Rabu, 21 September 2016

KOMUNISME



Ketika Uni Soviet hancur, orang berteriak komunisme telah runtuh. Ternyata tidak. Penggemar komunis berganti generasi. Meskipun praktik negara-negara komunis terbukti memberangus kebebasan rakyat dan kemakmuran merata tidak terjadi, ternyata masih ada orang yang berpropaganda bahwa komunis sebagai pilihan terbaik.

Di Indonesia, isu komunisme selalu mencuat pada akhir September. Sebab pada hari itu lima puluh tahun yang lalu terjadi pembunuhan para jenderal TNI oleh pasukan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap sebagai penghalang merebut kekuasaan. Usaha kudeta PKI gagal. Kemudian situasi berbalik  menjadi penangkapan dan pembasmian orang-orang PKI oleh TNI dan rakyat. 

Inilah sejarah kelam negeri ini yang posisinya seperti duri dalam daging. Selalu menusuk-nusuk, memberi rasa sakit ketika mengenang dan mengungkit-ungkitnya. Rasa sakit itu kian perih ketika penggemar PKI mengangkat peristiwa itu sekarang dengan membalikkan sejarah. Bahwa orang-orang PKI yang ditangkap dan terbunuh adalah korban kekejaman rezim. 

Lebih parah lagi ada aktivis HAM yang menjual peristiwa itu keluar negeri. Mengadili masalah itu secara sepihak. Mereka menuntut pemerintah meminta maaf. Akibatnya luka lama terkoyak menimbulkan rasa sakit pada korban-korban kebiadaban orang-orang PKI.

Soviet memang hancur tetapi komunisme belum runtuh. Kini ideologi itu berantitesis untuk melawan perubahan tesis guna mendapatkan sintesis baru yang segar dan bisa diterima. Model negara komunisme pun berubah untuk menghilangkan kegagalan praktik ekonominya.

Di China akhirnya berkompromi dengan penerapan ekonomi kapitalisme. Menarik investasi asing, menciptakan industrialisasi, memproduksi buruh-buruh. Ekonomi China bangkit menjadi kuat di dunia tetapi rakyat mayoritas hidupnya terbatas. Kemewahan dinikmati oleh elite partai. Tenaga rakyat proletar tetap dieksploitasi di pabrik milik para kapitalis. Padahal situasi inilah yang menjadi inti kritik komunisme. Maka prinsip kesejahteraan bersama sebagai idealisme komunis masih gagal.

China yang ekonominya kuat pun gagal mewujudkan komunisme. Apalagi di Korea Utara, Kuba, Vietnam, Kamboja dan negara komunis lainnya. Kegagalan ekonomi ini diperparah dengan keburukan perilaku rezim penguasa yang menindas rakyat dengan batasan kemerdekaan berpendapat dan berpolitik.

Perilaku penguasa komunis mempunyai watak sama di seluruh dunia. Tega membunuh rakyat yang dianggap musuh bersama. Maka perjuangan komunis dimana pun selalu terjadi peristiwa pembantaian yang dikenal sebagai the killing field. Ada Polpot di Kamboja. Ada Slobodan Milosovic di Serbia. Ada Muso dan Aidit di sini.

Karena itu sangat mengherankan masih ada orang yang tertarik dengan komunisme meskipun sudah melihat tampilan buruk wajah politik dan ekonominya. Masih saja ada pembelaan  bahwa wajah buruk komunisme sengaja dibentuk oleh propaganda kapitalisme. Maka tak heran belakangan muncul fashion lambang komunis berupa palu arit di kaos, stiker, poster, bendera, sebagai merchandise untuk bergaya anak muda. Propaganda komunis bergaya kapitalis. Anak muda menyebutnya keren.

Komunisme menarik dalam tataran perdebatan teori untuk mengkritik  praktik kapitalisme seperti yang uraikan oleh Karl Marx dan Hegel. Kapitalisme  mengeksploitasi buruh-buruh untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Upah buruh yang kecil membuat mereka hidup miskin. 

Situasi ini menciptakan jurang lebar kemiskinan buruh dengan kemewahan para pemilik modal.
Teori Marxis ingin menghapus jurang ekonomi itu dengan menawarkan sosialisme untuk mencapai kehidupan komunis yang sama rata sama rasa.  Caranya  pengendalian dan pembagian ekonomi dikendalikan  oleh negara.

Pada tataran praktik, model negara komunis seperti yang ditawarkan Marx tidaklah seindah yang diuraikannya. Lenin, Stalin di Rusia, Mao Tse Tung,  Teng Tsiu Ping di China, Fidel Castro di Kuba telah menciptakan negara komunis yang tidak bersahabat dengan rakyatnya.

Boleh jadi negara komunis bukanlah negara ideal namun bukan berarti tidak ada penggemar komunisme. Selama kapitalisme tetap menciptakan ketimpangan ekonomi, eksploitasi, dan penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh segelintir orang maka memunculkan perlawanan. 
Perlawanan paling militan  dilakukan penganut sosialisme dan komunisme. 

 Islam yang oleh pengkhutbah  selalu disuarakan sebagai pedoman hidup terbaik, sayangnya belum  memberikan alternatif. Islam baru baik dalam tataran khutbah. Teori negara dan ekonomi Islam belum ada yang mapan dan teruji. Hingga kini belum ada model negara dan ekonomi Islam yang dapat menjadi rujukan.

Arab Saudi, tempat dimana Nabi Muhammad membangun pengaruh dan kekuasaan Islam, kini menjadi negara kaya raya yang dicap sebagai antek kapitalis Amerika. Perilaku politik dan ekonomi rezimnya tidak seideal yang digambarkan Alquran dan Nabi. Turki, bekas khalifah Islam terakhir, memang kini mulai bangkit lagi dengan kendali partai Islam namun juga belum stabil dan masih lekat cap negara sekuler bentukan Mustafa Kemal Pasha.

Di Indonesia, perjuangan membentuk negara Islam sekarang ini dilakukan kelompok militan bersenjata yang berjuang sporadis. Mereka dicap sebagai teroris. Sebab gerakan perlawanan terhadap rezim yang mereka sebut sebagai jihad, oleh penguasa dinilai tidak lebih sebagai teror terhadap kehidupan rakyat.

Gerakan perlawanan ini malah menimbulkan antipasti dari rakyat, alih-alih mendapatkan simpati. Dampak buruknya perlawanan itu malah memberikan cap buruk terhadap  Islam dan  upaya memarjinalkan oleh kelompok sekuler dan Kristen.

Kembali kepada masalah komunisme, bila kita ingin gerakan ini melemah dan padam, maka matangkan konsep negara yang mampu memberikan kesejahteraan merata bagi semua rakyat. Islam itu sempurna, mari kita wujudkan kesempurnaannya itu agar memberikan jawaban.

Tidak ada komentar: