Wakil Presiden M. Jusuf Kalla memberikan harapan pembangunan fisik jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) selesai pada Desember 2008 dan pada April 2009 sudah dapat dilalui.
Harapan ini hendaknya benar-benar terwujud karena sudah banyak harapan ditebar oleh penguasa sebelumnya namun nyatanya proyek jembatan itu tak kunjung selesai meskipun sudah 18 tahun berjalan sejak direncanakan. Bayangkan, proyek ini sudah melewati masa jabatan lima presiden mulai Soeharto lantas B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Ungkapan Jusuf Kalla bahwa macetnya pembangunan jembatan itu bukan karena masalah dana tapi masalah teknik dan pembebasan tanah. Pemerintah dikatakan sudah menyediakan anggaran Rp 900 miliar untuk menyelesaikan bagian bentang tengah yang dikerjakan oleh kontraktor dari China.
Semoga saja ungkapan itu jujur dan benar sebab fakta yang terjadi selama ini tidak selesainya jembatan itu memang karena dana. Bahkan kontraktor China tidak segera mengerjakan bagian bentang tengah karena dana pendamping senilai 10% dari total proyek sebesar 160 juta dollar AS terlambat diserahkan.
Memang akibat tak kunjung selesai menjadikan biaya pembangunan jembatan itu tiap waktu selalu naik seiring dengan inflasi. Perhitungan terakhir proyek jembatan itu sebesar Rp 4,5 triliun.
Dari fakta ini kita berharap, harapan yang ditebarkan Wapres Jusuf Kalla bukan slogan politik yang hanya angin surga menjelang Pemilu 2009 tapi benar-benar keputusan pemerintah yang berniat merampungkan jembatan itu. Sebab untuk menyelesaikan jembatan sepanjang 5,7 km secara teknik bukan hal sulit kalau kita melihat pengalaman China yang sudah banyak membangun jembatan yang lebih panjang dari Suramadu. Apalagi negara maju semacam Prancis dan AS yang sudah mempunyai teknologi lebih maju membangun jembatan, teknologinya dapat dipinjam.
Tinggal dananya saja disediakan atau tidak oleh pemerintah. Indonesia sebenarnya cukup mampu menyediakan dana untuk proyek itu kalau ada niat. Masalahnya pendapatan negara yang cukup besar itu habis untuk hal-hal yang tidak jelas. Sejak reformasi hingga sekarang kalau kita lihat tidak ada fokus pada satu proyek besar yang selesai tuntas. Semuanya serba tanggung padahal uang yang beredar dalam APBN makin membesar. Indonesia saja mempunyai proyek jembatan panjang yang perlu waktu bertahun-tahun hingga presiden berganti-ganti.
Karena itu wajar saja kalau banyak orang bertanya kemana saja larinya uang negara itu. Kalau dikatakan untuk pembangunan ternyata rakyat seperti belum merasakan. Apalagi rakyat masih dibuat pusing untuk membeli sembako yang harganya terus naik mulai dari beras, minyak goreng, telur, terigu, bahkan minyak tanah dan elpiji.
Kita perlu mencatat pernyataan Jusuf Kalla itu sebagai niat pemerintah untuk menuntaskan proyek itu agar mobilitas warga dari Surabaya-Madura dapat lebih cepat sekaligus mempercepat perbaikan ekonomi di kedua daerah. Jarak pantai Surabaya – Madura sebetulnya hanya 3 km tapi dengan kapal feri harus ditempuh selama 30 menit padahal kalau ada jembatan tak sampai 10 menit.
Selesainya jembatan Suramadu juga mengakhiri rencana proyek yang selalu berubah-ubah sekaligus memberikan rakyat sebuah kepastian tentang sebuah pembangunan oleh negara. (*).
Senin, 14 April 2008
Pilkada Jawa Barat
PEMILIHAN kepala daerah secara langsung memang sulit ditebak. Karena itu kemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf yang diusung koalisi PKS-PAN dalam pemilihan gubernur Jawa Barat sangat mengejutkan.
Betapa tidak, dalam polling yang dilakukan nama calon ini selalu berada di urutan terakhir dari dua calon yang sudah terkenal yakni Gubernur incumbent Danny Setiawan yang diajukan Golkar-Partai Demokrat dan cagub Agum Gumelar calon dari PDIP.
Menurut peta politik hasil Pemilu 2004 pun, Jawa Barat dikuasai oleh Partai Golkar dan PDIP ternyata peta politik ini tidak berlaku untuk pilkada karena pemilih lebih melihat figur calon. Gambaran seperti ini pernah terjadi ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden yang ternyata tak selalu sama dengan peta politik hasil Pemilu 2004 yang didominasi Partai Golkar.
Meskipun kemenangan Heryawan-Dede Yusuf itu masih berdasarkan perhitungan cepat atau quick count tapi biasanya sudah menunjukkan kepastian yang hasil akhirnya kurang lebih sama dengan perhitungan manual oleh KPUD setempat.
Kemenangan seperti ini menunjukkan suara rakyat sebenarnya. Meskipun pasangan Heryawan-Dede Yusuf tergolong paling miskin di antara Danny Setiawan dan Agum Gumelar tidak menjadi halangan untuk menang. Uang tidak selalu menang dalam pemilihan kepala daerah.
Justru dari sinilah kita harus memulai bahwa berpolitik tidak harus membayar dengan harga sangat mahal. PKS-PAN yang mengusung Heryawan-Dede Yusuf dikenal sebagai partai yang relatif bersih dari permainan uang. Padahal sudah lazim terjadi calon kepala daerah untuk mendapatkan kendaraan politik harus membayar uang besar kepada partai politik selain mengeluarkan dana kampanye.
Biaya politik yang besar ini menjadi biang masalah korupsi di negara ini. Sebab pasti calon gubernur ingin balik modal ketika terpilih. Pertanyaannya adalah darimana sumber uang untuk mengembalikan modal itu? Pilihannya antara lain uang negara, kolusi, atau memeras pengusaha. Karena masalah inilah kenapa beberapa kepala daerah ada yang terjerat pasal korupsi hingga mengantarkannya ke penjara.
Dari kasus Pilkada Jawa Barat ini maka partai politik mulailah untuk tidak memakai setoran uang dari calon kepala daerah. Carilah kepala daerah yang berkualitas dan pantas dari kader sendiri bukan orang lain yang melamar dengan membayar sejumlah uang besar.
Praktik membayar uang besar untuk mendapatkan kendaraan politik dalam pilkada merupakan perilaku buruk dalam menciptakan sistem politik yang baik. Sebab pemimpin yang muncul adalah yang kuat membayar bukan berdasarkan kualitas, loyalitas, dan integritas. Sudah banyak terjadi calon pemimpin daerah yang melamar ke partai politik menjadi peras-perasan oleh para politik tidak bermoral.
Marilah kita akhiri perilaku politik yang buruk itu. Sebab jika kepala daerah tidak disibukkan dengan memikirkan balik modal maka dia dapat mengelola uang negara dengan baik dan mampu bekerja dengan kejujuran demi amanat rakyat yang telah memilihnya. (*).
Betapa tidak, dalam polling yang dilakukan nama calon ini selalu berada di urutan terakhir dari dua calon yang sudah terkenal yakni Gubernur incumbent Danny Setiawan yang diajukan Golkar-Partai Demokrat dan cagub Agum Gumelar calon dari PDIP.
Menurut peta politik hasil Pemilu 2004 pun, Jawa Barat dikuasai oleh Partai Golkar dan PDIP ternyata peta politik ini tidak berlaku untuk pilkada karena pemilih lebih melihat figur calon. Gambaran seperti ini pernah terjadi ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden yang ternyata tak selalu sama dengan peta politik hasil Pemilu 2004 yang didominasi Partai Golkar.
Meskipun kemenangan Heryawan-Dede Yusuf itu masih berdasarkan perhitungan cepat atau quick count tapi biasanya sudah menunjukkan kepastian yang hasil akhirnya kurang lebih sama dengan perhitungan manual oleh KPUD setempat.
Kemenangan seperti ini menunjukkan suara rakyat sebenarnya. Meskipun pasangan Heryawan-Dede Yusuf tergolong paling miskin di antara Danny Setiawan dan Agum Gumelar tidak menjadi halangan untuk menang. Uang tidak selalu menang dalam pemilihan kepala daerah.
Justru dari sinilah kita harus memulai bahwa berpolitik tidak harus membayar dengan harga sangat mahal. PKS-PAN yang mengusung Heryawan-Dede Yusuf dikenal sebagai partai yang relatif bersih dari permainan uang. Padahal sudah lazim terjadi calon kepala daerah untuk mendapatkan kendaraan politik harus membayar uang besar kepada partai politik selain mengeluarkan dana kampanye.
Biaya politik yang besar ini menjadi biang masalah korupsi di negara ini. Sebab pasti calon gubernur ingin balik modal ketika terpilih. Pertanyaannya adalah darimana sumber uang untuk mengembalikan modal itu? Pilihannya antara lain uang negara, kolusi, atau memeras pengusaha. Karena masalah inilah kenapa beberapa kepala daerah ada yang terjerat pasal korupsi hingga mengantarkannya ke penjara.
Dari kasus Pilkada Jawa Barat ini maka partai politik mulailah untuk tidak memakai setoran uang dari calon kepala daerah. Carilah kepala daerah yang berkualitas dan pantas dari kader sendiri bukan orang lain yang melamar dengan membayar sejumlah uang besar.
Praktik membayar uang besar untuk mendapatkan kendaraan politik dalam pilkada merupakan perilaku buruk dalam menciptakan sistem politik yang baik. Sebab pemimpin yang muncul adalah yang kuat membayar bukan berdasarkan kualitas, loyalitas, dan integritas. Sudah banyak terjadi calon pemimpin daerah yang melamar ke partai politik menjadi peras-perasan oleh para politik tidak bermoral.
Marilah kita akhiri perilaku politik yang buruk itu. Sebab jika kepala daerah tidak disibukkan dengan memikirkan balik modal maka dia dapat mengelola uang negara dengan baik dan mampu bekerja dengan kejujuran demi amanat rakyat yang telah memilihnya. (*).
Langganan:
Postingan (Atom)