringin, motivator miliader itu membuat sensasi dengan menyebarkan uang senilai Rp 100 juta dari pesawat di Stadion Baladika Kesatrian, Serang, Banten, Minggu. Bagi-bagi duit itu sebagai tanda terbitnya buku terbarunya ‘Marketing Revolution’ sekaligus berniat menyindir orang-orang yang suka menyebar uang tapi tidak tepat sasaran.
Niat Tung memang baik, membagi uang kepada rakyat. Apalagi Tung orang kaya raya sehingga Rp 100 juta yang disebar itu hanyalah sejumput jari saja dari tumpukan uang dan hartanya. Bayangkan saja dia pernah membelikan istrinya mobil seharga Rp 1 miliar lebih yang uangnya diambil dari bunga depositonya.
Tapi cara Tung Desem Waringin menyebar uang dari udara itu menjadi keprihatinan. Mengapa dia tidak membagikan uang itu dengan cara yang santun dan menghormati harga diri orang miskin? Misalnya dia mendatangi rumah-rumah di kampung miskin mengulurkan uang itu lewat tangannya sendiri.
Namun yang sudah terjadi Tung memilih menyebarkan uang dari udara. Bagi Tung uang seratus juta itu sama nilainya dengan kertas pamflet yang disebarkan dari udara yang tak pernah disesali kalau ada selembar uang yang hilang, robek, atau jatuh di sungai.
Dan bisa jadi dia bergembira melihat orang-orang mulai laki, perempuan, anak-anak berebut uang di lapangan. Menyaksikan orang-orang miskin yang saling dorong, menginjak, atau cakar-cakaran untuk berebut uang yang berjatuhan ke tanah. Dikabarkan ada orang yang sampai pingsan dalam rebutan uang itu karena didesak kerumunan orang.
Kemarin Stadion Baladika Kesatrian telah berubah menjadi seperti lapangan gladiator yang menjadi ajang memuaskan kegilaan penguasa Romawi.
Kalau benar Tung Desem bergembira dengan caranya itu boleh jadi dia sudah mengidap sakit jiwa dalam puncak kesuksesannya kini. Yaitu bangga melihat orang lain menderita, bersusah payah dalam berebut uang miliknya. Niat sesungguhnya dari Tung dengan menyebarkan uang itu bukan membantu orang miskin tapi memang ingin mencari sensasi, kepuasan dan kesenangan diri, untuk memenuhi hasrat kegilaannya yang mulai muncul.
Orang berebut uang di lapangan pasti mengabaikan harga diri, perasaan malu, lantas menunjukkan kemampuan bersaing, kecerdikan, bahkan keserakahan. Berebut uang dengan cara seperti itu yang tidak ada aturan main pasti memunculkan watak buruk manusia.
Dengan caranya itu Tung ingin menunjukkan kalau orang ingin mendapatkan sesuatu maka dia harus bekerja keras, mampu bersaing dengan orang lain, tidak tahu malu, bahkan berkelahi. Inilah naluri dasar manusia untuk bertahan hidup menghadapi persaingan yang makin keras yang ingin dilihat Tung Desem dengan eksperimen terhadap warga Serang Banten.
Boleh jadi dia beranggapan menyebarkan uang itu adalah perbuatan mulia tapi sesungguhnya dia telah menghina harkat kemanusiaan. Bisa jadi dia menganggap perbuatannya itu terpuji namun sebenarnya adalah tindakan keji.
Karena itu pemerintah semestinya tidak mengizinkan cara seperti yang dilakukan Tung Desem itu. Pemerintah DKI Jakarta yang tidak mengizinkan penyebaran uang di wilayahnya merupakan tindakan benar tapi sayang pemerintah Banten malah mengizinkan sehingga penghinaan di depan mata itu sudah terjadi.
Semestinya pemerintah mengharuskan setiap bantuan kepada rakyat harus dilakukan dengan cara benar dan menghargai kemanusiaan bukan malah mengizinkan rakyatnya menjadi kelinci percobaan dan objek senang-senang bagi orang kaya. (*).
Niat Tung memang baik, membagi uang kepada rakyat. Apalagi Tung orang kaya raya sehingga Rp 100 juta yang disebar itu hanyalah sejumput jari saja dari tumpukan uang dan hartanya. Bayangkan saja dia pernah membelikan istrinya mobil seharga Rp 1 miliar lebih yang uangnya diambil dari bunga depositonya.
Tapi cara Tung Desem Waringin menyebar uang dari udara itu menjadi keprihatinan. Mengapa dia tidak membagikan uang itu dengan cara yang santun dan menghormati harga diri orang miskin? Misalnya dia mendatangi rumah-rumah di kampung miskin mengulurkan uang itu lewat tangannya sendiri.
Namun yang sudah terjadi Tung memilih menyebarkan uang dari udara. Bagi Tung uang seratus juta itu sama nilainya dengan kertas pamflet yang disebarkan dari udara yang tak pernah disesali kalau ada selembar uang yang hilang, robek, atau jatuh di sungai.
Dan bisa jadi dia bergembira melihat orang-orang mulai laki, perempuan, anak-anak berebut uang di lapangan. Menyaksikan orang-orang miskin yang saling dorong, menginjak, atau cakar-cakaran untuk berebut uang yang berjatuhan ke tanah. Dikabarkan ada orang yang sampai pingsan dalam rebutan uang itu karena didesak kerumunan orang.
Kemarin Stadion Baladika Kesatrian telah berubah menjadi seperti lapangan gladiator yang menjadi ajang memuaskan kegilaan penguasa Romawi.
Kalau benar Tung Desem bergembira dengan caranya itu boleh jadi dia sudah mengidap sakit jiwa dalam puncak kesuksesannya kini. Yaitu bangga melihat orang lain menderita, bersusah payah dalam berebut uang miliknya. Niat sesungguhnya dari Tung dengan menyebarkan uang itu bukan membantu orang miskin tapi memang ingin mencari sensasi, kepuasan dan kesenangan diri, untuk memenuhi hasrat kegilaannya yang mulai muncul.
Orang berebut uang di lapangan pasti mengabaikan harga diri, perasaan malu, lantas menunjukkan kemampuan bersaing, kecerdikan, bahkan keserakahan. Berebut uang dengan cara seperti itu yang tidak ada aturan main pasti memunculkan watak buruk manusia.
Dengan caranya itu Tung ingin menunjukkan kalau orang ingin mendapatkan sesuatu maka dia harus bekerja keras, mampu bersaing dengan orang lain, tidak tahu malu, bahkan berkelahi. Inilah naluri dasar manusia untuk bertahan hidup menghadapi persaingan yang makin keras yang ingin dilihat Tung Desem dengan eksperimen terhadap warga Serang Banten.
Boleh jadi dia beranggapan menyebarkan uang itu adalah perbuatan mulia tapi sesungguhnya dia telah menghina harkat kemanusiaan. Bisa jadi dia menganggap perbuatannya itu terpuji namun sebenarnya adalah tindakan keji.
Karena itu pemerintah semestinya tidak mengizinkan cara seperti yang dilakukan Tung Desem itu. Pemerintah DKI Jakarta yang tidak mengizinkan penyebaran uang di wilayahnya merupakan tindakan benar tapi sayang pemerintah Banten malah mengizinkan sehingga penghinaan di depan mata itu sudah terjadi.
Semestinya pemerintah mengharuskan setiap bantuan kepada rakyat harus dilakukan dengan cara benar dan menghargai kemanusiaan bukan malah mengizinkan rakyatnya menjadi kelinci percobaan dan objek senang-senang bagi orang kaya. (*).
Langganan:
Postingan (Atom)